x

Ilustrasi perangkat Electronic Data Capture (EDC)/ transaksi non tunai /kartu kredit / debit. TEMPO/Tony Hartawan

Iklan

Hans Z. Kaiwai

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mewujudkan Masyarakat Nontunai di Indonesia

Masyarakat digital saat ini berkembang saat cepat. Bagaimana perubahan itu dalam masyarakat di Indonesia?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Transaksi nontunai menjadi tren global yang kian mendunia saat ini. Di Indonesia, masyarakat lambat laun beradaptasi dengan belanja online, internet banking, mobile banking, dan sms banking. Penggunaan uang elektronik sebagai alat pembayaran mulai mewarnai praktek-praktek transaksi bisnis. Pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah pun kian berbasis layanan digital. Perilaku transaksi masyarakat mulai bergeser dari transaksi tunai menjadi transaksi nontunai. Walaupun demikian, ada tantangan untuk mewujudkan masyarakat nontunai karena masih rendahnya akses masyarakat terhadap layanan jasa keuangan.

Menurut data Global Financial Index 2014, Indonesia memiliki indeks keuangan inklusif sebesar 36 persen. Artinya bahwa jumlah penduduk dewasa–15 tahun ke atas–yang memiliki akses terhadap layanan keuangan hanya sebesar 36 persen. Sementara itu, sebagian besar atau 64 persen belum memiliki akses terhadap lembaga keuangan. Dibandingkan dengan angka indeks keuangan inklusif negara ASEAN lainnya, Indonesia jauh tertinggal dari Singapura 98 persen, Malaysia 81 persen, dan Thailand 78 persen, walaupun sedikit lebih baik dari Filipina dan Vietnam masing-masing 31 persen.

Untuk itu, kita perlu melalui berbagai upaya perluasan akses masyarakat antara lain melakukan edukasi keuangan untuk meningkatkan tingkat literasi keuangan masyarakat. Hal ini akan meningkatkan tingkat pemahaman dan kesadaran masyarakat akan pentingnya jasa keuangan. Sehinga menjadi lebih mudah utnuk mengajak sebanyak mungkin masyarakat memiliki akun untuk kebutuhan transaksi keuangan, baik untuk menyimpan uang, melakukan pembayaran, transfer, kredit atau memanfaatkan layanan jasa keuangan lainnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Disamping itu, kita perlu melakukan pendalaman layanan jasa keuangan karena selama ini akses masyarakat terhadap jasa keuangan masih didominasi oleh sektor perbankan 57,28 persen. Sementara itu, sektor perasurasian 11,81 persen, sektor lembaga pembiayaan 6,33 persen, sektor dana pensiun 1,53 persen, sektor pasar modal 0,11 persen dan sektor pergadaian 5,04 persen (Hasil Survei Nasional Literasi Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan, 2013). 

Keuangan inklusif

Untuk mengatasi sempit dan dangkalnya akses masyarakat terhadap layanan jasa keuangan di Indonesia, maka pemerintah telah menyusun Strategi Nasional Keuangan Inklusif yang diatur dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2016. Dimana melalui Strategi Nasional Keuangan Inklusif, yang ditetapkan tanggal 1 September 2016 ini, dapat dilaksanakan sejumlah kegiatan pengembangan keuangan inklusif, yang dilakukan secara bersama dan terpadu oleh kementerian/lembaga, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, sehingga target persentase penduduk dewasa yang memiliki akses layanan keuangan pada lembaga keuangan formal sebesar 75 persen pada akhir tahun 2019 dapat tercapai.

Kegiatan pengembangan keuangan inklusif dimaksudkan untuk memberikan manfaat yang lebih merata­–perluasan dan pendalaman layanan jasa keuangan–bagi keseluruhan kelompok masyarakat. Selama ini masih ada sejumlah kelompok masyarakat seperti kelompok masyarakat berpendapatan rendah, pelaku usaha mikro dan kecil, dan masyarakat yang merupakan lintas kelompok yang belum terlayani oleh layanan jasa keuangan formal. Kelompok masyarakat ini lazimnya tinggal di daerah terpencil, tidak memiliki identitas legal dan merupakan kelompok masyarakat marginal. Padahal melalui layanan jasa keuangan, kelompok masyarakat ini, sesungguhnya dapat mengembangkan potensi yang mereka miliki untuk meningkatkan kegiatan usahanya.

Untuk itu, kementerian/lembaga, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota perlu menggunakan strategi nasional keuangan inklusif yang telah ditetapkan oleh pemerintah untuk memperluas dan memperdalam layanan jasa keuangan bagi masyarakat. Sehingga secara bertahap dan bersamaan dengan ketersedian infrastruktur, ekosistem digital, dan regulasi yang mendukung, Indonesia mampu mewujudkan masyarakat nontunai dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi.

Pada level pemerintah daerah, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia juga perlu melaksanakan kegiatan pengembangan keuangan inklusif bagi kelompok masyarakat yang selama ini belum memanfaatkan layanan jasa keuangan. Dimana pengembangan keuangan inklusif tersebut dapat dilakukan dalam dua kegiatan yaitu percepatan perekaman e-KTP bagi masyarakat yang belum memilikinya dan percepatan sertifikasi lahan atas tanah rakyat.

Peran pemda

Mengapa percepatan perekaman e-KTP perlu dilakukan? Rendahnya kepemilikan e-KTP bagi masyarakat menjadi salah satu tantangan akses masyarakat terhadap layanan jasa keuangan. Padahal e-KTP mempunyai peran penting dalam mewujudkan keuangan inklusif. Oleh sebab itu, tantangan ini harus diselesaikan secepatnya. Apalagi berdasarkan data bulan November 2016, persentase penduduk wajib e-KTP di Indosia yang telah melakukan perekaman e-KTP baru mencapai angka 50 persen. Jadi, rendahnya cakupan perekaman e-KTP merupakan kendala yang perlu segera diatasi melalui percepatan perekaman e-KTP di seluruh daerah di Indonesia.

Memang ada beberapa daerah di Indonesia yang telah memiliki persentase penduduk yang sudah melakukan perekaman e-KTP yang cukup tinggi, rata-rata diatas 90 persen, walaupun belum mencapai 100 persen. Namun beberapa daerah lain masih memiliki tingkat persentase perekaman e-KTP yang sangat rendah, sehingga rata-rata nasional provinsi hingga saat ini belum mencapai angka 50 persen.

e-KTP dapat dipakai untuk berbagai kepentingan, termasuk disini untuk kepentingan akses layanan jasa keuangan. Tidak hanya untuk kepentingan pembukaan rekening baru bagi masyarakat yang belum memiliki rekening bank, tetapi juga membantu dalam pembayaran bantuan sosial (bansos) dan subsidi secara nontunai melalui rekening bank yang terhubung dengan kartu identitas masyarakat dari kelompok masyarakat miskin dan kelompok masyarakat marginal. Program Keluarga Harapan (PKH), Program Indonesia Pintar (PIP), Program Indonesia Sehat (PIS) dan Beras Sejahtera (Rastra) adalah sejumlah contoh implementasi pembayaran nontunai yang sedang dilaksanakan oleh pemerintah kepada masyarakat penerima dengan berbasis data penduduk yang valid–berdasarkan Nomor Induk Kependudukan (NIK).

Disamping itu, kegiatan lain yang perlu juga dilakukan adalah percepatan sertifikasi lahan atas tanah rakyat. Kegiatan ini penting dilakukan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan jasa keuangan. Pengukuran dan pengakuan secara legal atas kepemilikan tanah oleh masyarakat bertujuan untuk meningkatkan akses kredit masyarakat kepada lembaga keuangan formal. Untuk itu, penyelesaian hak properti masyarakat melalui percepatan legalisasi aset warga dapat dilakukan melalui koordinasi yang efektif antara Pemerintah Daerah dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional terutama dalam hal penerbitan sertifikat atas tanah rakyat di wilayah perdesaan.

Dengan legalitas berupa hak properti, masyarakat memiliki kemampuan untuk melakukan pinjaman di lembaga keuangan formal. Hal ini adalah salah bentuk keuangan inklusif. Bahwa pinjaman yang dilakukan di lembaga keuangan formal biasanya mensyaratkan agunan seperti Sertifikat Lahan atau bukti kepemilikan atas suatu tanah dan bangunan. Percepatan sertifikasi lahan atas tanah rakyat ini merupakan prasyarat yang perlu diselesaikan secepatnya untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan jasa keuangan terutama memperoleh pinjaman atau kredit dari lembaga keuangan.

Melalui pelaksanaan kedua kegiatan ini–percepatan kepemilikan e-KTP bagi masyarakat dan percepatan sertifikasi lahan atas tanah rakyat–pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota di Indonesia dapat meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan jasa keuangan. Dan kiranya peningkatan akses masyarakat terhadap layanan jasa yang dilakukan di daerah-daerah di Indonesia turut berkontribusi dalam capaian 75 persen penduduk dewasa yang memiliki akses layanan keuangan pada akhir tahun 2019 sebagaimana ditargetkan dalam Strategi Nasional Keuangan Inklusif.

Dan akhirnya, pada saatnya nanti akses masyarakat terhadap layanan keuangan yang semakin luas, yang ditunjukkan oleh indeks keuangan inklusif yang semakin tinggi, akan mempermudah kita untuk mewujudkan masyarakat nontunai–suatu kebutuhan hidup yang kini telah menjadi tren global–di Indonesia. Oleh sebab itu, kita pun perlu mempersiapkan diri untuk turut terlibat dalam proses perubahan masyarakat dunia yang akan semakin menyukai transaksi nontunai atau pembayaran online sehingga Indonesia pun menjadi bagian dari perubahan tersebut.

Ikuti tulisan menarik Hans Z. Kaiwai lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler