x

Iklan

Fathorrahman Fadli

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kisah Paracinta

Paradewa dan paracinta saling memadu kasih asmara. Di atas langit sana, kata mereka; ada juga kisah yang mirip manusia bumi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh. Fathorrahman Fadli*

*Dosen Universitas Pamulang

Paradewa dan paracinta saling memadu kasih asmara. Di atas langit sana, ada juga kisah yang mirip manusia bumi. Mereka saling melempar senyum, saling menebar pesona, juga saling mengirim pesan cinta lewat angin malam. Di atas sana email pun tak berguna, apalagi surat di atas kertas. Bukan hanya surat cinta yang tak tertulis, jabatan pun tanpa dikukuhkan dalam surat keputusan atau SK pengangkatan. Di atas sana orang hidup dengan verbal belaka. Semua praktik hidup berusaha lepas dari kertas; juga tinta. Kehidupan yang paperless.

Di atas sana juga tak ada stasiun TV,  apalagi yang sering di usir kala liputan aksi. Katanya,  stasiun tivi seperti dibumi itu tak ada gunanya; cuma bikin sumpek penghuni langit. Kaum langitan itu melepas kehidupan bumi yang penuh dengan kilogram. Maksudnya agar lebih ringan menjalani hari-hari mereka. Mereka lebih senang menggunakan istilah massa daripada berat jenis.

Di atas arsy sana penghuninya tak perlu berpakaian warna warni. Mereka lebih suka warna putih. Menurut mereka warna putih itu lebih ringan karena tak banyak menyerap energi matahari. Kehidupan gadis-gadis muda di sana juga tak pakai pakaian tebal-tebal seperti di bumi kala muslim dingin. Mereka lebih suka pakaian yang transparan agar tidak mudah berkeringat. Alasan lainnya agar nampak lelukan indah tubuhnya. Sehingga lawan jenis disana tak perlu harus melotot memandangi keindahan itu. Mereka bebas menikmati kemolekan tubuhnya  tanpa harus mengintip dari balik bilik bambu;  seperti pemuda desa mengintip bidadari.

Biasanya gadis-gadis di atas sana memiliki tubuh yang aduhai; melenting indah seperti keramik Thiongkok. Juga gunung kembarnya seperti bangunan yang berdiri kokoh. Ia berdiri tegak meski diserbu angin kencang. Apalagi cuma angin asmara laki-laki bumi yang mudah lemas dalam hitungan menit. Gadis-gadis itu berparas sangat lembut namun juga perkasa.  Lentik jemarinya tersusun indah laiknya putri seorang raja diraja. Belum lagi kalau bicara soal kehalusan kulitnya. Sungguh tak pernah terbayangkan; sebab nyamuk pun langsung jatuh tersungkur. Tak kuasa menahan licin nan wangi tubuhnya.

Bagaimana kalau mereka bicara? Mereka berbicara dalam paduan cinta yang berirama bosas. Suaranya lembut merayap dalam semak-semak pikiran laki-laki yang lagi horni. Tertawan; namun tak kuasa pergi, apalagi  terucap kata bosan.

Kalau mereka berjalan bagaimana kisanak?

Kita tentu langsung melihatnya terpesona. Jenjang kakinya terpadu patut, lekuk tumitnya seperti palung cinta. Sedang betisnya begitu menggetarkan dada laki-laki dibumi. Boleh saya bertanya? Apakah gadis-gadis itu tidak pernah bicara kotor seperti gubernur yang ada dibumi? Oh tidak; tidak sama sekali. Jika seorang gadis diantara mereka bicara, yang lain diam menyimak.

Begitu satu kata meluncur dari bibir indahnya, maka udara di atas sana langsung mewangi semerbak. Namun tidak pernah menusuk hidung. Wangi itu tak pernah bisa dibeli oleh perempuan simpanan Hakim Mahkamah Konstitusi yang terkena OTT yang aneh itu. Sebab di atas sana tidak ada KPK yang usil mengurusi orang yang ingin kaya sendirian. Disini, semua orang sama sekali tidak tertarik untuk korupsi. Semua orang hidup berkecukupan. Tak ada yang terdesak untuk berlaku tamak,  apalagi harus merugikan negara.

Apa di atas sana ada lembaga semacam DPR? Sejauh penuturan mereka; disana DPR tidak diperlukan seperti dibumi. Apalagi harus membeli suara rakyat dengan sekian milyar hanya untuk mencuri yang lebih besar lagi, tidak. Mereka tidak mau! Karena itu mereka tak butuh lembaga yang seperti itu.

"Boleh tanya satu lagi?"

"Silakan, namun setelah itu saya mau pamit ya." Apakah di atas sana ada lembaga semacam KPK, gitu?

Buat apa juga ada lembaga seperti itu. Mereka tidak butuh lagi lembaga yang hasil kerjanya lebih kecil daripada anggaran negara yang mereka serap; buat apa? Mereka tidak mau hidup dalam kemubaziran.

Mereka berkeyakinan bahwa apa yang mereka kerjakan harus selalu harmoni dengan alam. Mereka takut alam marah karena dosa yang mereka perbuat. Apalagi kerjanya konferensi pers untuk membuat malu sanak keluarga, sahabat, handai tolan, organisasi, partainya, atau bahkan selingkuhannya.

"Boleh saya bertanya satu lagi kisanak?"

"Apakah itu kehidupan surga?"

Oh, tidak. Surga itu masih berada sekitar dua puluh tujuh langit lagi di atas sana. Itu cuma pantulan surga yang bisa ditangkap manusia dari jutaan bahkan milyaran kilometer. Dan saya hanya mengajak kalian berjalan terus kesana tanpa kenal lelah!!!

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ikuti tulisan menarik Fathorrahman Fadli lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB