x

Iklan

Manik Sukoco

Suka membaca. Sesekali menulis.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Menjaga Independensi KPU

Wacana DPR untuk memasukkan unsur partai politik dalam KPU, jauh dari cita-cita demokrasi. Independensi KPU diperlukan untuk memenuhi asas jujur dan adil.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Belakangan marak diberitakan mengenai RUU Penyelenggaraan Pemilu. RUU ini disusun untuk mengatur pelaksanaan Pemilu 2019 mendatang. Ini adalah pengalaman pertama penyelenggaraan Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden secara serentak. 

Setidaknya ada sepuluh isu Pemilu yang menjadi fokus dalam pembahasan RUU Pemilu yaitu: 1) sistem Pemilu, 2) keterwakilan perempuan, 3) aksesibilitas, 4) pendaftaran pemilih, 5) kampanye, 6) dana kampanye, 7) teknologi kepemiluan, 8) penegakan hukum, 9) partisipasi masyakarat, dan 10) kelembagaan penyelenggara.

Kesepuluh isu tersebut masih dibahas dan dikaji oleh pegiat demokrasi dan Pemilu, pengamat Pemilu, akademisi, Komisi Pemilihan Umum (KPU), juga oleh Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu. Sebagian diantaranya, masih menjadi topik perdebatan di kalangan masyarakat?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Publik mengharap agar RUU Pemilu ini bisa disahkan pada awal atau setidaknya pertengahan tahun ini. Jika target itu tercapai, berarti penyelenggara, partai politik, para calon, dan pihak-pihak yang berkepentingan punya waktu kurang lebih 24 bulan untuk menghadapi Pemilu 2019. Inilah perkiraan waktu yang paling ideal untuk mempersiapkan Pemilu 2019.

Dalam rangka penyusunan UU Penyelenggaraan Pemilu, DPR lalu melakukan kunjungan ke Jerman dan Meksiko. Studi banding ke Jerman dilakukan untuk meninjau bagaimana penerapan e-voting di Jerman. Sedangkan kunjungan ke Meksiko bertujuan untuk mempelajari badan peradilan Pemilu yang dinilai punya track record yang bagus.

Lalu apa "oleh-oleh" yang didapat Pansus Penyelenggaraan Pemilu sepulang dari Jerman dan Meksiko? 

Setidaknya ada lima poin penting dari hasil kunjungan kerja DPR yang dipublikasikan di berbagai media. Lima poin tersebut antara lain:

  1. Masukan mengenai peradilan khusus Pemilu. Jerman sempat ingin membentuk peradilan khusus Pemilu, namun urung dilakukan. DPR pun menjajaki wacana perlunya peradilan khusus Pemilu di Indonesia.
  2. Setelah melihat pelaksanaan Pemilu elektronik di Jerman, DPR berpendapat bahwa metode penghitungan elektronik (e-counting) dianggap lebih perlu untuk mempercepat proses rekapitulasi suara.
  3. Jerman menganut Sistem Pemilu Campuran. Sistem yang diberlakukan Jerman ini, akan sulit untuk diterapkan di Indonesia sebab Indonesia menganut sistem presidensial, bukan parlementer.
  4. Ambang batas parlemen (parliamentary threshold) di Jerman saat ini adalah 5 persen. Inipun belum bisa diterapkan di Indonesia karena akan menyulitkan partai-partai kecil.
  5. Wacana untuk memasukkan Partai Politik menjadi anggota KPU. Ini dikarenakan KPU di Jerman anggotanya merupakan kombinasi dari pemerintah, partai politik, dan masyarakat umum.

Saya akan fokus membahas mengenai poin yang kelima, yaitu mengenai wacana Pansus Penyelenggaraan Pemilu untuk memasukkan unsur partai politik ke dalam KPU.

Bicara mengenai ini, berarti bicara mengenai independensi KPU. Dan bicara mengenai independensi KPU, kita harus pula berbicara mengenai sejarah KPU.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang ada saat ini merupakan KPU keempat yang dibentuk sejak era reformasi pada tahun 1998. Bagaimana susunan keanggotaan KPU tersebut?

  1. KPU pertama (1999-2001) dibentuk melalui Keppres No. 16 Tahun 1999, beranggotakan 53 orang anggota, dari unsur pemerintah dan Partai Politik. 
  2. KPU kedua (2001-2007) dibentuk dengan Keppres No 10 Tahun 2001, beranggotakan 11 orang, dari unsur akademis dan LSM. 
  3. KPU ketiga (2007-2012) dibentuk berdasarkan Keppres No. 101/P/2007 yang berisikan 7 orang anggota, dari anggota KPU Provinsi, akademisi, peneliti, dan birokrat.
  4. KPU keempat (2012-2016) dibentuk melalui Keppres No. 34/P/tahun 2012 yang berisikan 7 orang anggota, dari anggota KPU Provinsi, akademisi, dan peneliti.

Jika pembaca kritis melihat susunan anggota KPU, maka disitu ada perbedaan mengenai jumlah dan keanggotaan KPU. Ada beda yang sangat mencolok antara jumlah anggota KPU jilid pertama dan KPU jilid kedua. Perbedaan selanjutnya adalah keikutsertaan Parpol dalam susunan keanggotaan KPU yang hanya berlangsung satu periode. 

Mengapa begitu? Untuk menjawabnya, kita harus menelusuri kronologis pembentukan KPU.

Pasca reformasi, Pemerintah mengesahkan satu paket UU sebagai langkah awal menuju negara yang lebih demokratis. Paket UU yang dimaksud adalah UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, UU No. 3 tahun 1999 tentang Pemilu, dan UU No. 4 tentang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, dan DPD (UU Susduk).

Konsekuensi diberlakukannya paket UU ini antara lain: lahirnya multi partai dan penyelenggaraan Pemilu oleh KPU (dengan anggota yang berasal dari wakil partai peserta Pemilu dan wakil Pemerintah). Itulah mengapa KPU pada saat itu beranggotakan 53 orang. Kelima puluh tiga anggota KPU itu terdiri dari 48 wakil partai peserta pemilu dan 5 wakil Pemerintah yang bukan pejabat struktural.

Dalam perjalanannya, KPU yang beranggotakan 53 orang ini banyak diwarnai polemik, sorotan, dan kontroversial. Puncak dari semua polemik itu, hasil Pemilu 1999 terlambat diumumkan akibat sejumlah partai tidak mau menandatangani berita acara hasil Pemilu. 

Saat itu, 22 wakil partai setuju, 5 wakil Pemerintah setuju, 4 wakil partai abstain, dan sisanya menolak. Sejumlah partai yang tidak mau menandatangani berita acara hasil Pemilu, terdiri dari partai yang tidak memperoleh kursi di DPR. Mereka menuduh Pemilu diwarnai kecurangan, tidak demokratis, dan tidak  jurdil.

Pada saat yang bersamaan, dunia internasional justru memuji-muji hasil Pemilu 1999 yang dinilai bersih, transparan, dan demokratis. Karena hasil pemilu itu tidak juga diumumkan, maka sebagai pertanggungjawaban moral, Wakil Ketua KPU, Prof. Dr. Harun Al-Rasyid mengundurkan diri.

Presiden B.J. Habibie, sebagai penanggung jawab Pemilu, berinisiatif menerbitkan Keppres No. 92/1999 tentang Pengesahan Hasil Penghitungan Pemilu. Sebelumnya, Presiden meminta verifikasi hasil penghitungan pemilu kepada Mahkamah Agung. 

Kritik dan sorotan yang pernah dialamatkan ke KPU, kemudian ditanggapi MPR. Maka, pada Sidang MPR Tahun 1999, ditetapkanlah Ketetapan MPR IV/MPR/1999 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. Salah satu bunyi ketetapan MPR IV/MPR/199 itu, MPR menugasi Presiden untuk menyelenggarakan Pemilu selambat-lambatnya tahun 2004, serta membentuk badan penyelenggara Pemilu yang independen dan nonpartisan.

Amanat MPR itu ditindaklanjuti DPR dan Pemerintah dengan mengamandemen pasal-pasal tentang penyelenggaraan Pemilu pada UU No. 3 Tahun 1999.

Pemilu 1999 pun usai, Pemerintah lalu mengeluarkan UU No. 4 Tahun 2000 tentang Perubahan  UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu. Presiden K.H. Abdurrahman Wahid kemudian menerbitkan pula Keppres No. 166/M/Tahun 2000 tentang Peresmian Pemberhentian Keanggotaan KPU.

Disinilah titik “nol kilometer” terbentuknya KPU yang independen dan nonpartisan. KPU baru kemudian lahir beranggotakan 11 orang dan dipilih melalui hasil pemilihan lewat uji kelaikan dan kepatutan DPR dari 22 calon anggota KPU yang diusulkan Pemerintah.

Siapa pun mengakui, pada saat itu KPU sukses menyelenggarakan Pemilu tahun 2004. Pemilu ini termasuk yang paling spektakuler karena untuk pertama kalinya rakyat memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung, dan dua putaran. Ini merupakan hal yang harus diapresiasi. 

Namun, tak disangka "angin topan" mendera kesuksesan KPU. Sejumlah anggota KPU lalu terpuruk karena kasus korupsi. Ketuanya, Prof. Dr. Nazaruddin Syamsuddin, M.A. berurusan dengan hukum, juga Drs. Mulyana W. Kusumah, Drs. Daan Dimara, dan  Dr. Rusadi Kanta Prawira. Sampai akhirnya, KPU yang aktif di kantor saat itu hanyalah Prof. Dr. Ramlan Surbakti, Valina Singka Subekti, dan Chusnul Mar’iyyah, Ph.D.

KPU jilid ketiga lalu dibentuk berdasarkan UU No. 22 Tahun 2007 dan Keppres No. 101/P/2007. Tidak ada perbedaan yang sangat signifikan jika dibandingkan dengan UU No. 12 Tahun 2003, kecuali pemilihan kepala daerah/wakil kepala daerah dimasukkan juga dalam Pemilu. Sejak saat itu istilah Pilkada lalu diganti dengan Pemilukada.

Selanjutnya, pada saat pembentukan KPU jilid keempat, ada wacana bahwa penggantian anggota KPU lama ke KPU baru tidak boleh menerapkan sistem “pangkas habis”, tetapi menggunakan pola  berimbang. Untuk KPU provinsi dan kabupaten/kota yang jumlahnya anggotanya lima orang, dimunculkan wacana pola 3–2. Maksudnya, dalam sebuah penggantian, tiga anggota merupakan anggota baru, dan dua orang merupakan anggota KPU lama yang harus dipertahankan. Wacana yang sempat diangkat pada saat pembahasan RUU Pemilu itu kemudian terhenti. Setelah melalui proses perundingan, semua hasil keputusan akhirnya dilimpahkan kepada Tim Seleksi. 

Itulah sejarah singkat mengenai jumlah keanggotaan Komisi Pemilihan Umum. 

Lalu bagaimanakah konsep independensi dan non-partisan dalam KPU?

Dasar hukum dari sifat independen atau mandiri dalam KPU adalah Pasal 22E ayat (5) UUD 1945. Pasal tersebut berbunyi bahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Mandiri disitu dapat dimaknai "bukan dari partai politik". 

Pemaknaan itu terlihat dalam: 1) perdebatan penyusunan konstitusi (original intens), 2) penafsiran teleologis, 3) penafsiran historis/sejarah hukum, 4) prinsip-prinsip internasional penyelenggara Pemilu, dan 5) kecenderungan Internasional tentang penyelenggara Pemilu

Pertama, pada perdebatan penyusunan konstitusi (original intens) Fraksi PDIP berpandangan bahwa Pemilu diselenggarakan oleh sebuah KPU yang bersifat nasional, permanen, mandiri dan anggota-anggotanya mempunyai kemampuan yang baik dan bukan anggota aktif partai politik peserta Pemilu (vide Naskah Komprehensif Perubahan UUD NRI 1945, hal. 517). Fraksi PKB berpandangan bahwa pelaksanaan Pemilu hanya bisa tercapai apabila penyelenggaraannya adalah badan yang mandiri dan tidak terikat pada kekuatan politik tertentu (vide Naskah Komprehensif Perubahan UUD NRI 1945, hal. 552-553). 

Kedua, secara teleologis, fungsi dan tujuan atau maksud dari frasa “mandiri” dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 adalah untuk melindungi independensi/imparsialitas penyelenggara Pemilu dari konflik kepentingan yang timbul dikemudian hari oleh partai politik. Frase "mandiri" lahir untuk menjaga agar dikemudian hari tidak muncul konflik kepentingan dalam diri penyelenggara Pemilu, antara memposisikan sebagai peserta Pemilu dan penyelenggara sebagaimana pengalaman Pemilu 1999. 

Partai politik sebagai penyelenggara Pemilu dikhawatirkan akan saling mengamankan kepentingan masing-masing sebagai peserta Pemilu. Anggota yang berasal dari partai tertentu akan memiliki kecenderungan untuk mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan partainya. Atau justru sebaliknya, anggota KPU/Bawaslu yang berasal dari partai justru bersepakat dan bekerjasama untuk melaksanakan atau tidak suatu kebijakan yang menguntungkan mereka.

Ketiga, secara historis, syarat "bukan orang partai" mengemuka dalam pembahasan perubahan ketiga UUD 1945, khususnya terkait dengan kelembagaan penyelenggara Pemilu. Mengemukanya ketentuan syarat "bukan orang partai" dilatarbelakangi oleh sejarah penyelenggaraan Pemilu 1999 yang hampir gagal karena sikap parsialitas penyelenggara Pemilu dari perwakilan partai politik. 

Komposisi keanggotaan KPU yang diisi orang-orang Parpol sebagaimana ditegaskan Pasal 8 ayat (2) UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu menjadi bumerang atas pelaksanaan Pemilu yang damai. Ketika itu, anggota KPU yang berasal dari partai politik gagal menetapkan hasil pemungutan suara tepat waktu. 

Mereka tidak bisa melepaskan kepentingan dan menempatkan diri sebagai anggota partai dan penyelenggara Pemilu yang mandiri. Ini mendorong lahirnya UU No. 4 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu. Pasal 8 ayat (2) UU No. 4 tahun 2000 lalu menyebutkan bahwa penyelenggaraan Pemilu dilaksanakan oleh KPU yang independen dan nonpartisan. 

Pengaturan berikutnya dalam Pemilu 2004, UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu menegaskan bahwa anggota KPU tidak berasal dari partai politik. Pasal 18 huruf i UU No. 12 Tahun 2003 menyebutkan bahwa syarat untuk dapat menjadi anggota KPU, KPU Propinsi, dan KPU Kabupaten/Kota adalah tidak menjadi anggota atau pengurus partai politik.

Pengaturan dalam Pemilu berikutnya, ketentuan syarat KPU nonpartisan mengalami perkembangan. Pasal 11 huruf i UU No. 22 Tahun 2007 tentang Pemilu lebih rinci mengatur jangka waktu 5 tahun tidak lagi menjadi anggota partai politik

Penyempurnaan tersebut merupakan kebutuhan untuk tetap menjaga imparsialitas anggota KPU. Pemisahan yang tegas antara kontestan, penyelenggara, dan pengawas bertujuan untuk menghindari conflict of interest.

Keempat, ditinjau dari prinsip-prinsip Internasional penyelenggara Pemilu, The International IDEA menetapkan 7 prinsip yang berlaku umum untuk menjamin legitimasi dan kredibilitas penyelenggara Pemilu yaitu: independence, impartiality, integrity, transparency, efficiency, professionalism, dan service-mindedness. 

Independence (kemandirian/independensi), mengandung makna adanya kebebasan bagi penyelenggara dari intervensi dan pengaruh seseorang, kekuasaan pemerintah, partai politik, dan pihak manapun dalam pengambilan keputusan dan tindakan dalam penyelenggaraan Pemilu.

Impartiality (berimbang/tidak berpihak), mengandung makna pemberian perlakuan yang sama, tidak memihak, dan adil sehingga tidak memberikan keuntungan pihak lain. Imparsialitas penting karena keberpihakan justru akan mencederai kredibilitas penyelenggara Pemilu dan proses penyelenggaraan Pemilu. Bentuk keberpihakan dimaksud adalah tindakan yang bertujuan untuk menguntungkan peserta Pemilu tertentu.

Integrity (integritas/terpercaya), mengandung makna kesesuaian antara tindakan dan perilaku seorang penyelenggara dengan tanggung jawabnya. Dengan itu maka penyelenggara akan mendapatkan kepercayaan publik, pemilih, maupun kandidat atau partai politik yang berkepentingan langsung dengan Pemilu. Integritas merupakan prinsip penting bagi suatu lembaga untuk mendapatkan pengakuan oleh pihak lain.

Transparency (keterbukaan), mengandung makna bahwa penyelenggara Pemilu dituntut untuk mampu bersikap terbuka dalam menjalankan tugas dan kewajibannya dalam penyelenggaraan Pemilu. Keterbukaan ini penting untuk menjamin kredibilitas proses penyelenggaraan Pemilu, sehingga dapat diterima oleh semua kelompok baik partai politik, pemerintah, masyarakat madani, dan media.

Efficiency (efisiensi). Efisiensi dan efektivitas merupakan komponen penting dari seluruh kredibilitas Pemilu. Efisiensi sangat penting bagi proses penyelenggaraan Pemilu karena kerusakan dan masalah teknis dapat menyebabkan kekacauan dan rusaknya hukum dan tata tertib.

Professionalism (profesionalisme), mengandung makna bahwa Pemilu harus dikelola oleh kelompok khusus/orang yang memiliki keahlian, terlatih dan berdedikasi. Kelompok yang memiliki keahlian terdiri dari para ahli dan mampu mengelola serta melaksanakan penyelenggaraan Pemilu.

Service-mindedness (pelayanan). Menurut International IDEA, alasan utama dibentuknya badan pelaksana Pemilu adalah untuk memberikan pelayanan kepada stake holders, baik masyarakat maupun peserta Pemilu. Penyelenggara Pemilu harus mengembangkan dan mempublikasikan standar pelayanan untuk setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu. Pelayanan yang baik merupakan tolak ukur bagi para pemangku kepentingan untuk menilai kinerja penyelenggara Pemilu.

Kelima, ditinjau dari kecenderungan Internasional tentang penyelenggara Pemilu, perkembangan penyelenggara Pemilu di dunia diisi oleh ahli dan meninggalkan keanggotaan dari kelompok partisan. Anggota penyelenggara dari ahli terdapat di 116 negara dengan persentase 52,4%, partisan hanya 9 negara (4%), kombinasi antara ahli dan partisan terdapat di 33 negara (14,9%). Data selengkapnya bisa dilihat di sini.

Berdasarkan data tersebut, muncul kecenderungan bahwa penyelenggara Pemilu dari kelompok ahli justru lebih banyak diterima dari pada kelompok partisan. Kecenderungan tersebut muncul karena kegagalan dan kelemahan penyelenggaraan yang melibatkan kelompok partisan.

Dari penjelasan diatas, dapat kiranya disimpulkan bahwa independensi KPU adalah hal yang mutlak dan harus dipenuhi untuk tercapainya Pemilu yang demokratis. Wacana DPR untuk memasukkan unsur partai politik dalam keanggotaan KPU, bertentangan dengan konstitusi negara. Wacana ini tentu saja jauh dari cita-cita demokrasi dan semangat reformasi.

Jika anggota Parpol masuk KPU, artinya kita akan set back ke masa lalu dimana Pemilu bisa diatur oleh yang berkepentingan dengan hasilnya. 

Sebagaimana kita ketahui bersama, keberlanjutan demokrasi melalui Pemilu harus memenuhi asas-asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Asas jujur dan adil hanya dapat terwujud jika penyelenggara Pemilu tidak dapat diintervensi atau dipengaruhi oleh pihak manapun. Oleh karena itu, penyelenggara Pemilu tidak dapat diserahkan kepada pemerintah atau Parpol sebab berpotensi dan rawan dipengaruhi atau dimanfaatkan oleh berbagai kepentingan.

Semoga saja, wacana Pansus Penyelenggaraan Pemilu untuk memasukkan Partai Politik menjadi anggota KPU ini tidak berkembang, apalagi berlanjut menjadi UU, karena melanggar ketentuan dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945. 

DPR adalah lembaga yang mengemban amanat mulia dari rakyat untuk menegakkan demokrasi. Salah satunya, dengan mendukung terselenggaranya Pemilu yang independen serta bebas dari kepentingan Parpol.

Masih ingatkah DPR akan cita-cita demokrasi itu?

Ikuti tulisan menarik Manik Sukoco lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler