x

Iklan

Fahmy Radhi

Pengamat Ekonomi Energi UGM
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Lain Freeport, Lain Mahakam ~ Fahmy Radhi

Berbeda dengan keputusan soal Freeport, Jonan membesarkan hak kelola Blok Mahakam kepada Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Fahmy Radhi

Pengamat Ekonomi Energi UGM

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan soal divestasi 51 persen saham PT Freeport Indonesia sangat lugas dan tegas, bahkan terkesan heroik. Keputusan Jonan itu seolah tidak lagi memberikan ruang bagi Freeport untuk menawar besaran komposisi divestasi sahamnya yang menjadi syarat izin usaha pertambangan khusus (IUPK), seperti diatur Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017. Ketegasan Jonan untuk memenuhi syarat IUPK itu yang menjadi salah satu pemicu CEO MacMoran menebar ancaman untuk memperkarakan Indonesia ke arbitrase internasional.

Berbeda dengan keputusan soal Freeport, Jonan justru memberikan peluang bagi Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation untuk memperbesar hak kelola di Blok Mahakam, dari 30 persen menjadi 39 persen. Tidak hanya itu, Jonan menawari dua kontraktor asing tersebut untuk tetap menjadi operator Blok Mahakam.

Padahal keputusan Menteri ESDM sebelumnya, Sudirman Said, sudah membatasi porsi hak kelola dua kontraktor tersebut maksimal 30 persen setelah masa kontrak berakhir pada akhir 2017. Awalnya, Sudirman Said akan menyerahkan 100 persen hak kelola kepada Pertamina sekaligus sebagai operator tunggal Blok Mahakam. Namun Pertamina memutuskan untuk mengajak kembali operator yang ada dengan memberikan hak kelola maksimal 30 persen.

Alasan yang dikemukakan Jonan untuk memperbesar hak kelola dan menawarkan hak operator adalah menjamin tidak terjadinya penurunan volume produksi saat dikelola Pertamina. Alasan itu secara tersirat menunjukkan bahwa Jonan masih meragukan kemampuan Pertamina untuk mempertahankan volume produksi dalam mengoperasikan Blok Mahakam. Alasan serupa juga pernah dikemukakan Menteri ESDM era pemerintahan SBY, Jero Wacik.

Sejak 2008, Pertamina telah berulang kali mengajukan usul kepada Kementerian ESDM untuk mengelola Blok Mahakam secara mandiri. Pertamina juga menyatakan kesanggupannya mengalokasikan dana investasi untuk mengoptimalkan produksi jika kelak ditunjuk sebagai operator tunggal Blok Mahakam. Namun kala itu Menteri Jero Wacik cenderung lebih memilih memperpanjang kontrak Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation ketimbang menyerahkan pengelolaan Blok Mahakam kepada Pertamina.

Jero Wacik beralasan, Pertamina tidak mampu mengelola Blok Mahakam, baik dari sisi kemampuan sumber daya manusia, teknologi, maupun pendanaan investasi. Keraguan itu menunjukkan bahwa mental terjajah, yang menganggap bangsa asing lebih unggul daripada bangsa sendiri, masih menggelayuti para elite, meski Indonesia sudah merdeka lebih dari 70 tahun. Untungnya, Menteri Jero Wacik sudah digantikan Sudirman Said sebelum sempat memutuskan perpanjangan kontrak Blok Mahakam.

Kemampuan Pertamina dalam mengelola lapangan minyak dan gas di lepas pantai sebenarnya sudah tidak diragukan lagi. Selama ini Pertamina telah berhasil meningkatkan produksi di Blok Offshore North West Java, yang tingkat kompleksitasnya jauh lebih tinggi daripada Blok Mahakam. Pertamina saat ini memiliki lebih dari 1.500 karyawan dengan pengalaman rata-rata 20 tahun di operasi minyak dan gas lepas pantai. Selain itu, Pertamina masih dapat mempekerjakan mantan karyawan Total E&P Indonesie, yang 95 persennya merupakan warga negara Indonesia.

Pertamina juga sudah mewaspadai potensi penurunan produksi Blok Mahakam selama masa transisi. Untuk menjaga produksi gas tetap di atas 1 miliar kaki kubik (bcf), Pertamina akan meningkatkan jumlah sumur pengeboran dari enam menjadi 19 sumur. Pertamina bahkan telah menyiapkan dana US$ 180 juta atau sekitar Rp 2,34 triliun untuk membiayai pengeboran 19 sumur itu. Memang, pada awal pengambilalihan oleh Pertamina, produksi berpotensi menurun. Namun, dengan dioperasikannya 19 sumur itu, produksi gas akan kembali meningkat, yang diperkirakan bisa mencapai 1,6 bcf pada tahun berikutnya.

Pengalihan pengelolaan Blok Mahakam dari Total E&P Indonesie ke Pertamina akan menjadi preseden baik bagi negeri ini. Pertamina akan semakin percaya diri dalam setiap pengambilalihan lahan minyak dan gas dari kontraktor asing. Ini akan meningkatkan akumulasi kemampuan Pertamina dalam mengelola lahan minyak dan gas, yang akan sangat berguna saat Pertamina mengoperasikan lahan minyak dan gas di luar negeri. Dengan begitu, Pertamina dapat menjadi perusahaan tangguh kelas global.

Maka, tak ada alasan bagi Menteri Jonan untuk meragukan kemampuan Pertamina dalam mempertahankan volume produksi setelah pengambilalihan Blok Mahakam. Jonan semestinya tetap konsisten dalam pengambilan keputusan antara Freeport dan Blok Mahakam. Jangan malah membuka peluang bagi Total E&P Indonesie dan Inpex Corporation untuk memperbesar hak kelola dan tetap mempertahankan diri sebagai operator Blok Mahakam setelah berakhirnya kontrak pada akhir 2017.

Ikuti tulisan menarik Fahmy Radhi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB