William Osler dan Gerakan Literasi

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mari kita teladani kisah seorang pengoleksi, pembeli, dan pembaca buku yang hebat (biblioholik), William Osler. Selama hidupnya, ia mengajar di Sekolah Ked

KESADARAN membaca buku tidak harus digerakkan secara nasional, tetapi idealnya harus menjadi kebutuhan primer bagi setiap orang. Menukil anekdot Remi Sylado, bahwa beda manusia dengan satwa sangat jelas. Satwa bisa mengusahakan sandang, pangan, dan papan. Manusia jelas bisa pula berbuat seperti itu. Hanya satu yang perlu diingat, satwa tidak bisa mengusahakan buku, membaca, apalagi meresensinyanya. Jadi, membaca buku sudah harus masuk ke dalam sembilan bahan pokok (sembako) kehidupan manusia.

Karena buku merupakan ’sembako’ kehidupan, membaca buku bisa dimulai dari hal yang sederhana. Andai tergolong pembaca buku biasa-biasa (bukan predator buku, meminjam istilah penyair Taufiq Ismail), kita bisa baca buku rata-rata 300 kata dalam satu menit walaupun memang ada buku yang tidak mudah cepat dibaca. Buku ilmu pengetahuan seperti matematika, pertanian, perdagangan atau bahan bacaan lain yang baru dan "terasa asing", biasanya dibaca dalam tempo lambat. Membaca sajak atau genre sastra lainnya tidak bisa secepat itu guna menukik pada makna kata-kata yang imajinatif-asosatif. Dibutuhkan konsentrasi untuk melakukannya!

Namun, membaca buku berjenis biografi, petualangan, dan hobi, rasanya tidak sukar untuk mengikuti dengan saksama semua makna keindahan 300 kata (yang tercetak) dalam satu menit. Angka statistik (meskipun tidak tepat selamanya) memberikan gambaran sebagai berikut. Andai seorang pembaca biasa dapat membaca 300 kata dalam satu menit, dalam 15 menit dapat membaca 4.500 kata, dalam seminggu 31.500 kata, sebulan (dihitung 4 minggu) 126.000 kata, dan setahun 1.512.000 kata. Secara umum, buku terdiri atas 60.000 hingga 100.000 kata, rata-rata 75.000 kata. Dalam setahun, seorang pembaca biasa yang dapat membaca 15 menit sehari dapat menyelesaikan 20 buku. Jumlah ini tergolong besar, empat kali lebih besar daripada yang dibaca para peminjam buku dari perpustakaan umum di Amerika Serikat (majalah Publishers Weekly, 2001). 

 

Penggagas Gerakan Literasi

Mari kita teladani kisah seorang pengoleksi, pembeli, dan pembaca buku yang hebat (biblioholik), William Osler. Selama hidupnya, ia mengajar di Sekolah Kedokteran John Hopkins. Banyak pakar fisika terkenal di AS pernah belajar pada Osler. Ia benar-benar menjadikan buku sebagai sumber ilham dan sumber belajar. Oleh sebab itu, pantas pula melekat pada dirinya sebutan bibliofil (pembaca tekun).

Buku kedokteran karya Osler mengilhami para ilmuwan kedokteran, di antara sumbangan yang paling dahsyat dalam ilmu kedokteran, merupakan hasil penelitian Osler, yakni fenomena kematian. Kepopulerannya ditopang oleh para penulis biografi dan pengkritiknya, bukan saja dari kalangan ilmuwan kedokteran saja, melainkan juga dari kalangan lainnya sehingga Osler disegani kaum terpelajar. Ia amat besar perhatiannya pada sesuatu yang telah dibuat dan dipikirkan manusia sepanjang hayat. Ia mengetahui dan menguasai semua ilmu pengetahuan karena ia sering ’mencuri’ waktu di sela kesibukannya untuk membaca aneka informasi.

Bagaimana Osler bisa menguasai ilmu pengetahuan itu? Jauh hari sebelumnya ia telah mengambil keputusan bagi dirinya, harus ’mencuri’  waktu 15 menit sebelum tidur atau sebelum meneliti sesuatu. Jika jam tidur mulai pukul 11.00 siang, ia membaca buku mulai pukul 2.00 sampai 2.15 siang. Sepanjang hayatnya, ia tidak pernah mengabaikan apa yang telah menjadi kebiasaannya. Uniknya, ia justru gelisah dan sulit tidur jika tidak menyempatkan 15 menit untuk membaca buku. Kebiasaan inilah yang mengilhami gerakan literasi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Di kalangan sarjana sastra Inggris, Osler dikenal pula sebagai seorang pakar yang tahu banyak tentang pujangga Thomas Broene (sastrawan Inggris abad ke-17). Perpustakaan pribadi Osler menyimpan banyak apresiasi/telaah mengenai keunggulan karya sastra Thomas Broene. Selain itu, juga tersimpan banyak hasil penelitian Osler mengenai pengobatan, formulasi teknik mengajarkan ilmu kedokteran, dan pengantar metode klinik kedokteran modern.

Lalu, menyeruak pertanyaan dalam hati kita, bagaimana Osler mendapatkan waktu untuk membaca? Jawabannya, bukan saja membaca 15 menit sebelum tidur, melainkan setiap hari pada kesempatan apa saja. Saat sesibuk apa pun masih ada waktu bagi Osler, mungkin lebih dari 15 menit ’mencuri’  waktu untuk melek huruf.

Menunggu sesuatu biasanya dianggap pekerjaan yang memuakkan. Bagi Osler, mungkin idealnya bagi kita juga, justru di saat menunggu sesuatu itu merupakan waktu yang tepat untuk membaca (apa pun) sumber informasi. Selain membaca terus-menerus 15 menit sehari, juga lebih baik secara teratur. Menit-menit terluang dapat memberikan banyak manfaat. Percayalah, kesempatan membaca tidak terkirakan banyaknya. Syaratnya hanyalah kemauan ’mencuri’  waktu untuk membaca!

Sekali lagi, kita patut meneladani Osler dalam hal membaca buku. Ia tergolong insan pencinta buku atau bibliofil. Bibliofil berbeda motivasinya dengan bibliholisme (pecandu buku atau biblioholik, yang gemar mengumpulkan buku). Insan bibliofil senantiasa menjadikan buku sebagai sumber belajar. Hal yang perlu dihindari adalah penyakit yang berkaitan dengan buku, yakni bibliotaf, bibliokas, bibliofagi, dan biblionarsis.

Sang bibliotaf akan mengubur koleksi bukunya sebab ia yakin bahwa masa depan manusia akan selamat jika buku karyanya selamat pula dari persekongkolan penguasa dunia. Bagaimana sang bibliokas? Ia adalah sang perusak buku (sumber informasi lainnya). Manakala meminjam buku milik orang lain atau koleksi perpustakaan, sang bibliokas akan merobek bagian-bagian buku/majalah dan sejenisnya. Kaum pembakar buku tergolong pula ke dalam bibliokas. Lebih parah dari bibliokas adalah bibliofagi, yakni orang yang percaya bahwa membakar buku pengetahuan, kemudian abunya dicampurkan dengan kopi, lalu diminum dengan harapan isi buku itu mudah diserap otaknya. Bagaimana sang biblionarsis? Ia akan menyimpan semua koleksi bukunya di dalam rak atau lemari kaca, dengan harapan semua orang memujinya.

Nah, alangkah indahnya jika hari-hari kita diisi dengan membaca buku. Ke mana pun pergi, buku senantiasa dijadikan pendamping setia. Mudahan-mudahan budaya mencuri  waktu untuk membaca buku jadi kebiasaan laten, terutama di kalangan remaja (yang sedang bersaing dengan telefon pintar dan dunia internet yang sarat hoax). Bukankah di Jepang, Amerika, Jerman, dan negara lainnya yang jauh lebih tinggi tradisi ’mencuri’  waktu membacanya, begitu pesat peradabannya? Untuk yang satu ini, kita tidak salah menirunya! Sebuah pemeo yang menarik, tiba-tiba menghentak kita, ”Mereka yang kerap mencuri waktu untuk membaca buku, tidak pernah mengenal kesepian di mana pun”***

Oleh EDI WARSIDI

Bagikan Artikel Ini
img-content
Edi Warsidi

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Tantangan Mendidik Anak di Era Perubahan

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
img-content

Hobi yang Diedukasi

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler