x

Iklan

Rahyang Nusantara

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Generasi Muda, Aktor Penting Dalam Kemitraan Berkelanjutan

Anak muda sebagai generasi penerus bangsa harus mulai dilibatkan dalam perencanaan pembangunan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Survey statistik yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2015 tentang kepemudaan menunjukkan bahwa populasi pemuda di Indonesia adalah 24,20% dari total penduduk Indonesia, yaitu berkisar 61,68 juta jiwa. Pemuda yang dimaksud adalah mereka yang berusia 16-30 tahun. Lebih lanjut dalam survey tersebut, hanya 5,86% pemuda yang aktif berorganisasi. Namun, hanya 8,95% dari pemuda tersebut yang memanfaatkan organisasi sebagai sarana belajar kepemiminan. 

Saya sudah aktif di organisasi sejak masa sekolah dulu. Melalui organisasi, saya memperolah banyak manfaat, khususnya mengasah kemampuan dalam memimpin, baik itu untuk diri sendiri maupun kelompok. Apa yang saya dapatkan ketika berorganisasi adalah belajar menekan ego demi kepentingan bersama. Ketika saya berkomitmen bergabung pada suatu organisasi tertentu, artinya ada sebagian atau mungkin seluruhnya dari tujuan dan hasrat hidup saya yang sama dengan organisasi tersebut. Bergabung dalam suatu organisasi sejak bangku sekolah mengajarkan saya akan sikap sukarela, dalam hal apapun. Sukarela dalam hal waktu luang, finansial, intelektual, dan lain sebagainya. Istilah lainnya biasa kita sebut dengan relawan (atau dalam bahasa Inggrisnya adalah volunteer). 

Bergabung dengan organisasi tentunya akan dihadapkan dengan berbagai anggota yang memiliki latar belakang berbeda, baik itu dari segi budaya maupun pemikiran. Hal ini yang menurut saya sangat penting kita pupuk sejak muda, sehingga ketika datang masanya nanti untuk benar-benar terjun di masyarakat melalui keahlian yang kita miliki tidak ditanggapi dengan rasa panik. 

Saya benar-benar merasakan pentingnya berorganisasi ketika berada di bangku kuliah sarjana dulu. Paling tidak, saya aktif berpartisipasi di dua organisasi, yaitu badan eksekutif mahasiswa (BEM) dan unit kegiatan mahasiswa (UKM) IAAS Indonesia LC Unpad. Hal yang paling membekas dalam diri saya adalah ketika bergabung dalam UKM tersebut. Belum setahun sejak saya bergabung, unit tersebut seakan-akan ditinggalkan oleh para pengurusnya, membuat saya dan anggota lainnya yang begitu ingin berkegiatan menjadi kebingunan. Namun, saya dan anggota lainnya secara inisiatif membuat kegiatan mandiri demi keberlangsungan UKM ini. Saat itu, saya mengajak anggota yang lain untuk inisiatif menyelenggarakan sebuah seminar skala kecil untuk teman-teman kuliah. Salah satu syarat kelulusan adalah mengikuti seminar yang dibuktikan dengan sertifikat. Saya dan anggota lainnya memanfaatkan kondisi vakumnya UKM ini dan kebutuhan yang tersedia. Akhirnya, saya, yang didaulat menjadi ketua panitia, dan anggota lainnya yang hanya berjumlah 5 (lima) orang menyelenggarakan seminar ini yang bisa mendatangkan lebih dari 200 orang! Seminar ini juga menandakan kemitraan antara organisasi dengan dua fakultas berlainan. Sejak saat itu, saya merasa bahwa UKM ini telah menjadi bagian dalam diri saya dan perlu diperjuangkan. Saya sangat senang mendengar bahwa hingga kini, UKM tersebut masih aktif dan semakin berkembang. 

Dalam berorganisasi, saya cenderung mengambil peran sebagai pemimpin. Apa yang saya kejar? Bukan jabatan, tentu saja. Saya merasa tertantang untuk mengambil peran yang lebih besar karena saya merasa yakin dan mampu bahwa saya bisa melakukan hal itu. Sebagai organisasi tingkat dunia, peran saya di IAAS LC Unpad bukan hanya menjadi pemimpin bagi anggota-anggota organisasi tersebut. Saya belajar bagaimana saya menjalin kemitraan dengan UKM lainnya di kampus maupun luar kampus. Bagi anggota UKM, penting juga melakukan kemitraan dengan pihak otoritas kampus. Terlebih lagi, saya harus menjaga hubungan dengan cabang UKM tersebut di kampus lainnya, baik di Indonesia maupun di luar Indonesia. 

Apa yang saya pelajari selama di organisasi tersebut, saya terapkan ketika memasuki dunia profesional. Hampir semua apa yang telah saya alami saat berorganisasi dulu, ternyata bisa terulang dan saya bisa lebih menghadapinya dengan lebih baik.  Terlebih lagi untuk urusan kemitraan. Meskipun saya bukan seorang yang ahli dalam strategi membangun kemitraan, paling tidak melalui pengalaman terdahulu saya bisa jauh lebih memahami bagaimana membangun kemitraan dengan baik. 

Jika saya ingat kembali hasil survey di atas, saya cukup sedih bahwa masih banyak pemuda Indonesia yang tidak terlibat dalam organisasi. Dalam dunia masa kini yang perkembangannya sangat cepat, setiap orang dituntut untuk beradaptasi dengan kecepatan yang sama. Pemuda yang lahir dan tumbuh pada zaman serba cepat saat ini, seharusnya bisa lebih mengambil peran yang lebih banyak dalam berbagai hal. Saya teringat dengan tagline Hari Pemuda Internasional tahun 2014 lalu yang mengusung “Investing in Young People”. Saya sangat sepakat bahwa setiap generasi harus menyimpan “investasi” kepada generasi dibawahnya. Investasi yang dimaksudnya dalam terminologi disini tentu saja bukan uang, tetapi investasi ilmu dan pengetahuan, keahlian, pengembangan kapasitas, kaderisasi, dan lain sebagainya untuk mengembangkan individu pemuda itu sendiri. 

Terlebih lagi, pada zaman dimana eksploitasi sumber daya dilakukan secara berlebihan, pemuda sebagai generasi yang akan “mewarisi” ini nantinya juga harus melakukan pergerakan untuk mendesak generasi pendahulunya untuk melakukan upaya-upaya penyelamatan sumber daya. Istilah yang kemudian disebut oleh berkelanjutan (sustainability), menjadi sebuah prinsip dan konsep yang harus dilakukan setiap orang dan kelompok untuk menjaga kelangsungan planet bumi. Dalam pembangunan berkelanjutan, setiap pihak dituntut untuk menyelaraskan aspek lingkungan, masyarakat, dan ekonomi (yang juga disebut triple bottom line). Menurut saya, konsep pembangunan berkelanjutan lebih menitikberatkan kepada aspek lingkungan (meski tidak harus demikian). Mengapa? Selama ini umat manusia melakukan ekspoitasi berlebihan terhadap lingkungan. Eksploitasi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi manusia yang mengorbankan makhluk hidup lainnya (hewan dan tumbuhan). Sehingga sampai pada suatu titik dimana sumber-sumber eksploitasi tersebut sudah terancam punah. Sehingga, isu lingkungan menjadi hal yang banyak dibicarakan, tetapi kurang perhatian. Dalam survey pemuda oleh BPS tahun 2015 disebutkan bahwa hanya 1,94% dari total populasi yang tertarik untuk beraktivitas di isu lingkungan hidup. Asumsi saya, masih banyak kampanye-kampanye lingkungan hidup yang belum sepenuhnya menargetkan pemuda sebagai aktor penting yang harus diajak.

United Nations Population Fund (UNFPA) pada tahun 2012 memperkirakan bahwa ada sekitar 43% dari total populasi dunia adalah pemuda yang berusia di bawah 25 tahun. Artinya, kelompok pemuda ini memiliki suara yang bisa didengar dan menggerakkan seluruh dunia. Dengan isu keberlanjutan yang saat ini diperkuat dengan komitmen Sustainable Development Goals (SDGs), mendorong anak muda untuk bisa berkontribusi lebih. Apalagi ditambah dengan platform Sustainable Development Solution Network (SDSN) khusus pemuda, yaitu SDSN Youth. 

Peran saya dalam dunia profesional mendorong saya untuk melakukan kemitraan dengan tiga pihak, yaitu pemerintah, swasta (khususnya industri ritel), dan masyarakat (pemuda pada khususnya). Tiga pihak ini yang saya yakini merupakan aktor-aktor penting untuk mencapai tujuan dalam organisasi saat ini dimana saya bekerja, yaitu Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik. Untuk memaksimalkan kemitraan antar tiga pihak ini, saya dan rekan-rekan di organisasi saya menginisiasi petisi daring untuk mengumpulkan dukungan publik mengenai pentingnya mengurangi penggunaan kantong plastik melalui mekanisme kantong plastik berbayar. Petisi ini dikampanyekan sejak tahun 2015. Dalam melakukan kampanye pun, saya bermitra dengan pihak lain sehingga lebih banyak lagi dukungan yang terkumpul. Selama hampir 8 (delapan) bulan lamanya melakukan kampanye lewat petisi ini, dengan jumlah dukungan mencapai lebih dari 60,000 tanda tangan dapat mendorong adanya kebijakan baru yang diluncurkan oleh pemerintah dalam upayanya mengurangi penggunaan kantong plastik. Sejak kebijakan tersebut diluncurkan, kemitraan antara organisasi saya dengan pemerintah (dari pusat hingga daerah), swasta (industri ritel modern), dan masyarakat (anak muda yang tergabung dalam beberapa komunitas di daerah pada khususnya) menjadi lebih terbangun. Belum sempurna memang, tetapi sudah terjalin dengan baik.  

Pemuda lagi-lagi menjadi aktor penting. Bukan saja karena saya masih pemuda, tetapi karena alasan di atas, yaitu pentingnya “berinvestasi” pada pemuda. Pemuda perlu diajak untuk mulai membangun kemitraan sejak dini untuk mendukung upaya-upaya mendorong pembangunan yang berkelanjutan, mulai dari urusan birokrasi, bisnis, dan kegiatan sosial kemasyarakatan untuk memahami kondisi. Pengalaman saya dalam membangun kemitraan melalui pekerjaan saya dituangkan dalam Youth Booklet II yang diterbitkan oleh UNFPA Indonesia. Mengutip apa yang saya bicarakan dalam buku tersebut, “Indonesian youth have the motivation to do things that matter for the environment, but often times this virtue is yet to be properly directed and materialized”. 

Ikuti tulisan menarik Rahyang Nusantara lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler