x

Penumpang menaiki gerbong saat uji coba operasional kereta pembangkit Diesel Dual Fuel berbahan bakar LNG Argo Parahyangan jurusan Bandung Jakarta di Bandung, 20 Desember 2016. Diversifikasi BBM ke LNG kereta pembangkit ini akan direalisasikan untuk

Iklan

Hans Z. Kaiwai

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mencermati Reformasi Subsisi Energi

Kebijakan dan upaya pemerintah untuk memberikan subsidi energi yang lebih tepat sasaran dan mewujudkan energi yang berkeadilan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Diawal tahun 2017 ini, kenaikan harga BBM nonsubsidi, harga elpiji, dan tarif listrik membuat kita terusik. Bahkan elemen mahasiswa meresponnya dengan melakukan unjuk rasa di berbagai tempat di Indonesia. Oleh karena mereka berpandangan bahwa kebijakan pemerintah tersebut tidak pro rakyat sehingga perlu ditinjau kembali. Sementara itu, pemerintah beralasan bahwa selama ini subsidi energi–BBM, elpiji, dan listrik–bukan hanya memberatkan keuangan negara, melainkan juga tidak tepat sasaran sehingga perlu dilakukan reformasi subsidi energi untuk mengurangi subsidi dan mengalihkannya untuk belanja yang lebih produktif.

 

Sejak tahun 1967, masyarakat Indonesia telah “dimanjakan” dengan harga energi yang murah karena disubsidi oleh pemerintah. Subsidi saat itu digunakan untuk mendukung kebijakan ekonomi makro yang bertujuan untuk menjaga stabilitas sosial dan politik. Apalagi mulai saat itu (1967) hingga periode “Oil Boom” (1974-1982), naiknya harga minyak dunia–dari US$1,67/barrel (1970) menjadi US$11,70/barrel (1973/74); dan dari US$11,65/barrel (1979) melonjak lagi menyentuh angka US$29,50/barrel (1980); dan terus melonjak mencapai US$35,00/barrel (1981-1982)–merupakan berkah bagi kita karena Indonesia masih mengekspor minyak sehingga pundi-pundi negara bertambah secara siginifikan dan selanjutnya anggaran tersebut dapat digunakan kembali untuk menyubsidi konsumsi minyak Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Namun saat produksi minyak mentah Indonesia mulai menurun tahun 1998 sehingga Indonesia berubah status dari pengekspor minyak menjadi pengimpor minyak pada tahun 2004, dan juga semakin melebarnya perbedaan antara tingkat produksi dan konsumsi minyak–50 persen konsumsi BBM dari impor, maka subsidi BBM mulai menjadi beban yang serius dalam anggaran negara. Bukti dari kondisi ini pada tahun 2005, pemerintah terpaksa menaikan harga minyak tanah, bensin dan solar sebanyak dua kali. Peningkatan harga pertama kali dilakukan pada Maret sebesar 29 persen (untuk harga bahan bakar), sementara yang kedua pada Oktober sebesar 114 persen (World Bank, 2007). Hal ini dilakukan untuk mengurangi beban pengeluaran pemerintah terutama pengeluaran subsidi bahan bakar.

 

Semenjak saat itu hingga kini subsidi energi menjadi isu politik anggaran yang sangat serius. Karena subsidi energi tidak hanya menjadi isu ekonomi, tetapi juga isu sosial dan politik. Biasanya kebijakan mengurangi subsidi energi yang berimplikasi pada naiknya harga BBM, harga elpiji dan harga listrik akan direspon oleh publik dengan demonstrasi penolakan kenaikan harga tersebut di seantero Indonesia. Walaupun demikian, sebagai bagian dari reformasi subsidi energi di Indonesia, sejak tahun 2005 hingga kini, harga BBM telah beberapa kali dinaikan ataupun diturunkan, untuk mengakomodir perubahan harga minyak mentah internasional, nilai tukar rupiah yang melemah, dan peningkatan pengeluaran pemerintah di berbagai bidang.

 

Beban dan tidak tepat sasaran

Selama bertahun-tahun, subsidi energi–Bahan Bakar Minyak (BBM), elpiji, tenaga listrik, Bahan Bakar Nabati (BBN) dan Liquefied Gas for Vehicle (LGV)–menjadi salah satu beban fiskal yang signifikan bagi negara. Misalnya, dalam rentang waktu 2007-2014, subsidi energi secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp197,85 triliun atau tumbuh rata-rata 15,23 persen per tahun, yaitu dari Rp116,90 triliun pada tahun 2007 dan mencapai Rp314,75 triliun pada tahun 2014. Dalam kurun waktu itu, keuangan negara (APBN) terpasung karena harus memenuhi belanja subsidi energi, yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, sebab naiknya harga minyak dunia dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat.

 

Akibatnya pemerintah terpaksa mengorbankan belanja yang lebih produktif seperti belanja infrastruktur untuk mendukung investasi dan daya saing Indonesia. Dampak lainnya dari subsidi energi yang terus meningkat adalah pemerintah  kurang memprioritaskan belanja subsidi non-energi. Sehingga, subsidi pangan, subsidi pupuk dan subsidi bibit untuk mendukung kegiatan produksi masyarakat petani; subsidi dalam rangka pelayanan publik atau PSO (Public Service Obligation) sehingga harga jual angkutan (kereta api, kapal laut dan jasa pos) lebih murah; dan juga subsidi bunga kredit atau program KUR (Kredit Usaha Rakyat) untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UKMK), kurang mendapat perhatian pemerintah.

 

Disamping itu, mekanisme subsidi harga energi–penyaluran subsidi yang mengakibatkan harga BBM, harga elpiji dan tarif dasar listrik lebih rendah dari harga keekonomiannya–mengakibatkan semua kalangan masyarakat menikmatinya. Harga energi yang murah akibat disubsidi oleh pemerintah ini, bukan hanya dinikmati oleh masyarakat berpendapatan rendah dan miskin saja, melainkan juga dinikmati oleh masyarakat berpendapatan menengah atas. Kondisi inilah yang seharusnya dipandang sebagai tidak pro rakyat, karena negara justru terbebani untuk menanggung beban subsidi energi yang sebenarnya mampu ditanggung oleh kalangan masyarakat kaya, dan akibatnya pemerintah mengorbankan pembangunan infrastruktur serta program jaminan sosial lainnya termasuk subsidi non-energi yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat berpendapatan rendah dan miskin.

 

Apalagi dari sisi volume pemakaian energi yang disubsidi oleh pemerintah tersebut, ternyata pemanfaatannya justru bias dalam dua hal. Pertama adalah bias wilayah. Wilayah Jawa dan Bali adalah wilayah yang menggunakan volume BBM, elpiji dan listrik terbesar dibandingkan wilayah lainnya di Indonesia. Oleh karena wilayah ini infrastrukturnya secara relatif telah terbangun sehingga sekitar 59 persen pengguna BBM berada di Jawa dan Bali. Kedua adalah bias kelompok masyarakat. Subsidi energi, yang memberatkan keuangan negara itu, lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat berpendapatan menengah atas. Sebab mereka memiliki banyak kendaraan bermotor dan tinggal dirumah mewah dengan fasilitas listrik dan gas yang serba modern.

 

Menurut Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (2011), bagian terbesar subsidi bahar bakar di Indonesia dinikmati oleh pemilik kendaraan roda empat (53 persen), dan bukan oleh pengendara motor (40 persen), serta angkutan umum (3 persen). Ada juga fakta lainnya, Chief Economist Bank Dunia di Indonesia, Ndiame Diop, mengungkapkan bahwa Rp178 triliun subsidi bahan bakar dinikmati oleh kelas menengah atas, dan bukan masyarakat miskin yang betul-betul memerlukannya (Economic Premise, World Bank, Number 136, March 2014).

 

Sehingga jargon subsidi BBM, subsidi elpiji dan subsidi listrik pro masyarakat miskin jelas salah alamat, karena subsidi energi selama ini ternyata hanya menguntungkan kelompok masyarakat berpendapatan menengah atas secara tidak proporsional. Oleh sebab itu, kebijakan pemerintah untuk terus melakukan reformasi subsidi energi, yang secara bertahap akan mengurangi subsidi energi disertai dengan kompensasi yang tepat melalui program jaminan sosial untuk masyarakat berpendapatan rendah dan miskin, patut diapresiasi dan didukung.

 

Reformasi kebijakan

Untuk memperbaiki penyaluran subsidi energi–BBM, elpiji, dan listrik–yang tidak adil dan tidak tepat sasaran tersebut, pemerintahan sebelumnya maupun pemerintahan sekarang ini telah melakukan reformasi kebijakan subsidi energi. Dimana upaya reformasi subsidi energi yang paling signifikan mulai terwujud saat Presiden Joko Widodo mengumumkan penghapusan subsidi energi (BBM) pada tanggal 31 Desember 2014. Secara keseluruhan reformasi kebijakan energi yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo hingga saat ini telah mencakup tiga aspek yaitu menggunakan skema harga baru untuk BBM (premium dan solar), menerapkan skema distribusi tertutup untuk elpiji 3 kg, dan mencabut subsidi listrik 900 VA.

 

Pertama, melalui penerapan skema penetapan harga baru, yang menggantikan sistem harga tetap, pemerintah mengklasifikasi bahan bakar minyak dalam tiga kelompok, yaitu: bahan bakar umum, BBM khusus penugasan dan bahan bakar minyak tertentu (ESDM, 2014). Dua kategori pertama “Jenis Bahan bakar umum dan BBM khusus penugasan”, termasuk premium. Bahan bakar umum adalah istilah untuk bahan bakar non-subsidi (seperti pertalite, pertamax, pertamax plus), dan semua premium yang dijual di Jawa, Madura dan Bali, dijual sebagai BBM non-subsidi. Sedangkan BBM khusus penugasan adalah bahan bakar (premium) yang dijual di luar Jawa, Madura dan Bali. Dimana harga dasarnya tetap tidak disubsidi, tetapi subsidi akan diberikan untuk mengurangi biaya distribusi. Selanjutnya, kategori ketiga “bahan bakar tertentu”, menunjukkan bahan bakar yang tetap disubsidi. Ini ditetapkan untuk solar.

Dimana inti dari kebijakan baru terkait harga BBM yang mulai berlaku 1 Januari 2015 adalah: pertama, bensin premium (BBM khusus penugasan) tidak diberikan subsidi. Harga jualnya fluktuatif dengan mempertimbangkan harga keekonomian dan dapat ditetapkan paling banyak dua kali sebulan. Sehingga energi lebih memiliki nilai yang berharga dan penghematan konsumsi secara alami akan terjadi. Kedua, solar diberikan subsidi tetap Rp 1.000 per liter. Harga jualnya fluktuatif dengan mempertimbangkan harga keekonomian dan dapat ditetapkan paling banyak 2 kali sebulan. Ketiga, minyak tanah tetap diberikan subsidi penuh. Walaupun demikian pemerintah berupaya mengurangi jumlah konsumsi minyak tanah dengan melakukan konversi minyak tanah ke elpiji.

 

Kedua, selain melakukan reformasi subsidi BBM, pemerintah juga melakukan reformasi subsidi elpiji, yaitu dengan menerapkan skema distribusi tertutup untuk penyaluran subsidi elpiji tabung 3 kg, yang diterapkan secara bertahap untuk masyarakat tidak mampu, dan usaha mikro di seluruh Indonesia. Beberapa pola untuk skema distribusi tertutup elpiji 3 kg yaitu pertama, pemerintah memberikan subsidi elpiji kepada yang berhak dalam kartu yang berisi kuota pembelian. Pola kedua, dengan subsidi langsung dimana mekanismenya adalah kartu diisi uang terlebih dahulu setiap awal bulan oleh pemerintah melalui PT Pertamina (Persero) sehingga keluarga yang berhak mendapatkan subsidi dapat membeli elpiji sesuai harga eceran tertinggi (HET). Sementara keluarga yang tidak dapat subsidi (kartu) tentu membeli dengan harga biasa (elpiji non-subsidi).

 

Ketiga, pencabutan subsidi listrik untuk 900 VA. Pemerintah secara bertahap tidak akan lagi memberikan subsidi listrik kepada pelanggan PLN dengan daya 900 Volt Ampere (VA) yang dinilai merupakan rumah tangga mampu mulai 1 Januari 2017, karena pemberian subsidi tersebut dinilai tidak tepat sasaran. Penyesuaian tarif listrik untuk daya 900 VA akan dilaksanakan setiap dua bulan dan dilakukan bertahap sebanyak tiga kali mulai 1 Januari, 1 Maret dan 1 Mei 2017.

 

Dari sejumlah upaya reformasi subsidi energi yang dilakukan oleh pemerintah tersebut, subsidi energi menurun tajam dari  sebesar Rp314,75 triliun pada tahun 2014 menjadi hanya sebesar Rp130,82 pada tahun 2015, dan sebesar Rp. 134,43 triliun pada tahun 2016. Lima tahun yang lalu (2010-2014) jumlah subsidi energi mencapai Rp1.340 triliun, tetapi lima tahun ke depan (2015-2019) dengan adanya reformasi subsidi energi yang dilakukan oleh pemerintah, maka subsidi energi diperkirakan turun 53 persen menjadi sekitar Rp704 triliun.

 

Dengan demikian kita mengharapkan reformasi energi yang dilakukan oleh pemerintah ini dapat meningkatkan kembali kapasitas fiskal negara. Dan selanjutnya anggaran yang diperoleh dari penghentian subsidi energi yang tidak tepat sasaran tersebut dapat dialihkan untuk belanja yang lebih produktif, dan sekaligus mewujudkan energi yang lebih berkeadilan sehingga wilayah yang selama ini belum memiliki infrastruktur yang baik dapat menikmatinya karena pemerintah dapat mewujudkan nawa cita membangun Indonesia dari daerah dan pinggiran. Disamping itu kelompok masyarakat yang selama ini belum menikmati program jaminan sosial, program pendidikan, program kesehatan maupun program subsidi non-energi dapat menikmatinya sekarang karena pemerintah telah mengalihkan belanja subsidi energi yang tidak adil dan tidak tepat sasaran menjadi belanja yang lebih produktif dan berkeadilan.

Ikuti tulisan menarik Hans Z. Kaiwai lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler