x

Iklan

Handoko Widagdo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Naik Haji di Masa Silam II

Kisah-kisah perjalanan haji dari Hindia Belanda di era kapal uap

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Judul                     : Naik Haji di Masa Silam II (Tahun 1900 – 1950)

Penulis                 : Henri Chambert-Loir

Peberbit               : Kepustakaan Populer Gramedia

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tebal                    : v + 432 halaman

ISBN                     : 978-979-91-0657-5

 

Pada periode awal tahun 1900, petunjuk naik haji sudah mulai banyak ditulis. Penulis petunjuk naik haji tidak hanya dilakukan oleh para penganut Agama Islam, tetapi juga ditulis oleh kalangan non Islam.  Teks Al-Haji ditulis oleh seorang Nasrani bernama Jur. Mattheus. Teks ini secara rinci menggambarkan urutan prosesi haji dan detail tentang Ka’bah. Tulisan lain yang berisi tentang petunjuk naik haji ditulis oleh seorang wartawan dari Sumatra Barat, yaitu Dja Endar Moeda. Teks yang sesungguhnya catatan perjalanan haji beliau ini berisi catatan-catatan detail tentang biaya, kondisi perjalanan dengan kapal menuju Jedah dan peringatan-peringatan akan banyaknya penipu yang dihadapi olehnya saat berhaji. Teks lain ditulis oleh Abdul Majid berisi tentang prosesi haji saat beliau menjadi pimpinan haji Malaysia.

Selain dari petunjuk dalam bentuk teks, pada awal tahun 1900 juga sudah ada peta yang membantu para jamaah yang berada dalam kapal untuk bisa mencari kiblat.

Teks karangan R.A.A Wiranatakusuma (1924) menggambarkan secara rinci betapa susahnya naik haji di jaman itu dan betapa beliau mengenangkan semua kebaikan saat memandang Ka’bah. Meski beliau adalah seorang Bupati yang mendapat perlakuan khusus dalam perjalanan berhajinya, namun beliau mencatat dengan baik penderitaan para jemaah yang berada bersamanya di kapal. Wiranatakusuma juga menggambarkan penderitaan jemaah haji saat dikarantina di Kamaran. Wiranatakusuma juga mencatat secara rinci praktik tahyul dan tipu-tipu di tanah Arab. Kesulitan naik haji juga disampaikan oleh HAMKA (Seoang Jejaka Mingakabu Naik Haji). Hamka menyebut bahwa para jemaah calon haji diperlakukan bagai sekawanan kambing oleh para syekhnya. “Setiap jemaah itu tak ubahnya dengan kambing-kambing” (hal 879). Sedangkan Aly Hasjmy mendeskripsikan para jemaah diperlakukan “bagai kawanan hewan, sekumpulan sapi” baik saat di kapal maupun ketika sudah sampai di tanah Arab (hal 791).

Wiratanakusuma mencatat perilaku aneh dari jemaah haji yang berangkat dari Jawa. Ada petani yang membawa benih sambil memutari Ka’bah dengan harapan bahwa benih tersebut ketika ditanam kelak di kampungnya bisa membei hasil yang banyak. Ada pula seorang lintah darat yang menggelar uangnya di depan Ka’bah supaya kelak uang itu berbunga banyak saat dipinjamkan.

Saat Wiranatakusuma memandang Ka’bah dalam perjalanannya ke Arafah, beliau mengenang betapa kebaikan telah diterimanya semasa beliau kecil sampai dengan dewasa. Meski beliau diajar dalam pandangan agama yang sempit oleh neneknya (neneknya mengatakan bahwa orang Kristen akan dibakar di neraka), namun beliau mengenang kebaikan orang Belanda (Kristen) yang menjadi orangtua angkatnya saat beliau bersekolah. Beliau mengenang hari raya Fasakh (Paskah) yang menggembirakan hatinya (hal 639-641). Air matanya bercucuran saat mendengar adzan yang dikumandangkan oleh Orang Mesir. Suara adzan yang bertumbuk ke Gunung Mina tersebut terus terngiang bahkan saat beliau sudah kembali ke tanah Pasundan.

Kisah Hamka muda yang berangkat berhaji pada umur 19 tahun dengan bekal seadanya memberikan gambaran betapa hebatnya panggilan haji itu. Berbeda dengan perjalanan Wiranatakusuma yang cukup mewah (karena beliau adlaah seorang bupati), perjalanan Hamka muda sangatlah sulit. Namun Hamka menyampaikan pengalamannya dengan penuh semangat tanpa mengeluh. Keteguhan hatinya untuk berhaji membuat dirinya berhasil mengatasi godaan. Salah satunya adalah godaan untuk menikahi seorang gadis Sunda yang cantik di atas kapal. Meski orang tua si gadis sudah menerima Hamka untuk menikahi anak gadisnya, dan Hamka menyukai anak gadis tersebut, Hamka akhirnya menolak kesempatan tersebut.

Perjalanan haji pada periode setelah kemerdekaan mengalami kemajuan. Buya Hamka mendeskripsikan kemajuan pelayanan perjalanan hajinya pada tahun 1950. Saat itu Buya Hamka menjadi pimpinan perjalanan haji. Pengalaman berhajinya yang kedua ini ditulisnya dalam sebuah karangan berjudul “Mandi Cahaya di Tanah Suci.” Buya Hamka mencatat bahwa calon jemaah sudah lebih tertib di kapal. Kapten kapal tak lagi memerintah langsung para calon jemaah yang ada di kapalnya. Kapten kapal akan menyampaikan hal-hal/aturan-aturan kepada pemimpin haji. Selanjutnya pemimpin hajilah yang menyampaikan kepada para penumpang kapal. Demikian pula apabila ada penumpang yang mempunyai keluhan. Mereka harus menyampaikannya kepada pemimpin haji supaya pemimpin haji bisa meneruskannya kepada kapten kapal. Meski sudah lebih teratur namun Buya Hamka juga mencatat kekurangan perjalanan haji, khususnya di atas kapal. Perilaku yang behubungan dengan kesehatan, yaitu buang air seenaknya dan perilaku kesopanan, yaitu mandi telanjang (laki-laki dan perempuan) di tempat umum masih ditemui dalam perjalanan di atas laut. Ini semua karena yang banyak berhaji adalah dari kalangan yang tidak terdidik.

Tulisan Buya Hamka yang berada di bab terakhir buku ini memberikan refleksi mendalam ritual haji dengan rasa kebangsaan. Sebagai bangsa yang baru 5 tahun merdeka (Buya Hamka melaksanakan ibadah haji kedua pada tahun 1950; sebagai pimpinan rombongan haji), perasaan sebagai bangsa yang setara dengan bangsa lain tiu dimunculkan, diulas dan direfleksikan dalam segala aspek perjalanan haji.

 

Ikuti tulisan menarik Handoko Widagdo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler