x

Iklan

Desmon Silitonga

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Membangun Kepercayaan

Dengan membaiknya kepercayaan kepada investasi legal dan edukasi, maka setiap ada tawaran investasi yang mencurigakan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Investasi ilegal (bodong) seolah tidak pernah mati. Meski telah sering memakan korban dengan nilai kerugian yang sangat besar, tetapi aktivitas ini tetap tumbuh subur. Kasus koperasi Pandawa Group yang akhir-akhir ini banyak diberitakan jadi salah satu di antaranya.

Koperasi ini menawarkan imbal hasil tetap sebesar 10 persen sebulan (120 persen setahun). Imbal hasil yang sangat besar dan menggiurkan. Imbal hasil yang tinggi ini menggiurkan sebagian masyarakat untuk berbondong-bondong jadi nasabah.  Jumlahnya pun mencapai ribuan orang.

Apalagi, sejumlah masyarakat yang telah jadi nasabah mengakui telah menikmati imbal hasil yang tinggi itu.  Mereka menyakini akan menerima hasil yang sama. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Namun, kenyataan berbicara lain. Investasi koperasi ini macet. Mereka yang telah menyerahkan dananya harus gigit jari. Nilai kerugian dari investasi ilegal ini diperkirakan mencapai Rp 1,5 triliun.

 

Model pengelolaan investasi yang dilakukan Pandawa Group bukan hal baru. Modelnya sederhana, yaitu kemampuan memutar arus kas (cash flow) tanpa didukung oleh aset dasar (underlying asset) yang riil dan likuid.

Sehingga, ketika terjadi mismatch, aset tersebut tidak bisa langsung dijual menjadi uang kontan. Selain itu, pengelola investasi ini sudah pasti tidak kompeten mengelola dana triliun, karena ia tidak akan pernah berpedoman pada prinsip kehati-hatian.

Membangun Kepercayaan

Mengapa kasus investasi ilegal ini selalu terulang? Pertama, pengawasan yang masih belum terintegrasi. Saat ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sesuai dengan UU No 11 tahun 2011 menjadi pengawas di sektor keuangan (perbankan, pasar modal, dan industri keuangan non bank).

Namun, ada lembaga keuangan lainnya yang berada di luar pengawasan OJK, seperti koperasi, perusahaan pialang yang kebetulan sering menjadi wadah menjalankan investasi ilegal. Dan, sayangnya, lembaga ini sering tidak mendapat pengawasan secara ketat, sehingga upaya pencegahan sulit dilakukan.

Itulah sebabnya, ketika kasus investasi ilegal ‘meledak’, maka OJK tidak bisa berbuat banyak, karena berada di luar yuridiksinya. Dan, sayangnya, otoritas pengawas yang selama ini menjadi penjajah investasi ilegal juga tidak bisa berbuat banyak hal.

Oleh sebab itulah, perlu dicari solusi terkait belum terintegrasinya pengawasan ini, sehingga diharapkan upaya pencegahan (mitigasi) dapat dilakukan secara efektif, sebelum kasus ‘meledak’

Harus diakui berdasarkan data OJK menunjukkan bahwa perusahaan yang terindikasi melakukan aktivitas ilegal terus meningkat. Tahun 2016 mencapai 406 perusahaan, meningkat dari tahun 2014 sebanyak 262 perusahaan.

Demikian juga dengan nilai kerugian. Menurut Asosiasi Penjualan Langsung Indonesia (APLI), kerugian dari aktivitas ini sepanjang periode 1975-2015 mencapai Rp 126,51 triliun.

Kedua masih rendahnya kepercayaan terhadap lembaga keuangan dan non keuangan yang legal. Masyarakat masih lebih memercayai bujukan dan ajakan dari saudara, keluarga, teman, apalagi publik figur, seperti pemuka agama.

Kombinasi iming-iming imbal hasil tinggi, minim risiko, dan kepercayaan inilah yang dimanfaatkan oleh para penjaja investasi ilegal memengaruhi psikologis masyarakat untuk menamkan dananya.

Di sinilah tantangannya, bagaimana pemerintah, OJK, BI, dan stakeholder yang terkait untuk dapat mengalihkan kepercayaan ini. Memang tidak mudah. Butuh waktu. Khususnya, terhadap sebagian kelompok masyarakat yang masih dirasuki oleh sifat keserakahan yang ingin untung besar secara singkat. Padahal, selalu ada proses dalam sebuah investasi.

Memang, tidak semua kelompok masyarakat yang terjebak dalam investasi ilegal karen ketamakan. Ada juga karena ketidaktahuan dan ketidakpahaman, khususnya yang jauh dari akses informasi produk-produk investasi legal. Nah, kelompok inilah yang mudah untuk diselamatkan melalui proses sosialisasi dan edukasi.

Melalui proses sosialisasi dan edukasi diharapkan akan memperbaiki tingkat pemahaman (literasi) terhadap imbal hasil dan risiko serta produk-produk investasi legal dan ilegal. Dan harus diakui bahwa tingkat literasi keuangan di Indonesia terus membaik, meski masih tetap tertinggal dibandingkan dengan negara lain.

Dengan membaiknya kepercayaan kepada investasi legal dan edukasi, maka setiap ada tawaran investasi yang mencurigakan, masyarakat akan semakin kritis dan tidak mudah tergiur dengan iming-iming imbal hasil yang tinggi. 

Semoga otoritas keuangan dan stakeholder yang ada dapat terus membangun kepercayaan, sehingga masyarakat mau beralih ke instrumen-instrumen investasi legal.

Becermin dari besarnya kerugian dari investasi ilegal ini, sehingga jika dana yang besar ini bisa diarahkan untuk diinvestasikan pada produk-produk investasi legal, maka selain masyarakat bisa menikmati imbal hasil, masyarakat juga ikut berpartisipasi dalam pendanaan pembangunan dan mengurangi ketergantungan terhadap pendanaan asing.

 

 

Ikuti tulisan menarik Desmon Silitonga lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu