x

Atraksi Kesenian Reog Ponorogo memeriahkan Apel Nusantara Bersatu di lapangan Monumen Nasional (Monas), Jakarta, 30 November 2016. Mereka yang berdatangan kompak hadir memakai ikat kepala merah putih sebagai simbol kenegaraan dan persatuan. TEMPO/Sub

Iklan

Fathorrahman Fadli

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Indonesia dan Bandul Peradaban

Arnold Toynbee, seorang pemikir kebudayaan menuliskan makna peradaban suatu bangsa. Menurutnya, peradaban ialah kebudayaan suatu bangsa yang telah mencapai

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh. Fathorrahman Fadli*

*Penulis adalah Dosen Universitas Pamulang dan Pegiat Institut Peradaban

Arnold Toynbee, seorang pemikir kebudayaan menuliskan makna peradaban suatu bangsa. Menurutnya, peradaban ialah kebudayaan suatu bangsa yang telah mencapai taraf perkembangan teknologi yang lebih tinggi. Demikian ia tulis dalam bukunya  yang masyhur “A Study of History, Paperback – 1962” dalam chapternya “ The Disintegrations of Civilization”. Namun pada bagian lain ia menegaskan bahwa peradaban itu secara substantif merupakan kualitas respons suatu masyarakat dalam menghadapi tantangan kehidupannya. Definisi yang terakhir ini cukup menggelitik kita untuk mencermatinya lebih mendalam terutama terkait situasi nasional Indonesia mutakhir.

Akhir-akhir ini masyarakat kita mengalami  perkembangan yang sangat mengkhawatirkan terkait situasi sosial politik akhir-akhir ini. Situasi ini sangat penting dicermati karena menjadi pintu masuk yang menentukan wajah kehidupan sosial politik pada Pemilu 2019 dimana Presiden dipilih bersamaan dengan DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

Pembelahan Masyarakat

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pertama, ada semacam gelombang pembelahan masyarakat Indonesia kedalam dua polarisasi yang cenderung menuju titik  yang ekstrim. Disatu sisi terjadi kristalisasi kesadaran dari anasir-anasir kaum agamawan yang merasakan adanya ketidakadilan sosial. Mereka ini merasa bahwa struktur kekuasaan telah lama meminggirkan rakyat dari arus utama pembangunan nasional mereka. Kondisi ini dirasakan betul oleh kaum agamawan; lalu mereka bertekad untuk melakukan re-negosiasi politik atas praktik dan kesadaran berbangsa dan bernegara. Arus ini secara proporsional diwakili oleh muslim secara mayoritas, namun dalam derajat tertentu diikuti juga oleh pemeluk agama-agama yang lain seperti kaum Nasrani, Hindu maupun Budha.

Polarisasi kedua terjadi pada masyarakat yang secara sosio-politik berada dalam irisan sosial yang cenderung pragmatis, sekuler dan non-ideologis. Masyarakat ini jumlahnya tidak begitu besar, namun bersimbiosis dengan kekuatan kapital dalam dan luar negeri  yang mampu  membuat gejolak dalam masyarakat. Kelompok kedua ini menguasai aset dan akses terhadap kapital (modal), media, pengaruh kekuasaan dan manajemen global. Kelompok ini menghendaki adanya proses penetrasi yang sempurna dalam usaha penguasaan ekonomi dan politik dalam satu bingkai keserakahan. Saat ini kelompok tersebut sesungguhnya sedang berada dalam taraf ‘prosperity complex’ dan akan bergerak secara agresif pada penguasaan politik. Kelompok ini jika tidak ditahan akan sangat berbahaya dan mampu menjadi kekuatan raksasa yang sangat susah dicegah oleh kekuatan negara sekalipun. Mereka memimpikan sebuah imperium baru dengan kekuatan modal yang mereka telah genggam. Pada titik ini kelompok tersebut tidak menyadari bahwa cita-cita itu bertabrakan dengan realitas sosial, yaitu meningkatnya kemiskinan, keterbelakangan, dan minimnya akses terhadap pekerjaan dan modal.

Disisi lain, kelompok kedua ini tidak memiliki sensitifitas yang memadai dalam melihat masa depan Indonesia terkait ambisinya tersebut. Padahal pada titik yang sama ketika ambisi mereka tidak bisa dicegah akan berhadapan dengan bahaya yang besar. Bahaya itu adalah perlawanan kolektif bangsa yang akan terus mengkristal dan akan menghancurkan struktur dan bangunan prestasi ekonomi yang telah mereka perjuangkan berpuluh-puluh tahun. Jika hal ini tidak mereka sadari dan tidak mampu berhitung dengan sangat cermat maka merekalah yang akan hancur dan terusir secara dramatis dari negeri ini. 

 

Bandul Peradaban

Secara budaya Indonesia adalah negara yang tercipta dari gugusan bangsa-bangsa yang terangkai secara  dinamis oleh kesadaran dan penghargaan atas keragaman nilai-nilai luhur yang tumbuh didalamnya. Sepanjang sejarahnya keragaman nilai-nilai tersebut berjalan secara harmonis. Mereka menempati bandul peradabannya masing-masing. Oleh karena itu apabila nilai-nilai tersebut terusik oleh keserakahan dengan motif penguasaan ekonomi dan politik sekaligus, maka bisa dipastikan mereka akan melawannya dengan segenap jiwa dan raga.

Indonesia sebagai bangsa telah memiliki pengalaman panjang dalam menjalani pergolakan besar yang mengancam eksistensinya sebagai negara yang berdaulat. Di negeri ini tidak bisa ada kekuatan tunggal yang berusaha mendominasi seluruh bangsa. Jika mereka memaksakan kehendak bisa dipastikan akan hancur dan dihancurkan oleh kekuatan seluruh rakyat. Sebab bangsa Indonesia merupakan bangsa yang memilih harmoni sebagai jalan hidupnya. Mereka tidak akan rela ada kekuatan yang berusaha mencabik-cabik harmoni tersebut. Jika suatu kelompok itu serakah; maka bandul peradaban bangsa Indonesia akan bergerak dari harmoni menjadi anarki.

 

Perang Maya

Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi harmoni sebagai jalan hidup, masyarakat Indonesia tidak boleh dipaksa untuk berperang untuk memenuhi nafsu suatu kelompok. Sebab dalam diri mereka bersemayam jiwa yang laten bahwa mereka adalah bangsa Indonesia yang mencintai kehidupan damai dan harmonis. Tentu saja pemaksaan yang bersifat sepihak tersebut akan segera dilawan. Perang opini dan fitnah yang akhir-akhir ini sangat gencar di dunia maya dalam derajat tertentu dapat memanaskan suasana, namun jika berubah menjadi anarki fisik di lapangan adalah suatu yang tidak kita inginkan bersama. Oleh karena itu, peran penting aparatur negara dalam membangun situasi yang kondusif bagi seluruh rakyat adalah mengutamakan tindakan yang adil bagi semua. Penonjolan ketidakadilan serta praktik tebang pilih dalam menegakkan hukum hanya akan melahirkan malapetaka yang membahayakan seluruh bangsa.  

Oleh karena itu, tradisi harmoni yang melembaga di masyarakat selama beratus-ratus tahun harus tetap dipelihara oleh seluruh anak bangsa. Kita semua berkepentingan untuk menjadikan tradisi harmoni itu sebagai landasan kultural yang membingkai seluruh aktivitas kebangsaan kita. Jangan sampai karena kepentingan segelintir orang atau kelompok, bandul peradaban bangsa dan negara ini bergerak  ke arah anarki.[]

Ikuti tulisan menarik Fathorrahman Fadli lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler