x

Seorang umat Muslim membaca Al-quran di Masjid Lautze, Jakarta, 6 Juli 2015. Pada bulan ramadhan, Masjid Lautze ramai dikunjungi warga Tionghoa Muslim untuk memperdalam ilmu agama Islam. TEMPO/Frannoto

Iklan

Fathorrahman Fadli

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Rebutan Islam, Rebutan Klaim Kebenaran

Ada yang menarik dalam kehidupan beragama kita di Indonesia. Saya mulai dari dinamika keagamaan di kampung saya. Sewaktu saya masih kecil kira-kira usia 7

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh. Fathorrahman Fadli*

*Dosen Universitas Pamulang dan Pegiat Institut Peradaban, Jakarta

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

(Bagian satu)

Ada yang menarik dalam kehidupan beragama kita di Indonesia. Saya mulai dari dinamika keagamaan di kampung saya. Sewaktu saya masih kecil kira-kira usia 7  tahunan, saya termasuk siswa yang beruntung. Karena sejak itu saya berkesempatan mengaji di langgar (surau) yang berbeda-beda.

Sesekali di langgar Bek Saton, orang NU yang rajin sholat subuh berjamaah. Bek Saton adalah guru ngaji yang tekun. Orang yang belajar ngaji di langgarnya itu cukup banyak kira2 ada puluhan anak sebaya saya waktu itu. Ada juga yang kakak kelas hingga beberapa tingkat.

Bek Saton ini biasa bangun jam 03.00 pagi buta. Jika beliau berangkat ke masjid, pasti melintas di depan rumah saya. Penandanya adalah bunyi bakiak yang beliau kenakan. Klattuk...klattuk....klattuk. itu pasti bunyi bakiak Bek Saton. Saya biasa terbangun jam 03.00 pagi juga membarengi ibu yang lagi masak buat sarapan pagi saya dan adik adik serta kakak yang mau pergi sekolah.

Biasanya jam segitu ibu saya, Juhairiyah, sholat tahajjud atau sholat hajat dulu minta petunjuk Pengiran (pangeran atau Allah). Orang Madura di kampung saya itu menyebut Allah dengan istilah "Pengiran" dan itu nampaknya sampai sekarang. Menyebut sholat dengan istilah bejeng atau abejeng. Juga sampai sekarang.

Kembali kepada Bek Saton. Beliau itu kalau sudah sampai di masjid biasanya langsung ambil mikrofon. Kemudian, seperti biasa ia membaca tarhiman sebagaimana layaknya warga NU di kampung-kampung di Madura dan beberapa wilayah Jawa Timur.

Saat itu sekitar tahun 1975-an. Tarhiman itu biasa dilakukannya setiap hari hingga menjelang subuh. Ketika selesai subuh juga ada tarhiman hingga mentari beranjak naik. Bagi saya tradisi itu cukup menarik. Tanpa terasa saya sangat menikmati sehingga saya banyak yang hafal.

Tarhiman itu sesungguhnya bacaan yang berisi puji-pujian kepada Allah. Ia adalah bentuk rasa syukur kepada Allah dari seorang hambanya yang beriman. Misalnya dalam salah satu bacaan itu yang saya masih ingat adalah "hasbunallah wanikmal wakiil nikmal maula wanikmannasir ya Allah".

Kalau saja bacaan ini dilagukan oleh Opik yang penyanyi religi itu pasti akan merdu. Namun karena suara Bek Saton yang serak dan dihiasi dengan batuk-batuk, kadang-kadang  ada orang yang terganggu; terutama mereka yang anti bid'ah dan khurofat. Pada tahun 1970-1980 an, tarhiman ini mereka anggap sebagai bid'ah.

Alasannya karena Rasulullah tidak pernah mengajarkan tarhiman. Waktu itu saya tidak tahu kenapa tarhiman dianggap sesat. Sebab kata mereka "Al-bid'atu dholalah, wa kullu dholalatin finnaar" Hadist ini biasanya gencar ditembakkan golongan Persis atau Persatuan Islam dalam pengajian-pengajian mereka. Kalau golongan Muhammadiyah di kampung saya itu lebih lunak.

Sebab pemimpin Golongan Muhammadiyah disitu adalah Ustad Abdul Qadir yang sangat intelek dan berpendidikan. Abdul Qadir adalah paman saya dari garis Ibu saya. SIKAP keagamaan Ustad Qadir ini agak lebih moderat dari Ustad-Ustad dari kalangan Persis yang sangat kokoh dalam soal akidah dan masalah-masalah Ubudiyah.

Sebagai pemimpin Muhammadiyah dan Imam Masjid Al-Furqon, Ustad Qadir dikenal sangat memukau jika berceramah, dan menjadi Imam sholat. Keren. Anak-anak muda yang rata-rata progresif sangat ganderung dengan Ustad Abdul Qadir ini.  Wawasannya dalam soal keagamaan dan kemasyarakatan sangat modern dan tidak kalah dengan orang Jakarta. Maklum ia lama belajar di Bandung dan Bogor. Istrinya pun adalah orang Jasinga, Bogor Jawa Barat.

Ia jago berdebat. Ketika saya sudah menginjak bangku  SMP hingga SMA; dimana saya sudah terlihat bisa berfikir kritis, saya sering menjadi lawan debat Ustad Qadir. Sebagai ustad, pengetahuan agamanya terbilang baik dan mumpuni. Saya semakin menaruh rasa kagum karena setingkat Ustad kampung,  ia sudah mampu menerjemahkan Kitab Hadist "Bulughul Maram" yang diterbitkan di Surabaya sekitar tahun 1982-an.

Disamping Ustad Qadir, di kampung saya juga ada Ustad Mursalin. Ia sebenarnya bukan orang asli kampung saya, namun sejak menikah dengan orang kampung saya,  ia kemudian tinggal dan menetap disitu. Ustad ini juga sangat intelek. Ia berasal dari Pulau Kangean, Sumenep. Sejak muda Ustad Mursalin adalah santri di Pesantren Persis Bangil Pasuruan. Ustad Mursalin sangat disiplin dalam memberikan analisa-analisa keagamaan. Beliau sangat kukuh mengikuti alquran dan Sunnah Nabi.

Jika suatu perkara itu tidak diajarkan dalam Alquran dan Hadist, maka baginya tidak kuat. Sebuah perkara agama kalau tidak diajarkan oleh Allah dan Rasulnya ia golongkan sebagai bid'ah. Dan bid'ah itu adalah sesat. Ustad Mursalin selalu memberikan ceramah-ceramahnya dengan logika Alquran dan Hadist. Bagi kalangan intelektual di kampung saya, ceramah Ustad Mursalin ini cukup mendapatkan tempat yang baik. Dalam derajat tertentu dapat mencerahkan pikiran umat.

Ada lagi ditahun yang sama itu Ustad Asy Syuri. Beliau berasal dari kelompok NU yang agak ortodok. Ia adalah seorang  santri dari sebuah pesantren tradisional di Pamekasan. Ilmu agamanya ia peroleh sebagaimana layaknya santri tahun 1970 an yang doktriner dan cenderung melestarikan sikap budaya keagamaan khas cara NU.

Ia juga memiliki kemampuan supra-natural untuk membantu masyarakat jika ada yang kehilangan barang-barangnya di rumah. Orang modern sekarang menyebutnya praktik perdukunan. Dengan bacaan tertentu, ia membubuhkan tinta bolpen di atas kuku dari ibu jarinya. Untuk kemudian ia meminta anak kecil untuk melihat bayangan orang yang ada di dalamnya. Dahulu sewaktu saya masih sangat kecil kira-kira usai 3 atau 4 tahun, saya lupa persisnya; pernah diminta untuk melihat bayangan di kukunya itu.

Sayangnya saya tidak bisa melihat bayangan orang yang dia maksud. Ustadnya yang satu ini tidak pernah terlibat diskusi soal agama dan lebih cenderung menjaga wibawanya di masyarakat. Ia biasanya pemimpin tahlil yang utama. Warga NU seperti biasa melaksanakan tahlilan di kuburan pada hari kedua lebaran Idul Fitri dan Idul Adha.

Tradisi tahlilan di atas kuburan itu sangat ramai diikuti oleh warga Nahdliyin di kampung saya. Tahlilan juga mereka lakukan dalam setiap acara kematian atau juga,  saat mereka melaksanakan acara tasyakuran atau hajatan yang lain. Pendek kata budaya tahlilan sangat melembaga dalam masyarakat di kampung saya; Branta pesisir.

Bagi kalangan Persis dan sebagian besar Muhammadiyah, tradisi tahlilan di atas kuburan itu dikecam sebagai bid'ah yang sesat. Sebab bagi mereka, tradisi tersebut tidak ada contoh dari Allah dan Rasul Muhammad. Kecaman ini kerapkali melahirkan konflik di masyarakat. Tak jarang terkadang melibatkan umat masing-masing golongan itu. Kalau sudah demikian, kenyamanan mulai sedikit terganggu.

Ada lagi Ustad Hamdan Sholihin. Beliau adalah Imam Masjid At Taqwa yang sangat kharismatik. Ia tergolong senior dari Ustad Mursalin tadi. Disamping Ustad Hamdan ada juga Ustad Munir dan Ustad Hasan. Kelompok ini lebih merujuk pada model keberislaman yang berusaha mengikuti Alquran dan Hadist secara murni dan konsekuen.

Ustad Hamdan dalam setiap pengajian-pengajiannya selalu menekankan pentingnya hidup dengan tuntunan yang diajarkan Allah dan Rasul. Ustad yang berparas ganteng dan menawan ini menilai bid'ah adalah sesat. Ia kerap menantang pemikiran di kalangan NU yang menyatakan bahwa tidak semua bid'ah itu sesat (dholalah), namun ada juga bid'ah yang hasanah; yaitu bid'ah yang baik bila dikerjakan.

Ustad Hamdan, biasanya dalam pengajian hari Rabu malam selalu membawakan tafsir Alquran sedang Ustad Munir membawakan kajian tentang hadist. Dalam pengajian yang selalu aktual itu, kedua Ustad beken yang di sayangi kelompoknya ini selalu mengupas isu-isu keagamaan yang strategis. Kedua ustad ini juga tak segan-segan mengubah atau memperbaiki pandangannya jika menemukan kitab-kitab baru yang menyajikan pandangan yang lebih kuat.

Sebagai seorang Imam besar Masjid Taqwa, Ustad Hamdan memiliki suara yang sangat bagus. Kata anak sekarang; keren. Suaranya mantap dan clear ketika melafalkan ayat demi ayat. Iya juga seorang pemimpin yang tegas.Beliau juga selalu menjaga penampilan.

Baju baju yang dikenakan selalu serasi dan tergolong mahal untuk kelas kampung saya waktu itu. Sarung kegemarannya adalah merek BHS warna ungu dengan motif kotak-kotak. Ia juga seorang negarawan yang melek politik. Ia pernah menjabat sebagai anggota DPRD mewakili Partai Golkar.

Oleh karena itu ceramah-ceramahnya kerap disesuaikan dengan perkembangan sosial politik  yang ada dalam masyarakat bahkan diangkat dari masalah masalah nasional yang sedang dihadapi bangsa.

Namun sepanjang saya hidup dan menyerap dinamika keagamaan yang muncul dikampung saya yang terbilang paling "kosmopolit" di Pamekasan,  Madura itu belum pernah saya mendengar istilah Wahabi, Salafi, atau bahkan Jamaah Tabligh yang berjenggot dan berjubah itu. Beberapa majalah agama yang sampai ke kampung saya itu adalah Al Muslimun dari Bangil dan Majalah Panji Masyarakat. Belakangan sempat muncul majalah AULA yang diterbitkan oleh kalangan NU di Jawa Timur.

 

Soal Pemimpin non Muslim

Sebenarnya perdebatan soal  larangan Islam memilih pemimpin non muslim itu sudah terjadi di kampung saya sejak tahun 1980-an. Saat itu saya membaca majalah Al Muslimun yang diterbitkan oleh Pesantren Persis Bangil Pimpinan A. Hassan. Saya membaca itu karena salah seorang anggota keluarga saya berlangganan majalah tersebut.

Dalam majalah itu terdapat kolom Polemik. Saat itu dibahas masalah pemimpin non muslim. Polemik itu muncul karena ada sebuah opini yang mengemukakan pendapat yang diklaim sebagai pendapat Ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwa, "Lebih baik pemimpin yang adil meskipun non muslim, daripada pemimpin Muslim tapi dholim atau tidak adil".

Namun dalam polemik itu saya juga mendapatkan keterangan sanggahan dari Prof. Dr. Deliar Noer yang juga dikenal sebagai ahli politik terkemuka di Indonesia. Yang menarik waktu itu, Pak Deliar justru membantah bahwa dirinya telah membaca buku-buka Ibnu Taimiyah yang pendapatnya dijadikan sebagai rujukan dalam tulisan itu.

Menurut Deliar pendapat tersebut adalah bohong karena Ibnu Taimiyah tidak pernah menyatakan pendapat demikian. Ternyata setelah saya dewasa dan banyak bergelut di Jakarta saya mendengar bahwa pernyataan tersebut merupakan pendapat Imam Ali yang merupakan tokoh sentral yang sangat diagung-agungkan oleh kelompok Syiah. Namun ketika saya berusaha mengejar darimana asal usul pendapat tersebut kepada seorang Ustad yang beraliran syiah, untuk sekadar memastikan kebenaran sumber dari hujjah itu, mereka meminta waktu sebulan kepada saya untuk menjawabnya.

Hingga saat ini saya juga belum mendapatkan jawaban yang apapun, apalagi memuaskan tentang siapa awal mula yang menyatakan pendapat seperti itu. Sebab pendapat itu menurut saya mengandung contradictio interminis. Misalnya bagaimana mungkin seorang non muslim yang dalam hidupnya mengingkari Tuhan  Allah Swt dapat berbuat dan berlaku adil dalam memimpin. Bagaimana mungkin seorang non muslim yang tidak mengerti apa yang diinginkan (aspirasi) golongan muslim dapat berbuat adil?

Sampai disini dulu pemotretan peta dinamika keagamaan dikampung saya terpaksa saya jeda sejenak dan akan saya sambung di lain kesempatan. Pemotretan selanjutnya akan saya naikkan pada peta kehidupan masyarakat yang lebih besar yang dihadapi umat Islam saat ini. Sekian!!

 

Ikuti tulisan menarik Fathorrahman Fadli lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB