x

Iklan

cheta nilawaty

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Asal Jangan Film Horor ~ Cerita Cheta

Musik pengiring di film tersebut mampu membawa emosi tuna netra yang menontonnya dengan baik.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Suara musik bernuansa etnik menggema mengiringi langkah Prisia Nasution yang berperan sebagai sosok nyata pendiri Sokola Rimba, Butet Manurung. Ahad pekan lalu, film dengan judul yang sama itu diputar di bioskop Paviliun 28. Film yang menginspirasi banyak relawan, tak terkecuali relawan pembisik yang hadir saat itu, mampu menularkan semangat positif dengan alasan yang sederhana. Musik pengiring di film tersebut mampu membawa emosi tuna netra yang menontonnya dengan baik.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi bukan materi film atau kegiatan Butet Manurung yang ingin saya bahas. Melainkan berbagai musik yang mengiringi selama film diputar. Sebagai tuna netra, menonton bioskop layaknya mendengarkan drama radio. Kami dapat menerjemahkan berbagai adegan secara visual tentu dengan sudut khayal yang tak terbatas.

Musik adalah instrumen yang membantu khayalan itu menjadi lebih dramatis, heroik atau bahkan menegangkan. Seperti adegan ketika Butet harus melarikan diri bersama anak-anak rimba guna menghindari kejaran pelaku ilegal logging yang mereka pergoki.

Menurut saya, adegan itu yang paling menjelaskan dan dapat saya rasakan emosi atau ketegangannya. Langkah Prisia atau Butet yang bergesekan dengan tanah dan daun kering ditambah musik etnik memburu membuat saya bisa merasakan. Betapa ngos-ngosannya berlari di tengah hutan belantara yang tentu tidak memiliki marka jalan. Dan benar saja, Butet mengungkapkan.

“Sebenarnya banyak adegan yang disederhanakan dalam film tersebut, kejadian berlari dari kejaran pembabat hutan liar itu sebenarnya berlangsung selama 11 jam,” ujar Butet, dalam kesempatan diskusi di Paviliun 28, Jalan Petogogan Raya II Nomor 28, Jakarta Selatan, Ahad 12 Maret 2017.

Dulu, ketika masih duduk di bangku sekolah dasar, saya sering mendengar drama radio bergenre kolosal. Salah satunya adalah Saur Sepuh. Saat ini saya hampir tidak pernah menemui lagi drama radio apapun genre ceritanya. Radio lebih suka memutar musik yang sedang hits. Padahal kalau ditanya, bagaimana rasanya tuna netra menonton bioskop, ya rasanya seperti mendengarkan drama radio.

Kepentingan visual menjadi tidak lagi penting. Tergantikan dengan pesona audio, terlepas setampan atau secantik apapun aktor aktrisnya. Bagi tuna netra, aktor atau aktris yang mempesona adalah aktor aktris yang mampu membawakan karakter secara jelas alias tidak berpembawaan abu abu. Dengan kata lain mampu menjelaskan karakter secara visual melainkan pula audio.

Sehingga sering di tengah pemutaran film reaksi yang diberikan tuna netra tidak sama dengan penonton pada umumnya. Adegan menegangkan yang berisi teriakan aktor atau aktris minta tolong malah menjadi bahan tertawaan bila naik turun nada tidak dapat menggambarkan secara tegas teriakan minta tolong. Malah sebaliknya, dialog sarkas yang berisi sindiran dan filosofis mendalam dapat memancing reaksi tuna netra menjadi begitu gembira atau terharu.

Tidak mengherankan bila stand up comedy menjadi jauh lebih menarik dibandingkan film horor. Padahalsaat melihat dulu, film horor adalah pilihan film yang wajib ditonton kala bosan. Ada hantu yang

bergelantungan atau bergentayangan memancing visual penonton, sampai harus berteriak. Karena itu jangan pernah mengajak tuna netra menonton film horor. Sebab film horor minim dialog, lebih banyak adegan yang harus digambarkan secara visual untuk merasakan ketegangannya.

Film horor akan menyulitkan relawan pembisik ketika harusmenggambarkan adegan menegangkan. Kebiasaan yang terjadi, relawan berteriak lebih dulu karena tegang dan akhirnya lupa membisikkan adegan yang berlangsung. Kalau sudah begitu, tuna netra lebih baik tidur karena merasa bosan dan mengantuk. Sebab, potongan film menjadi sangat sulit dirangkai jalan ceritanya, terutama ketika dirangkai secara audio.

Ikuti tulisan menarik cheta nilawaty lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler