x

Iklan

Muhammad Rois Rinaldi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kekacauan dalam Tubuh Organisasi

Perlu juga dipahami, janganlah mengikuti organisasi non-profit kalau hanya numpang minum dan makan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Apakah Anda pernah menyaksikan pasar terbakar  bagaimana keadaannya? Kacau? Orang kalang kabut. Ada yang menangis; ada yang menjerit; ada yang berkali-kali menelpon petugas pemadam kebakaran yang tidak juga diangkat; ada yang frustasi di tempat; ada yang diam-diam sengaja tidak bayar baju yang sudah dibungkus; dan ada yang menjarah barang dagangan secara terang-terangan.  Klakson mobil serta mobil terus berbunyi, sementara itu jalanan semakin macet. Mobil pemadam kebakaran tidak dapat lewat. Api semakin besar. Barang-barang para pedagang ludes. Petugas asuransi dari jauh mencatat jumlah uang yang harus dikeluarkan. Pemilik pasar entah kemana. Polisi berdiri di mana-mana tidak berguna. Karena polisi memang hanya punya pistol, tidak punya selang air. Begitulah. Kacau. Kacau. Kacau.

Kekacauan-kekacauan semacam itu pula yang kerap saya saksikan di dalam tubuh organisasi formal non-profit, semisal OKP dan LSM. Kalau diperhatikan, betapa “keren” dan “menggetarkan” visi dan misi yang dibuat, seperangkat dengan program-program kerja yang tidak kalah menakjubkan. Visi dan misi organisasi umumnya dibuat seperti mimpi anak kecil di siang bolong, ambisius. Misalnya menjadi organisasi yang terbaik di dunia dan akhirat. Salah? Tidak. Asalkan tidak benar-benar seperti anak kecil, menulis cita-cita tapi tidak bertanggung jawab. Jadi persoalannya adalah tanggung jawab? Jadi sebuah mimpi harus dipertanggungjawabkan? Itu pertanyaan aneh. Jangan bermimpi kalau hanya ingin menjadikan mimpi sebagai mimpi. Lebih baik menulis cerita fiksi saja, lebih menguntungkan dari pada membangun realitas dari harapan-harapan fiktif.

Baiklah, mungkin ini terlampau menghakimi. Dalam berorganisasi tidaklah dapat dibenarkan jika semua hal dilakukan dan dilakukan begitu saja. Karena orang bergerak harus mengetahui terlebih dahulu alasannya bergerak. Artinya ada yang harus diwacanakan terlebih dahulu. Saya sepaham. Tetapi tidak menjadi benar pula kalau sibuk  menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lainnya terus menerus. Karena visi dan misi jadi sampah dalam pikiran dan jiwa jika tidak diwujudkan. Program demi program berubah menjadi hantu centil yang menyebalkan jika tidak dilaksanakan. Akhirnya, organisasi lemas, sebab orang-orang di dalamnya dibuat lelah oleh pikiran dan jiwanya sendiri. Apa yang dihasilkan? Banyak! Di antaranya pertengkaran dan saling tuding antarpengurus organisasi. Masing-masing akan mencari kambing hitam untuk disalahkan atas kemandegan organisasi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Apakah pernyataan-pernyataan saya ini bermotif tuduhan? Sebentar. Persoalan tuduhan atau bukan,  bukan persoalan yang perlu dibicarakan. Karena zaman sekarang, meski seseorang sudah menunjukkan bukti, tetap saja akan dianggap menuduh. Bahkan, tidak sedikit yang menggunakan dalih sebagi dalil untuk menyelamatkan diri dari kecacatan di mata organisasi. Ini soalnya adalah keterbukaan tempurung kepala manusia terhadap kenyataan di dalam dan di luar dirinya. Ya, walau pun saya paham, manusia memiliki sifat ingin tampak suci di hadapan manusia. Bahkan demi tampak suci itu, tidak sedikit yang mengambil tindakan-tindakan yang kotor. Jadi, di sini saya tidak hendak bicara mengenai tuduh menuduh,  bicara yang ada apanya saja.

Begini, organisasi (non profit) tidak digunakan sebagai panggung monolog. Semua hal di dalam organisasi memiliki sistem yang, sebelum organisasi dijalankan, sudah jelas. Oleh sebab itu, saya berkali-kali menekankan, entah dengan sangat lembut atau dengan sangat kasar, bahwa di dalam berorganisasi jangan membawa perasaan masing-masing. Maksud saya, perasaan tidak dapat digunakan sebagai tolok ukur atau landasan pengambilan kebijakan di dalam organisasi. Perasaan tidak dapat digunakan sebagai barometer keberhasilan organisasi. Perasaan juga tidak dapat dijadikan landasan untuk menilai seberapa tangguh memegang amanah organisasi. Ini penting. Agar tidak ada yang “seolah-olah”  sudah mengerjakan banyak hal, padahal tidak pernah mengerjakan apa-apa. Kadang kongkow bersama sambil bicara hal-hal besar dijadikan alih-alih berbuat banyak hal itu. Agar tidak seolah-olah benar, seolah-olah prosedural, seolah-olah sudah menjankan amanah organisasi, dan seolah-olah yang lainnya.

Yang seolah-olah itu membuat orang lupa, bahwa dirinya sudah bukan dirinya. Kepentingannya sudah bukan kepentingannya. Semua sudah menjadi diri orang banyak dan kepentingan orang banyak. Maka tidak heran, banyak pemimpin-pemimpin organisasi yang masih menggunakan benderanya sendiri. Semua diarahkan kepada kepentingan-kepentingan bendera itu. Wal hasil, organisasi hanya tunggangan. Mungkin seperti kuda atau lebih keren dari itu, kerbau. Namanya kerbau, jangankan ditunggangi, dicucuk hidungnya saja ia masih menerima. Itulah sebabnya, saya selalu mengatakan bahwa organisasi yang gampang ditunggangi setali tiga uang dengan kerbau. Kasar? Belum tentu. Karena kerbau jauh lebih fungsional dengan sifat yang demikian, sedangkan manusia?

Perlu juga dipahami, janganlah mengikuti organisasi non-profit kalau hanya numpang minum dan makan, sambil selandap-selundup mencari bahan bakar untuk dapur masing-masing. Itu kegiatan paling berbahaya bagi masa depan organisasi. Akan muncul orang-orang “kurang makan bangku sekolah” yang menganggap organisasi sebagai perusahaan pribadi atau kelompok, yang hanya akan bekerja jika menguntungkan. Teknis kerjanya juga seperti teknis kerja tukang bangunan. Di mana semua dikerjakan berdasarkan jumlah tenaga yang diperlukan, dan jumlah upah yang akan diterima masing-maisng pekerja. Sistemnya juga sistem tukang bangunan, mau tender harian atau borongan? Selain itu,  akan ada orang-orang “gagal paham” yang menilai organisasi sebagai keluarga cemara. Maksud saya, bukan sistem kekeluargaan yang dipakai, tapi kebijakan-kebijakan ala keluarga. Semua tanpa ukuran pasti. Tergantung kemauan anggota keluarga.

Kalau pun hendak menciptakan organisasi yang berbasis kekeluargaan atau menciptakan nuansa kekeluargaan dalam organisasi, yang perlu diusahakan adalah sikap dan tindakan yang diambil secara personal. Misalnya, ketua tidak perlu menunjukkan arogansinya, mendengar orang-orang di bawahnya sebagaimana seorang bapak kepada anak-anaknya. Tetapi, “kekeluargaan” tidak diperbolehkan menguasai sistem, sehingga sistem yang bermanfaat bagi orang banyak itu kalah oleh kepentingan-kepentingan personal. Kebiasaan pola kekeluargaan yang salah sambung ini,  menjadi bibit bagi sistem pemerintahan ala keluarga yang kacau. Untuk mengukur pernyataan saya ini, coba perhatikan beberapa kota di Banten. Siapa pimpinan tertingginya? Siapa orang-orang yang memimpin SKPD, dinas-dinas, dan lainnya? Apakah mereka becus mengurus rakyat? Atau mereka cuma becus bikin yayasan keluarga, hotel keluarga, dan segala fasilitas kota berbau keluarga?

Kekacauan tidak saja didatangkan dari prilaku yang disebutkan di atas. Banyak kekacauan yang diciptakan dari orang-orang yang “hanya” numpang nama. Misalnya orang-orang yang ingin memiliki label “aktivis” dengan pura-pura berminat mengikuti organisasi kemahasiswaan. Kerjanya tidak lain tidak bukan, ikut-ikutan. Orang-orang kurang piknik yang mengira organisasi sebagai ruang rekreasi dan bersenang-senang ini kerap membuat organisasi kehilangan daya. Bagaimana tidak? Kemalasan dan kebodohan itu penyakit menular. Yang mengherankan, pada beberapa tempat, saya menemukan orang-orang beginian dipercaya sebagai pemimpin organisasi hanya karena yang bersangkutan “pintar ngoceh”. Kadang saya berpikir, jangan-jangan kalau beo wujudnya diubah menjadi manusia, ia juga akan dijadikan pemimpin. Saya tahu itu pengandaian yang berlebihan, tapi saya tidak punya pengandaian lain.

Baiknya bagaimana? Pertanyaan ini sesungguhnya pertanyaan seujung kuku kelingking, mudah dijawab. Saking mudahnya, saya yakin setiap orang yang mengaku pernah mengikuti atau masih berada di dalam organisasi semisal OKP dan LSM pasti tahu jawabannya. Persoalannya bukan bagaimana menjawab, tapi bagaimana jawaban itu tidak sekadar jadi jawaban, sebagaimana orang-orang yang menyelesaikan wacana dengan wacana; mengurai rencana dengan rencana. Orang-orang sakit yang sungguh ajaib. Karena dalam keadaan sakit masih merasa sehat dan bergembira.

Ikuti tulisan menarik Muhammad Rois Rinaldi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB