x

Iklan

Syarifuddin Abdullah

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Bom Mobil Bunuh Diri di Shandaq Bazar, Peshawar, Pakistan

Respon dan peliputan media-media Pakistan tidak terlalu massif memberitakan kasus teror bom di Peshawar pada 31 Maret 2017.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Cuaca pagi di kota Islamabad, Pakistan, pada Jumat, 31 Maret 2017, lumayan panas dan gerah buat saya. Tapi bagi warga Pakistan, cuaca di bulan Februari-Maret adalah yang paling ideal sepanjang tahun. Sekitar pukul 08.30 saya keluar kamar untuk sarapan di restoran hotel, dan bersiap melakukan perjalanan darat ke luar kota.

Sekitar pukul 09.30  local time, saya meninggalkan kota Islamabad, dengan tujuan berkunjung ke Puncak Bhurban, yang terletak di kawasan Murree, sekitar 63 km ke arah timur laut Islamabad, yang dapat ditempuh dari Islamabad kurang lebih 90 menit, melintasi jalanan meliuk-liuk, sejauh mata memandang adalah pegunungan batu cadas, dengan tebing-tebing yang terjal, tapi jalannya dibuat empat lane sepanjang sekitar 40 km.

Pada sekitar pukul 10.30 waktu setempat, saya tiba di puncak Bhurban, yang berada pada ketinggian sekitar 2000 meter di atas permukaan laut, dan merupakan salah satu puncak dalam rangkaian pegunungan Himalaya, di kawasan Murree, Provinsi Punjab, Pakistan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dari puncak Bhurban inilah, pengunjung dapat melihat kawasan pegunungan Kashmir, bagian utara. Lamat-lamat terlihat salah satu puncak gunung Kashmir berwarna putih, karena masih dibalut salju. Menurut seorang pemandu, dari puncak Bhurban ke gunung Kashmir yang terlihat putih itu diperlukan waktu tempuh sekitar 5 sampai 6 jam dengan mobil.

Ketika saya sedang berada di Puncak Bhurban itulah, pada sekitar pukul 12.00 local time Pakistan, sebuah bom mobil bunuh diri menyerang sebuah masjid Syiah, yang berlokasi di kawasan Pasar Shandaq (Shandaq Bazar), Parachinar, Peshawar, Pakistan.

Sasaran ledakan adalah para jamaah masjid, yang tampaknya sedang menanti tibanya waktu shalat Jumat, persis di dekat pintu masuk masjid khusus wanita. Akibatnya, 22 tewas dan sekitar 70 cedera.

Selama dalam perjalanan darat ke luar kota Islamabad itu, saya tidak mendengar ada ledakan di Peshawar. Kemudian sekitar pukul 14.15, saya bergeser dari puncak Bhurban menuju Islamabad, dan tiba di Islamabad sekitar pukul 15.45. Masuk ke kamar hotel, menyetel televisi sambil membuka-buka situs berita lokal. Saya terperanjat ketika mendengar berita singkat di televisi lokal bahwa sekitar 12.00 siang hari Jumat itu, terjadi serangan aksi teror bom di Peshawar.

Sebuah situs lokal memberitakan, Jamaat-ul-Ahrar, salah satu faksi Taliban mengaku bertanggungjawab atas ledakan di Pasar Shandaq, Parachinar, Peshawar, tersebut.

Beberapa catatan:

Pertama, jarak antara Islamabad dengan lokasi ledakan di Parachinar Peshawar sekitar 362 km ke arah barat Pakistan (berdasarkan Google Map). Dengan kata lain, ledakan terjadi ketika saya berada lebih dari 420 km dari titik ledakan.

Dan Parachinar adalah kota yang terletak di kawasan yang dikenal sebagai wilayah suku-suku (tribels area), dekat dengan perbatsan Pakistan-Afghanistan, dan selama ini memang populer menjadi langganan sasaran aksi teror bom di Pakistan.

Kedua, dengan jumlah korban yang cukup signifikan (22 orang tewas dan masih mungkin bertambah, plus lusinan orang cedera), saya mencermati media-media Pakistan – terutama elektronik – tidak terlalu massif memberitakan kasus ledakan di Peshawar pada 31 Maret 2017, kalau dibandingkan misalnya jika terjadi aksi teror bom di Indonesia, yang peliputannya bisa berlangsung berhari-hari dengan menghadirkan berbagai narasumber.

Di lobby hotel, saya bertanya kepada seorang aparat keamanan, yang berpakaian resmi, tentang ledakan Peshawar Jumat siang. Saya merasa aneh, karena aparat keamanan itu ternyata baru mendengarkan berita ledakan itu dari saya. Jam sudah menunjukkan pukul 18.00 sore, atau sekitar enam jam setelah ledakan. Beberapa televisi lokal hanya memberitakan sekilas, disertai running text kecaman para pejabat pemerintah terkait.

Ketiga, Ada beberapa kemungkinan kenapa respon media Pakistan tidak terlalu massif memberitakan kasus teror bom di Peshawar: (1) boleh jadi itu merupakan bagian dari kebijakan pemberitaan media-media Pakistan dan/atau pemerintah Pakistan; (2) media-media lokal apalagi media internasional mungkin sekali tidak memiliki koresponden yang menetap di wilayah Peshawar; (3) atau boleh jadi juga, karena seringnya terjadi ledakan bom, khususnya di wilayah Peshawar, maka setiap kasus aksi teror bom tidak lagi menjadi materi yang terlalu penting bagi media dan publik.

Atau jangan-jangan karena nalar saya yang tidak/belum mampu mengolahnya.

Syarifuddin Abdullah | Sabtu, 01 April 2017 / 04 Rajab 1438H.

Ikuti tulisan menarik Syarifuddin Abdullah lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler