x

Iklan

Hans Z. Kaiwai

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kisruh Freeport

Perubahan lingkungan bisnis mineral dan batubara (minerba) pasca UU Nomor 4 Tahun 2009

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Perubahan lingkungan bisnis mineral dan batubara (minerba) pasca UU Nomor 4 Tahun 2009 memaksa PT Freeport Indonesia (PTFI) melakukan renegosiasi Kontrak Karya (KK) dengan Pemerintah Indonesia. Walaupun demikian, PTFI masih bersikukuh dengan payung hukum KK yang akan berakhir tahun 2021.

Sebab tidak mau mengubah status dari KK menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagaimana diatur dalam PP Nomor 1 Tahun 2017 dan Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2017, PTFI belum bisa lagi memperoleh izin ekspor konsentrat setelah izin ekspor sebelumnya berakhir 11 Januari 2017. Dan jika proses renegosiasi KK ini tidak segera tuntas, maka kondisi ini akan melahirkan kerugian ekonomi bukan hanya bagi PTFI saja melainkan juga bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Hingga kini, proses renegosiasi KK belum usai, karena  belum dicapai kata sepakat antara kedua belah pihak–Pemerintah Indonesia dan PTFI. Dan kalau kita menelisik perbedaan pandang yang terjadi, kita memperoleh sejumlah poin ketidaksepakatan–berporos pada dua kepentingan, yaitu bagi pemerintah, menjaga kedaulatan negara dengan menjalankan perintah undang-undang dan bagi PTFI, adanya kepastian untuk investasi jangka panjang–yaitu antara lain terkait dengan IUPK, divestasi saham, smelter, luas wilayah dan waktu kontrak.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Berikut uraian tentang poin ketidaksepakatan menurut pandangan masing-masing pihak. Pertama, salah satu perubahan lingkungan bisnis minerba sejak UU Nomor 4/2009 adalah tidak dikenal lagi rezim KK. Tetapi setiap usaha pertambangan di Indonesia berdasarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin Pertambangan Rakyat (IPR) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah menawarkan perubahan status PTFI dari KK menjadi IUPK melalui renegosiasi KK tahun 1991. Namun disini ada ketidaksepakatan. Menurut pemerintah, PTFI berubah status KK menjadi IUPK agar bisa mengekspor dengan kebijakan fiskal sesuai ketentuan yang berlaku (prevailing). Sementera itu, PTFI bersedia mengubah izin usaha menjadi IUPK asal ketentuan fiskal bersifat sama dengan KK (nail down).

Kedua, ada ketidaksepakatan terkait ketentuan divestasi saham. Divestasi saham adalah jumlah saham asing yang harus ditawarkan untuk dijual kepada peserta Indonesia. Saat ini pemerintah Indonesia memiliki saham PTFI sebesar 9,36 persen. Padahal sesuai ketentuan Pasal 24 KK, PTFI berkewajiban untuk melakukan divestasi saham sebanyak 30 persen. Bahkan kini menurut ketentuan PP Nomor 1/2017 sebagai penjabaran dari UU Nomor 4/2009, PTFI wajib melakukan divestasi saham secara bertahap hingga mencapai angka 51 persen. Sementara itu, menurut PTFI hanya setuju meningkatkan kepemilikan saham pihak nasional Indonesia, termasuk melalui initial public offering/IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI) dari 9,36 persen menjadi 30 persen berdasarkan KK tahun 1991.

Ketiga, ada kewajiban bagi PTFI untuk membangun smelter atau pabrik pengolahan dan pemurnian konsentrat. Menurut ketentuan Pasal 170 UU Nomor 4/2009, pemegang KK wajib melakukan pemurnian selambat-lambatnya 5 (lima) tahun sejak undang-undang ini diundangkan. Jika dihitung dari waktu UU Nomor 4/2009 diundangkan–12 Januari 2009–maka semestinya PTFI sudah harus membangun smelter sebelumnya 12 Januari 2014. Namun nyatanya hal ini tidak dilakukan oleh PTFI walaupun pemerintah telah memberikan tenggang waktu dan tenggang rasa yang cukup. Disini ada juga poin ketidaksepahaman. Pemerintah menginginkan PTFI membangun smelter sesegera mungkin sebagaimana diamatkan oleh undang-undang, namun PTFI mau membangun smelter asal ada perpanjangan operasional pasca tahun 2021, masa berakhirnya KK.

Keempat, sesuai UU Nomor 4/2009, aspek lingkungan bisnis mineral dan batubara yang turut berubah adalah luas wilayah dan jangka waktu izin usaha pertambangan. Sesuai Pasal 83 huruf (a) luas 1 (satu) wilayah IUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi pertambangan paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektar, dan huruf (b) luas 1 (satu) wilayah IUPK untuk kegiatan produksi diberikan dengan luas paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektar. Sementara itu berdasarkan KK, luas wilayah PTFI saat ini sebesar 212.950 hektar, yang mana menurut butir kesepakatan amandemen KK 25 Juli 2014, luas wilayah KK akan dikurangi, termasuk blok eksplorasi menjadi 90.360 hektar.

Dan dari sisi jangka waktu operasi produksi, berdasarkan Pasal 83 huruf (g) jangka waktu operasi produksi dapat diberikan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun. Sementara itu, menurut PTFI, untuk menunjang investasi jangka panjangnya terhadap penambangan bawah tanah dan investasi pembangunan smelter, mereka menginginkan segera mendapat perpanjangan operasi dan kepastian berusaha sampai tahun 2041 sesuai KK.

Akibat belum adanya titik temu renegosiasi KK antara pemerintah dan PTFI pada sejumlah poin ketidaksepakatan diatas, dan walaupun izin ekspor konsentrat PTFI telah berakhir 11 Januari 2017, pemerintah terpaksa menangguhkan pemberian izin ekspor konsentrat bagi PTFI. Penangguhan pemberian izin ekspor ini memaksa PTFI menghentikan operasi pabrik pengolahan. Sementara itu, di tengah-tengah jalan buntu renegosisasi KK, pada tanggal 17 Februari 2017, pemerintah izinkan PTFI untuk melakukan ekspor, namun PTFI tidak menerima izin tersebut dan mengumumkan keadaan memaksa (force major) karena pemerintah memberikan status IUPK secara sepihak serta meminta waktu 120 hari sebelum menggunakan jalur arbitrase internasional untuk menyelesaikan perdebatan masalah KK dengan Pemerintah Indonesia.

Kerugian ekonomi

Dalam kondisi ketidakpastian ini memaksa PTFI mengurangi produksi konsentrat. Bahkan terakhir ini, PTFI menjalankan “Skenario Gresik”. Artinya mengurangi produksi menjadi 40 persen dari kapasitas total agar sesuai dengan kapasitas yang dimiliki PT Smelting di Gresik, Jawa Timur. Walaupun demikian, pengurangan kapasitas produksi sebesar 60 persen dari kapasitas produksi total dan penundaan investasi jangka panjang membawa dampak kerugian ekonomi baik bagi PTFI sendiri maupun bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Kemelut yang belum usai terkait renegosiasi KK PTFI dengan Pemerintah Indonesia dan ketidakpastian investasi PTFI–anak perusahaan Freeport McMoran Inc di Indonesia–memengaruhi keberlangsungan sahamnya yang tercatat di New York Stock Exchange dengan kode FCX. Menurut data Bloomberg, saham FCX telah mengalami pelemahan sebesar 16,98 persen dari potensi tertinggi sebulan terakhir di level US$ 17,02 per lembar saham. Kondisi ketidakpastian investasi PTFI akibat renegosiasi yang belum selesai bahkan berpeluang diselesai lewat jalur arbitrase internasional akan semakin memperlemah saham FCX.

Bagi negara dan daerah kerugian ekonomi yang dirasakan antara lain terkait dengan pemutusan hubungan kerja (PHK), berkurangnya penerimaan negara dan daerah, melambat investasi di daerah, dan juga menurunnya pertumbuhan ekonomi daerah.

Dari pengurangan jumlah produksi sebesar 60 persen dari kapasitas total produksi sehingga menjadi sebesar 40 persen, maka PTFI terpaksa mengurangi tenaga kerja dan permintaan barang dan jasa lainnya sesuai kebutuhan produksi tersebut. Dengan demikian kerugian ekonomi yang secara langsung dihadapi oleh masyarakat (terutama karyawan PTFI dan tenaga kontraktornya) adalah pengurangan tenaga kerja atau pemutusan hubungan kerja (PHK).

Dalam menangani isu PHK, pemerintah dan PTFI pun berbeda pandangan. Pemerintah berkeinginan PTFI tidak melakukan PHK pasca tidak bisa ekspor dan pengurangan produksi konsentrat, namun PTFI berketetapan bahwa PHK 10 persen pegawai akan mulai dilakukan. Dan hal ini ternyata telah dilakukan, sebagaimana diwartakan Harian Cenderawasih Pos (24/2), bahwa “hingga Kamis (23/2) ada sebanyak 1.087 orang pekerja PTFI dirumahkan sebagai dampak pengurangan produksi 60 persen karena ketidakpastian izin ekspor konsentrat PTFI.”

Selama ini PTFI menyerap tenaga kerja sebanyak 32.416–data 31 Desember 2015–yang merupakan pekerja langsung PTFI dan kontraktornya. Dimana jumlah pekerja langsung PTFI sebanyak 12.085 pekerja dengan komposisi 7.612 non Papua (62,96 persen), 4.321 asli Papua (35,76 persen), dan 152 asing (1,26 persen). Dari jumlah tersebut sebagaimana juga diberitakan Cepos (24/2), “jumlah pekerja sebanyak 1.087 yang telah dirumahkan terdiri 868 karyawan kontrak, 40 pegawai Freeport, 60 tenaga kerja asing dan karyawan PT Trakindo sebesar 119 karyawan.”

Ketidakpastian hasil akhir renegosiasi KK terutama terkait dengan perpanjangan operasi dan kepastian berusaha mengakibatkan PTFI menunda investasi jangka panjang yang telah direncanakan, yaitu investasi tambang bawah tanah sebesar lebih dari US$ 4,7 miliar serta rencana investasi berikutnya sebesar US$ 14 miliar ditambah US$ 2,3 miliar untuk investasi smelter. Investasi senilai US$ 2,3 miliar akan dilakukan di Gresik, Jawa Timur untuk meningkatkan kapasitas smelting Gresik dari yang ada saat ini 1 juta ton per tahun menjadi 3 juta ton per tahun.

Komposisi angka investasi PMA di Papua selama ini didominasi oleh investasi yang dilakukan oleh PTFI, sehingga penundaan rencana investasi untuk penambangan bawah tanah sebesar US$18,7 miliar akan menurunkan target investasi di Papua untuk tahun 2017 maupun tahun-tahun yang akan datang. Kondisi ini pada akhirnya akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi di Papua. Apalagi selama ini kontribusi sektor pertambangan masih mendominasi struktur ekonomi Papua diatas angka 50 persen, bahkan untuk kabupaten Mimika angka tersebut bisa mencapai 90 persen. Disamping itu, nilai dan volume ekspor Papua dalam periode penundaan ekspor konsentrat PTFI juga bakal mengalami penurunan yang tajam karena sebagian besar tumpuan ekspor Papua adalah ekspor konsentrat PTFI.

Akhirnya ditengah semua ketidakpastian yang sementara terjadi, sebagai masyarakat, kita berharap ada solusi yang terbaik yang dapat disepakati bersama antara pemerintah dan PTFI. Sehingga tidak terjadi keterpurukan ekonomi yang berkelanjutan dan semakin parahnya perekonomian di daerah.

Tetapi sebaliknya, ekspor harus terus bertumbuh, investasi yang direncanakan dapat segera direalisasikan sehingga memberikan dampak pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat Papua. Untuk itu kita pun berharap dalam waktu 120 hari sebelum PTFI menggunakan mekanisme penyelesaian ketidaksepakatan renegosisasi KK antara pemerintah dan PTFI melalui arbitrase internasional, ada penyelesaian yang tuntas akan perbedaan pendapat yang mengakibatkan terjadinya kisruh PTFI saat ini.

Ikuti tulisan menarik Hans Z. Kaiwai lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

6 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB