x

Iklan

Wendie Razif Soetikno

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Blalck Campaign dan Negative Campaign, Perlukah?

Banyak orang tidak mengikuti sidang ke-13 sampai sidang ke-17 dugaan penistaan agama oleh Ahok, lalu tergesa-gesa menghalalkan kampanye SARA. Perlukah ?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebenarnya kita sudah biasa menghadapi perbedaan pandangan atau tafsir dan ilmu tafsir.  Kita semua menerima dengan damai bila ada pihak yang menetapkan 1 Syawal secara berbeda. Atau adanya perbedaan pandangan tentang ziarah kubur, tahlil, doa qunut waktu subuh, maulud Nabi, wiritan, dibaan, dll. Semuanya rukun dan damai. Namun  akhir-akhir ini terjadi pemaksaan kehendak untuk mengikuti satu tafsir tunggal yang berujung pada intoleransi.  Semua pihak yang tidak sependapat, dianggap musuh.

Munculnya tafsir tunggal ini karena banyak pihak tidak membaca buku Dr Budhy Munawar-Rachman (dosen UIN Syarif Hidayatulah Jakarta) : “REORIENTASI PEMBARUAN ISLAM, Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme, Paradigma Baru Islam Indonesia” (https://www.scribd.com/doc/259112570/Buku-Reoritentasi-Pembaharuan-Islam )

Maka hal-hal yang perlu dicermati adalah :

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

1. Agama itu tidak sama dengan indoktrinasi

Hal ini dimulai dari indoktrinasi yang disertai provokasi berulang-ulang : “tidak pernah dalam sejarah umat Islam mengangkat pemimpin kafir

Padahal dalam penelusuran sejarah Islam, ternyata Khalifah Harun al-Rasyid dan puteranya Al-Makmun pada zaman keemasan Dinasti Abbasiyah membangun Badan Penerjemahan (BAITUL HIKMAH) dan mengangkat Hunayn bin Ishaq bersama puteranya Ishaq bin Hunayn dari kalangan Kristen, mengepalai lembaga tersebut, sekaligus Ketua Tim Dokter Istana.  Jabatan yang sangat tinggi dan dihormati saat itu karena menyangkut nyawa elite muslim.

Penerjemah dari Kristen Nestoria adalah Bakhtisyu’, juga diangkat menjadi Kepala Rumah Sakit Baghdad. (Lihat buku sejarah Akhbar al-‘Ulama’ bi Akhyar al-Hukama’ Juz I, hal. 77 oleh Al-Qufty; Tarikh al-Islami Juz 4 hal.491 oleh Al-Dzahaby dan Wafyat al-A’yani wa Anba’u Abna’ al-Zaman Juz I, hal. 205 oleh Ibn Khillikan).

Dalam sejarah modern, cukup banyak pemimpin non muslim di negeri muslim, seperti di Mesir : Boutros Ghali (PM Mesir 1846-1910) yang beragama Kristen. Cucunya Boutros Boutros-Ghali adalah Menteri Negara Urusan Luar Negeri Mesir, yang kemudian menjadi Sekjen PBB, pejabat tinggi tingkat dunia yang mengharumkan nama dunia Islam. Negara Islam Sudan, pernah punya Wakil Presiden dari Kristen, yaitu Abel Alier (1976-1982),Yosep Lagu (1982-1985), G.K.Arof (1994-2000), dan Moses K.Machar (2001-2005). Di Irak ,Wakil PM Saddam Husein, yaitu Wakil PM Tareq Azis adalah orang Kristen. Di Libanon, Presiden dan PM  dijabat bergantian oleh pemimpin muslim dan non muslim.  Malaysia juga mempunyai banyak menteri dan pejabat tinggi yang non muslim.  Malaysia yang menerapkan syariat Islam secara penuh, bahkan mengijinkan adanya perjudian di Genting Highland.

2. Tafsir dan Ilmu tafsir itu berbeda

Indoktrinasi yang disertai provokasi berulang-ulang :  “tidak pernah dalam sejarah umat Islam mengangkat pemimpin kafir ini didasarkan atas tafsir politis Surat Al-Maidah ayat 51 saja, padahal secara theologis Surat Al-Maidah ayat 51 tidak bisa dipisahkan dari Surat Al-Mumtahanah ayat 8. Kedua ayat ini harus dilihat secara holistik atau keseluruhan terkait kriteria pemimpin nonmuslim yang tidak boleh dipilih.

“(Surat Al-Mumtahanah ayat 8) bahwa yang tak boleh dipilih sebagai aulia adalah orang nonmuslim yang memerangi kamu dan mengusir kamu dari negeri kamu. Kalau sekedar beda agama nggak masalah”, kata KH Masdar Fardis Mas’udi (Ketua 1 PB NU dan anggota Komisi Fatwa MUI 1996 - 2001) ketika menyampaikan pendapatnya di sidang Ahok ke-16

Menurut Masdar, kalau hanya memegang Al-Maidah 51 dan tidak memegang ayat lainnya itu berarti mempercayai yang satu dan mengingkari yang lain.

Ketika Surat Al-Maidah ayat 51 dipahami, maka umat Islam wajib menunjukkan Islam yang rahmatan lil alamin. Artinya umat Islam tidak boleh mendiskriminasi orang berdasarkan SARA. Jadi harus ada Surat lain yang harus dipegang saat menyebut Surat Al-Maidah 51

 

3. Pendapat ini sudah lama muncul dalam khazanah pemikiran NU. Intelektual muda NU Akhmad Sahal sudah menuliskannya lima tahun yang lalu  Makna Al Maidah 51 dan awliya : http://linkis.com/www.jakartabeat.net/Kq605

Dan pendapat Prof. Dr. H. Hamka Haq MA (Dewan Pertimbangan MUI) dalam buku Islam Rahma Untuk Bangsa, dan pendapat Prof. Dr. Quraish Shihab dalam Penafsiran Tabayyun dalam Al Quran Menurut Tafsir Al-Misbah

 4. Isu pengkafiran di atas dikuatkan gemanya melalui kesaksian Hamdam Rasyid, anggota Komisi Fatwa MUI, pada sidang ke-9 Ahok, yang  menyatakan bahwa “aulia itu hanya berarti pemimpin” dan “tidak pernah dalam sejarah umat Islam mengangkat pemimpin kafir”.  Saksi Hamdan Rasyid,  yang dihadirkan JPU sebagai saksi ahli adalah anggota Komisi Fatwa MUI,  sehingga tidak memungkinkan Hamdan memberi penilaian pada Fatwa MUI, karena Hamdan Rasyid terlibat langsung di dalam penyusunan Fatwa MUI itu, yang kemudian diubah menjadi pandangan para ulama atau sikap keagamaan MUI.

Hal ini dibuktikan dari BAP : KH Ma'aruf Amin (Ketua MUI) diperiksa pada 16 November 2016 pukul 08.00 WIB oleh penyidik. Selang 30 menit, giliran Hamdan Rasyid (anggota Komis Fatwa MUI) yang diperiksa penyidik.   Dari BAP terlihat ada kesamaan jawaban yang ditemukan dalam pertanyaan pada poin 2, 8, dan 9. Bahkan tim kuasa hukum menuturkan ada kesamaan kesalahan tulis dalam keterangan tersebut

Pada persidangan ke-15, kesaksian Hamdan Rasyid ini dipatahkan oleh KH Ishomudin (Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI).  Pada sidang ke-16, kesaksian Hamdan Rasyid ini juga dibantah oleh Prof. Dr. Hamka Haq (Dewan Pertimbangan MUI)

Terlihat bahwa saksi Hamdan Rasyid telah memberdayakan sentimen agama di tengah-tengah kemajemukan dan hal itu akan sangat berbahaya. Seperti menyemprotkan minyak dalam kobaran api (sabbu az-zait ala an-nar).  

4a) Kesaksian KH Ishomudin (Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI dan Rais Syuriah PB NU) pada sidang ke-15 Ahok :

Saya mengatakan bahwa konteks Surat Al Maidah ayat 51 tersebut dilihat dari sabab an-nuzulnya terkait larangan bagi orang beriman agar tidak berteman setia dengan orang Yahudi dan Nasrani karena mereka memusuhi Nabi, para sahabatnya, dan mengingkari ajarannya.

Ayat tersebut pada masa itu tidak ada kaitannya dengan pemilihan pemimpin, apalagi pemilihan gubernur.

Kata " awliya' " yang disebut dua kali dalam ayat tersebut jelas terkategori musytarak, memiliki banyak arti/makna, sehingga tidak monotafsir, tetapi multi tafsir. Pernyataan saya tersebut saya kemukakan setelah meriset dengan cermat sekitar 30 kitab tafsir, dari yang paling klasik hingga yang paling kontemporer.

Dalam hal terkait pak BTP (Ahok) saya tahu bahwa dalam mengeluarkan sikap keagamaan yang menghebohkan itu MUI Pusat tidak melakukan tabayyun (klarifikasi) terlebih dahulu, baik terutama kepada pak BTP (Ahok) maupun langsung kepada sebagian penduduk kepulauan Seribu, karena MUI Pusat merasa yakin dengan mencukupkan diri dengan hanya menonton video terkait dan memutuskan Ahok bersalah menistakan al-Qur'an dan Ulama.

Padahal dalam al-Qur'an diperintahkan agar umat Islam bersikap adil dan sebaliknya dilarang zalim, kepada siapa saja meskipun terhadap orang yang dibenci.

KH Ishomudin menyebut kalau Ahok tidak bermaksud menista agama dan fatwa MUI menambah ramai persoalan ini.

4b)  Kesaksian KH Ishomudin ini sejalan dengan penjelasan intelektual muda NU : Akhmad Sahal tentang Makna Al Maidah 51 dan awliya : http://linkis.com/www.jakartabeat.net/Kq605

4c)  Ahli agama Islam Prof. Dr Hamka Haq (Dewan Pertimbangan MUI Pusat) menjelaskan pada sidang Ahok ke-16 bahwa fatwa berlaku menjadi hukum hanya jika diundangkan.

"Contohnya UU untuk mencuri. Ayat (Al Maidah) potong tangan tidak diberlakukan karena tidak diundangkan oleh negara", jelas Hamka.

"KUHP mengundangkan pencuri itu dipenjara. Tidak ada KUHP dihukum berdasarkan syariat agamanya."

"Jadi kalau ada pencuri yang mengatakan, jangan kamu bohongi saya menggunakan Al Maidah 38 itu artinya, "hukum saya, bukan potong tangan saya, hukuman saya dipenjara". Kalau ada yang mengatakan "jangan kamu bohongi saya pakai Al Maidah 51", artinya ayat itu tidak berlaku dalam Pilkada."

Ditanyakan JPU mengenai sikap keagamaan dalam MUI, Hamka yang saat ini menjadi Dewan Pertimbangan MUI Pusat, menjawab bahwa tidak ada sikap keagamaan dalam pedoman dasar MUI.

Sebelumnya MUI mengeluarkan sikap keagamaan berdasarkan tekanan masyarakat yang mengatakan bahwa pidato Ahok telah menista agama.

Terkait hal itu Hamka pun mengatakan, "Tidak boleh lembaga masyarakat ikut tekanan dari luar. Harus mandiri sesuai dengan tugasnya."

4d) Penjelasan para saksi ahli agama di atas memperkuat  keterangan Buya Syafii Maarif (mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah) yang menyatakan bahwa MUI gegabah dalam mengeluarkan fatwa terkait dugaan penistaan agama oleh Ahok : http://www.jawapos.com/read/2016/11/07/62693/soal-kasus-ahok-buya-syafii-maarif-tuding-mui-gegabah

5. Jakarta pernah dipimpin Gubernur kafir

Indoktrinasi yang disertai provokasi berulang-ulang :  “tidak pernah dalam sejarah umat Islam mengangkat pemimpin kafirmuncul dalam Pilkada DKI karena tidak membaca sejarah Jakarta : Sejarah menunjukkan bahwa Wakil Gubernur DKI periode 1960-1964 dan kemudian menjadi  Gubernur DKI Jakarta ke-7 periode 1964-1965 adalah orang non muslim yaitu Gubernur Henk Ngantung (Hendrik Hermanus Joel Ngantung). Lambang DKI Jakarta dan sketsa Tugu Selamat Datang merupakan karyanya. 

 

6. Isu Gubernur DKI itu harus Islam muncul karena menganggap semua orang Betawi itu identik dengan Islam

Banyak orang lupa akan keberadaan orang Betawi asli yang beragama Katolik di Kampung Sawah.  Mereka bukan hanya jemaat gereja Katolik Santo Servatius di Kampung Sawah sejak tahun 1895, tetapi mereka juga melayani masyarakat melalui pendidikan : Sekolah Strada Kampung Sawah, Sekolah Strada Cakung Payangan, Sekolah Strada Nawar, SMA Pangudi Luhur Kampung Sawah, karya sosial : Panti Asuhan Pondok Damai, Koperasi (Credit Union) dll.

Mereka masih mempertahankan budaya Betawi yang hampir punah, yaitu bebaritan (sedekah bumi). Keberadaan mereka menunjukkan bahwa masyarakat Betawi sejak awal adalah komunitas yang majemuk (plural).

Maka agak aneh kalau Bamus Betawi  yang selalu mengabaikan keberadaan komunitas Kampung Sawah ini, tapi tetap memperoleh pencairan dana dari Plt Gubernur DKI : Dr Sumarsono di APBD 2016 dan APBD 2017, padahal tidak terdengar strategi Bamus Betawi dalam melestarikan budaya Betawi. Seperti bagaimana mengubah Kampung Condet menjadi desa wisata, sesuatu hal yang seharusnya sudah dipelajari pada saat rapat dinas para pejabat DKI dengan kereta mewah ke DI Yogyakarta tanggal 13-15 Januari 2017 lalu. Atau bagaimana strategi menjadikan budaya Betawi sebagai muatan lokal yang dikemas secara menarik di sekolah-sekolah Jakarta.

Atau bagaimana melestarikan kuliner khas Betawi : “gabus pucung” kalau sungai-sungai di Jakarta tetap tercemar. Atau bagaimana menghidupkan lagi wisata sungai dari Koningsplein (Medan Merdeka) ke Molenvliet (kawasan kota), ke Weltevreden (Gambir) terus ke Meester Cornelis (Jatinegara) dan berlanjut ke Buitenzorg (Bogor) kalau pelebaran sungai dan penataan bantaran sungai  yang diamanatkan oleh UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, dan Pasal 17 ayat 1 PP No.38 Tahun 2011, secara diam-diam tidak didukung? dll.

7. Isu pribumi dan non pribumi

Isu ini ditujukan ke Ahok yang keturunan Tionghoa hingga dianggap sebagai non pri, mengabaikan kenyataan bahwa Anies Baswedan juga keturunan Arab (bukan pribumi)

Banyak pihak yang lupa bahwa banyak tokoh Betawi itu bukan orang Betawi asli (bukan pribumi Betawi atau putra daerah Jakarta).

Pangeran Jayakarta adalah putra Ratu Bagus Angke, bangsawan Banten. Pahlawan nasional dari Jakarta : Mohamad Husni Thamrin adalah keturunan Belanda. Pahlawan nasional yang sudah sejak awal kemerdekaan menjadi penduduk Kebayoran : Laksamana John Lie adalah keturunan Tionghoa. Pahlawan nasional Nyi Ageng Serang (Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Adi) adalah keturunan ningrat Jawa (namanya diabadikan sebagai gedung pusat kegiatan wanita dan perpustakaan daerah DKI di Kuningan, Jakarta)

Raden Saleh adalah keturunan ningrat Jawa. Gubernur Ali Sadikin (Bang Ali) adalah orang Sunda.  Bapak perfilman Indonesia : Usmar Ismail alias PL Kapoor adalah putra minang (namanya diabadikan sebagai nama sebuah pusat kebudayaan : Usmar Ismail Hall di Kuningan, Jakarta)

Jadi menghembuskan isu pri dan non pri di Jakarta sangat tidak relevan dengan sejarah kota ini.

Maka agak mengherankan kalau Anies Baswedan bertekad untuk menghentikan Ahok dan memulangkan Ahok pada pidatonya di Hotel Sofyan Inn, Tebet dihadapan alumni UI pada hari Sabtu 28 Januari 2017, karena isu pri dan non pri itu sejak awal tidak berlaku di ibu kota Negara yang sifatnya plural dan multi kultural ini. (https://indonesiana.tempo.co/read/107463/2017/01/30/ajat.jurnalis/ketika-anies-baswedan-membuka-topeng-wajahnya )

Isu pri dan non pri ini dimunculkan supaya orang terpengaruh pencitraan Anies Baswedan, lupa bahwa dia dipecat sebagai menteri karena sibuk memproyekkan pendidikan : https://indonesiana.tempo.co/read/87402/2016/08/30/soetiknowendierazif/memproyekkan-pendidikan-layakkah

8. Isu bahwa kasus Ahok mau menunjukkan perubahan orientasi kaum Tionghoa : dari penguasaan ekonomi ke penguasaan politik

Isu ini muncul karena orang tidak lagi membaca sejarah. Orang Tionghoa berjasa dalam perumusan Sumpah Pemuda 1928 karena tempat digelarnya Sumpah Pemuda yang kini menjadi Museum Sumpah Pemuda adalah milik Sie Kong Liang.

Pada tanggal 16 agustus 1945, kelompok pemuda menculik Soekarno dan istri beserta anaknya ke Rengasdengklok Karawang, dan menyembunyikannya di sebuah rumah milik warga Tionghoa, bernama Djiauw Kie Siong. Penculikan tersebut adalah usaha dari para pemuda untuk mengamankan Soekarno dari pengaruh Jepang yang akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.

Dirumah itu, selain diamankan, Soekarno juga didesak oleh kaum muda untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, tanpa harus menunggu kemerdekaan yang berupa hadiah dari Jepang. Pemuda menganggap kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II adalah momen yang tepat bagi Bangsa Indonesia untuk memerdekakan diri, mengingat kekuatan Jepang yang mulai melemah. Peristiwa perundingan di rumah Djiauw Kie Siong itu kemudian kita sebut dengan peristiwa Rengasdengklok.

Tokoh Tionghoa yang terkenal adalah Pahlawan Nasional Laksamana John Lie

Tokoh Tionghoa yang duduk di BPUPKI adalah Liem Koen Hian, Oei Tjong Hauw, Oey Tiang Tjoei, Tan Eng Hoa, Yap Tjwan Bing

Wakil Orang Tionghoa yang duduk dalam PPKI  adalah Yap Tjwan Bing

Tokoh Tionghoa yang duduk dalam KNIP ada4 yang berasal dari Jawa Timur, yaitu Yap Tjwan Bing (Madiun), Oey Hway Kiem (Bondowoso), Tan Boen An (Kediri),dan Siauw Giok Tjhan (Malang). Sedangkan 3 wakil lainnya berasal dari Jakarta, yaitu: Liem Koen Hian, Inyo Beng Goat, dan Tan Po Goan. Selain itu masih ada 3 orang Tionghoa yang mewakili partai politik. Mereka adalah Tan Ling Djie, Oei Gee Hwat dan Lauw Khing Hoo.

Tokoh perintis kemerdekaan Liem Ching Gie (Abdul Malik) adalah mubaligh dan politikus pendiri Darrul Jarbiyah

Tokoh gerakan kemerdekaan dan politikus pejuang : Siauw Giok Tjhan adalah salah pendiri Universitas Res Publica (Universitas Trisakti) Jakarta

Tokoh angkatan 66 yang fenomenal : Soe Hok Gie, namanya masih dikenang dengan rasa hormat oleh banyak orang (lihat buku “Soe Hok Gie Sekali Lagi” dan film “Gie”)

Maka isu yang dihembuskan kelompok Islam radikal bahwa orang Tionghoa tidak ikut berjuang dalam kemerdekaan Indonesia adalah isu yang sesat. Apalagi menghembuskan isu bahwa : setelah menguasai ekonomi, kelompok Tionghoa akan menguasai politik, adalah hoax, karena mereka telah berkecimpung dalam politik sejak dulu

9. Setelah isu penggusuran dapat dijelaskan, muncul isu reklamasi

Reklamasi itu sudah dimulai di era Soeharto dengan terbentuknya Pulau A sampai Pulau F dengan Keputusan Presiden Soeharto (Keppres) No.52 Tahun 1995 dengan AMDAL yang lengkap dari Menteri LH : Sarwono Kusumatmadja.  Menteri LH th 2004-2009 Ir Wimar Witoelar juga menganggap AMDAL reklamasi Teluk Jakarta tidak bermasalah. Sehingga, istrinya Ir Erna Witoelar, aktivis perempuan juga menganggap reklamasi itutidak bermasalah.

Yang sekarang diributkan adalah pembentukan Pulau G (kelanjutan dari Pulau A sampai Pulau F). Jadi reklamasi itu adalah wewenang pemerintah pusat, bukan prakarsa Pemprov DKI atau Ahok.  Oleh sebab itu, Menko Kemaritiman : Jenderal (Purn) Luhut Binsar Panjaitan menyatakan bahwa reklamasi (pembentukan Pulau G) di Teluk Jakarta akan tetap dilanjutkan : http://nasional.kompas.com/read/2016/09/13/20403741/menteri.luhut.pastikan.proyek.reklamasi.teluk.jakarta.dilanjutkan

Reklamasi juga terjadi di seluruh Indonesia, tapi tidak diributkan, termasuk reklamasi di pantai Manado yang menghancurkan ekosistem Taman Nasional Bunaken (Wisata Taman Laut).  Lihat film Rayuan Pulau Palsu : https://www.youtube.com/watch?v=fOdyk2QxY6U

Tentang penggusuran :  Penggusuran merupakan amanat dari UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang dijabarkan dalam PP No.38 Tahun 2011 tentang Sungai.  Program Kali Bersih (Prokasih) sudah dicanangkan oleh Ibu Tien Soeharto dan Konservasi Sungai sudah digariskan oleh Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim, tapi tidak berhasil.  Justru Ahok yang melaksanakannya, padahal Gubernur-gubernur DKI sebelumnya kurang peduli dan membiarkan sungai-sungai di Jakarta tercemar.  Hal ini sudah saya tulis dalam Debat1PilkadaDKI : Penggusuran vs Film Jakarta Unfair : https://indonesiana.tempo.co/read/106960/2017/01/16/soetiknowendierazif/debat1pilkadadki-penggusuran-vs-film-jakarta-unfair

 

10. Isu basi tentang pencopotan/pelengseran/penangkapan Ahok

Aksi 313 masih mempersoalkan penangkapan Ahok, karena tidak membaca aturan hukum secara lengkap, sehingga Aksi 313 kehilangan momentumnya.

i). Apakah tersangka/terdakwa/terpidana bisa langsung dibatalkan pencalonannya dalam Pilkada ?

Banyak pihak juga tidak tahu akan adanya Putusan MK No.71/PUU-XIV/2016 yang mengijinkan terpidana Gubernur petahana Prov Gorontalo: Rusli Habibie untuk maju lagi dalam Pilkada Gubernur Gorontalo.

Putusan final dan mengikat MK ini juga mengijinkan Atty Suharti (Walikota petahana Cimahi) dan Samsu Umar Abdul Samiun (Bupati petahana Buton) yang kini ditahan oleh KPK untuk terus mengikuti Pilkada di daerahnya masing-masing.

Oleh karena adanya putusan final dan mengikat dari MK ini, maka KPU DKI akan mengijinkan Ahok untuk tetap melaju dalam putaran II Pilkada DKI sekalipun Ahok dinyatakan bersalah (menjadi terpidana).

ii). Apakah terdakwa harus langsung ditahan?

Anggapan ini menyalahi ketentuan Pasal 18 ayat 1 UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia : setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana (penistaan agama) berhak dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan.

Harus ada klarifikasi (tabayun) kepada tertuduh untuk menjamin diterapkannya azas praduga tak bersalah. Ayat 1 ini juga menjamin hak banding dari terdakwa.

Di lain pihak, banyak terdakwa tidak pernah ditahan bahkan sampai keluarnya putusan kasasi MA yang menyatakan bahwa dia bersalah, sehingga eksekusi tidak bisa dilakukan karena yang bersangkutan tidak diketahui lagi keberadaannya (artinya selama ini terdakwa tidak pernah ditahan). Misalnya : 43 terpidana korupsi yang tidak bisa dieksekusi karena selama proses persidangan tidak pernah ditahan di era SBY: "Terpidana Korupsi Belum Dieksekusi Kejaksaan"  (Kompas, 20 Oktober 2013) (http://nasional.kompas.com/read/2013/10/20/1658098/43.Terpidana.Korupsi.Belum.Dieksekusi.Kejaksaan )

iii). Usulan Fadli Zon (Wakil Ketua DPR dari Fraksi Gerindra) untuk memperpanjang cuti Ahok akan melanggar ketentuan Pasal 3 UU No.10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota: cuti diluar tanggungan negara bagi petahana hanya berlaku selama masa kampanye. Artinya, setelah masa kampanye yang ditetapkan oleh KPUD usai (setelah tanggal 15 April 2017), petahana berhak menjabat sebagai gubernur definitif kembali sampai selesai masa jabatannya.

iv). Kalau menang Pilkada, Ahok dapat langsung di non aktifkan

Anggapan ini menyalahi ketentuan Pasal 83 ayat 1 UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah : “Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Artinya, penon-aktifan Ahok hanya mungkin terjadi kalau Jaksa Penuntut Umum menuntut Ahok paling singkat (minimal) atau lebih dari 5 tahun penjara. Kalau Ahok dituntut kurang dari 5 tahun, maka Ahok tidak bisa di non-aktifkan. Apalagi sampai sekarang, persidangan masih berlangsung (belum sampai pada tahap penuntutan oleh JPU) dan belum sampai ke tahap banding.

Disamping itu, ketentuan Pasal 83 ayat 1 yang banyak dikutip para pakar itu tidak bisa langsung dieksekusi karena ketentuan Pasal 83 ayat 1 itu mempunyai prasyarat yaitu sudah sampai pada proses kasasi di MA.

Simak ketentuan Pasal 83 ayat 4 : “Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan tanpa melalui usulan DPRD apabila terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

Keberadaan pasal 83 ayat 4 UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ini dengan sengaja telah disembunyikan oleh para pakar hukum untuk menghalangi hak juridis Ahok dalam mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta, banding ke MA, kasasi ke MA,  sampai Peninjauan Kembali (PK) ke MA.

Ahok dikenakan dakwaan alternatif, yakni Pasal 156a KUHP dengan ancaman 5 tahun penjara dan Pasal 156 KUHP dengan ancaman 4 tahun penjara.

Menurut Pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Artinya, ancaman hukumannya adalah maksimal 4 th (dibawah ancaman hukuman Pasal 83 ayat 1 UU No.23 Tahun 2014)

Sedangkan menurut Pasal 156a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Artinya, ancaman hukumannya adalah maksimal 5 th (dibawah ancaman hukuman Pasal 83 ayat 1 UU No.23 Tahun 2014)

v) Menurut kesaksian saksi ahli pidana pada sidang Ahok ke-15 : Albert Aris SH, MH dari kantor pengacara Albert Aris & Partners, Dr I Gusti Ketut Ariawan (dosen Hukum Pidana Univ Udayana), Mohamad Hatta (mantan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi DKI Jakarta) : yang perlu dicermati adalah penerapan Pasal 156a KUHP yang diamanatkan oleh Pasal 4 UU Penodaan Agama memiliki tiga unsur utama, yaitu permusuhan, penyalahgunaan, dan penodaan agama.

UU Penodaan Agama ini sudah dua kali diuji materi ke Mahkamah Konstitusi, yakni pada 2009 dan 2012. Tetapi, kedua permohonan uji materi tersebut ditolak MK seluruhnya. Artinya UU tersebut masih dianggap konsitusional terhadap UUD 1945 oleh MK dan belum pernah dicabut atau dibatalkan.

"Yang menarik, ada pertimbangan hukum dari MK bahwa untuk menerapkan Pasal 156a KUHP, harus melalui mekanisme UU PNPS Nomor 1/1965 terlebih dahulu.  UU PNPS Nomor 1 Tahun 1965 adalah mengenai pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama”.

"Kita melihat judul UU itu pencegahan. Jadi ini preventif bukan represif”

 Oleh sebab itu, sebelum kasus penodaan agama diproses secara hukum, maka yang bersangkutan harus diberi peringatan keras terlebih dahulu

Sesuai ketentuan UU PNPS Nomor 1/1965, Ahok seharusnya diberikan peringatan keras terlebih dahulu. Kalau Ahok melanggar aturan itu lagi, baru terkena sanksi pidana.

Kalau merujuk pada UU PNPS Nomor 1/1965 yang akan memberi peringatan adalah gabungan dari Mendagri, Menteri Agama, dan Jaksa Agung, tetapi dalam beberapa preseden kasus penodaan agama yang ada, tampaknya MUI sudah mengambil peran tersebut

Ahok sudah meminta maaf atas kegaduhan yang terjadi, sehari sebelum MUI mengeluarkan pernyataan sikap dan pendapat keagamaan atas pengutipan surat Al Maidah Ayat 51. Hal itu dapat diasumsikan bahwa Ahok juga sudah tidak mau mengucapkan hal-hal serupa yang terkait dengan ayat-ayat suci agama Islam.

"Konsekuensinya dakwaan JPU atas kasus Ahok bukan batal demi hukum, tetapi dakwaan tidak dapat diterima atau de officier van justitie is niet onvankelijk, karena belum pernah ada peringatan keras sebelumnya yang diberikan kepada Ahok. Dengan kata lain, dakwaannya prematur untuk diajukan. Kalau seandainya sikap dan pendapat keagamaan MUI dianggap sebagai representasi dari sebuah peringatan keras, maka Ahok pun juga sudah tidak lagi melakukan pelanggaran-pelanggaran yang dilarang dalam UU PNPS Nomor 1/1965

Setelah mencermati berbagai UU itu, banyak pihak yang kecewa karena ternyata Fatwa MUI ini tidak didasarkan kajian yang mendalam seperti yang dinyatakan oleh Buya Syafii Maarif : "Buya Syafii Sebut Fatwa MUI Gegabah" (http://www.mediaindonesia.com/news/read/76062/buya-syafii-sebut-fatwa-mui-gegabah/2016-11-07 )

Itulah sebabnya, usulan hak angket DPR yang mempersoalkan penon-aktifan Ahok sudah tidak ada gemanya lagi karena tidak mempunyai dasar hukum (legal standing).

11. Menepuk air didulang, terpercik muka sendiri

a) Kesaksian KH Ma'ruf Amin (Ketua MUI dan anggota Wantimpres era SBY) pada sidang ke-8 Ahok.  Fakta persidangan ke-8 saat KH Ma'ruf Amin  telah berbohong bahwa tidak ada telpon dari SBY sebelum rapat perihal penistaan agama, padahal beliau sudah disumpah

Tim Kuasa Hukum mempunyai bukti bahwa percakapan antara SBY dan KH Ma’ruf Amin itu benar ada dan publik menjadi jelas setelah konperensi pers SBY: https://majalah.tempo.co/konten/2016/11/07/LU/151907/Kabar-Intelijen-Yang-Menyengat-Cikeas/37/45

KH Ma’ruf Amin terancam memberi kesaksian palsu, bukan hanya dalam kasus percakapannya dengan SBY tetapi juga dengan pendapatnya yang menyatakan bahwa “penistaan agama oleh Ahok itu bukan sekedar fatwa” tapi pendapat ulama atau sikap keagamaan majelis ulama, yang kedudukannya lebih tinggi dari fatwa.  Ternyata pada sidang ke-15 dan ke-16, pernyataan ini dibantah oleh KH Ishomudin (Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI) dan Prof Dr Hamka Haq (Dewan Pertimbangan MUI) : Tidak ada sikap keagamaan dalam pedoman dasar MUI

Banyak pihak yang kecewa karena ternyata Fatwa MUI ini tidak didasarkan kajian yang mendalam seperti yang dinyatakan oleh Buya Syafii Maarif : "Buya Syafii Sebut Fatwa MUI Gegabah" (http://www.mediaindonesia.com/news/read/76062/buya-syafii-sebut-fatwa-mui-gegabah/2016-11-07 )

b) Salah satu Ketua MUI, Istibsyaroh dan rombongan, telah melakukan kunjungan ke Israel dan menemui Presiden Israel Reuven Rivlin tanggal 18 Januari 2017. Kasus ini dapat digolongkan sebagai kasus penistaan agama karena Istibsyaroh dan rombongan dengan sengaja telah berselingkuh dengan zionisme dan telah melecehkan fatwa OKI : OKI  Kutuk Kejahatan Perang Israel (http://www.republika.co.id/berita/internasional/palestina-israel/14/08/13/na7f7c-oki-kutuk-kejahatan-perang-israel )

Hal ini menunjukkan bahwa MUI sendiri tidak memahami perjuangan Islam sehingga kiprahnya dalam solidaritas dunia Islam untuk Palestina mulai diragukan keabsahannya.

Tapi kasus perselingkuhan Istibsyaroh dengan zionisme ini sengaja ditutup dengan terus mengekspose kasus Ahok tanpa melewati proses tabayyun.

c) Cuitan Gus Mus (KH A. Mustofa Bisri) tanggal 23 November 2016 tentang para pendemo yang akan dilakukan pada 2 Desember 2016, dengan melakukan shalat Jumat di jalan

  • Aku dengar kabar di ibu kota akan ada Jumatan di jalan raya. Mudah2an tidak benar.
  • · Kalau benar, wah dalam sejarah Islam sejak zaman Rasulullah SAW baru kali ini ada BID’AH sedemikian besar. Dunia Islam pasti heran.

Cuitan ini mendapat jawaban dari salah satu anak muda dengan akun twitter @panduwijaya_ dengan kata-kata yang tak pantas, dan menghina tokoh besar NU. Pandu W : Bid’ah Ndasmu

Kasus ini berakhir dengan pemaafan, hal yang tidak terjadi pada Ahok, meskipun Ahok sudah minta maaf

d) Habib Rizieq yang sekarang menghadapi tuduhan pelecehan moral Islami dengan perselingkuhannya bersama Firza : video hotnya tersebar luas di medsos (https://m.tempo.co/read/news/2017/02/06/064843371/percakapan-mesum-mirip-rizieq-firza-husein-asli-atau-palsu )

Kasus yang mirip dengan kasus Ariel dan Luna Maya yang berakhir dengan dipenjarakannya Ariel ini, ternyata tak berujung dengan pembuktian “bersihnya Habib Rizieq” di pengadilan.

Kasus ini juga mengingatkan akan kasus Arifinto, anggota DPR dari Fraksi PKS yang ketahuan menonton video porno selama sidang paripurna DPR. Kasus ini berakhir dengan pemberhentian secara tidak hormat Arifinto dari DPR. Namun kasus Habib Riziq dan Firza yang tersebar luas di medsos ini hanya berujung pada “tetap sucinya” Habib Riziq meskipun sudah mempersoalkan Panca Sila (Panca Sila ini menurut NU dan Muhammadiyah sudah dianggap final).

Kasus yang mempersoalkan Pancasila dengan tersangka Habib Rizieq membuat publik sadar bahwa dugaan penistaan agama oleh Ahok telah melenceng sangat jauh menjadi upaya untuk mengganti dasar Negara dan mengubah Indonesia menjadi Negara agama.

Anehnya, Anies Baswedan sebagai Paslon No.3 justru asyik berkunjung ke Habib Rizieq. Nafsu untuk berkuasa telah membutakan Anies akan upaya penggantian dasar Negara dan upaya menjadikan Indonesia sebagai Negara agama

Atau barangkali Anies Baswedan setuju dengan pandangan FPI dan Habib Rizieq ini seperti yang ditanyakan Najwa Shihab dalam acara Mata Najwa tanggal 25 Januari 2017 lalu? (https://www.youtube.com/watch?v=OqVo3VVLKEs )

Habib Rizeiq juga dilaporkan oleh PMKRI karena telah melecehkan umat kristiani (https://www.youtube.com/watch?v=A89CkR_Sj08 ) “Habib Rizieq ‘selamat natal,’ artinya apa? Selamat hari lahir Yesus Kristus sebagai anak Tuhan. Saya jawab, ‘Pak, lam yalid walam yulad,’ Allah tidak beranak dan tidak diperanakkan. Kalau Tuhan beranak, bidannya siapa?”

Padahal ayat yang pertama turun adalah IQRO sebab Al Qur’an meneguhkan pengandungan Isa secara ajaib, bukan dari benih pria (Ambiyaa 21:91 dan At Tahrim 66:12).  Pesan bahwa Maryam akan mengandung secara ajaib itu disampaikan oleh malaikat Jibril (Maryam 19:19-21).  Nabi Isa juga diakui sebagai utusan Allah (An Nisaa 4:171 dan Al Zukhruf 43:61:63).  Nabi Isa adalah Firman Allah atau Sang Sabda (Imran 3:45 bandingkan dengan Imran 4:171).  Dalam Bahasa Arab, teks itu berbunyi : “kalima minhu, is minhu” yang berarti “perkataan dari Allah, namanya …..”  Menarik dicermati bahwa “kalima” berjenis feminin, tetapi namanya … berjenis maskulin.   Hal ini menunjukkan bahwa “kalima” tidak boleh diartikan sebagai kalimat atau firman biasa, tetapi di sini adalah seorang pribadi, Nabi Isa as.

Kasus pelecehan iman ini sudah dilaporkan ke polisi, tetapi belum sampai pada pemanggilan saksi-saksi ahli agama.

Publik malah disuguhi aksi bela ulama Habib Rizieq

e) Ketua Umum Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI) Bachtiar Nasir hendak diperiksa sebagai saksi dalam kasus pengalihan kekayaan Yayasan Keadilan untuk Semua atau Yayasan Justice for All. Yayasan ini disebut-sebut menampung dana masyarakat dalam Aksi Bela Islam II dan III.

Bachtiar, hendak diperiksa soal kasus pengalihan kekayaan yayasan kepada pembina, pengurus dan pengawas baik dalam bentuk gaji, baik upah maupun honorarium atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang.

(https://m.tempo.co/read/news/2017/02/08/063844290/ketua-gnpf-mui-pencucian-uang-dan-dana-aksi-bela-islam )

Menurut ketentuan Pasal 5 UU No.28 Tahun 2004 tentang Yayasan : “Kekayaan yayasan baik berupa uang, barang maupun kekayaan lain yang diperoleh yayasan, dilarang dialihkan secara langsung atau tidak langsung

Publik terhenyak karena ternyata ada Tindak Pidana Pencucian Uang dan pengemplangan pajak, serta rumor yang beredar bahwa ada hater (penyebar kebencian) dan pendemo yang dibayar itu ternyata benar dan sudah menyusup sampai ke ormas keagamaan

Kritik terhadap fatwa MUI yang tidak melalui mekanisme yang benar, telah lama disuarakan secara lugas dan konsisten oleh Buya Syafii Maarif: "Tamparan Keras Buya Syafi'i Ma'arif untuk Rizieq Shihab FPI CS: Ahok Tidak Menghina Al-Qur'an" (http://www.kompasmetro.net/2016/11/tamparan-keras-buya-syafii-maarif-untuk.html ).

Fakta kemenangan Ahok pada putaran I Pilkada DKI menunjukkan bahwa gerakan keagamaan telah meredup setelah kasus hukum menjerat sejumlah tokohnya. Hal ini juga terlihat dari Aksi 313 yang kehilangan momentum.

f) Salah satu peserta demo 212 yaitu Patrialis Akbar (PAN) yang juga menjabat hakim MK yang diangkat secara kontroversial oleh SBY, telah tertangkap melalui OTT oleh KPK di Grand Indonesia bersama wanita yang bukan muhrimnya (Anggita Eka Putri) sehingga tujuan demo mulai diragukan banyak pihak

g)  Salah satu anti Ahokers, yaitu anggota DPR dari Fraksi PKS : Yudi Widiana Adia telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam perkara suap proyek pembangunan jalan di Maluku dan Maluku Utara. Hal ini mengingatkan orang pada kasus korupsi impor daging sapi yang melibatkan Presiden PKS : Luthfi Hasan Ishaaq. Ternyata PKS tidak bersih-bersih amat. Jadi motif PKS untuk menggusur Ahok mulai dipertanyakan.

12. Banjir (lagi) jadi komoditas politik

 Melihat makin gencarnya upaya untuk melengserkan Ahok melalui berbagai cara (https://indonesiana.tempo.co/read/107713/2017/02/05/soetiknowendierazif/plt-gubernur-dki-jakarta-ikut-mengeruhkan-pilkada-dki ), maka tidak heran kalau isu banjir juga menjadi komoditas politik, lupa bahwa penggusuran hunian liar dari bantaran sungai itu belum tuntas dijalankan,  sesuai amanat Pasal 17 ayat 1 dan Pasal 22 ayat 2 (b) serta Pasal 31 ayat 2 PP No.38 Tahun 2011 yang ditanda tangani oleh Presiden SBY tanggal 27 Juli 2011.  Kenapa tidak ada protes saat PP ini diluncurkan oleh SBY ?

Banyak pegawai Dinas kebersihan yang diberhentikan di masa cuti Ahok melalui mekanisme tes ulang : http://news.metrotvnews.com/metro/dN6dQEGk-diberhentikan-sepihak-belasan-phl-mendatangi-plt-gubernur-dki

 

 

Imam Al Albani dalam “Silsilah Ahadits Shahihah” (no. 2166) telah mentakhrij hadits wasiat Rasulullah Sholallahu ‘alaihi wa Salaam kepada Abu Dzar Rodhiyallahu anhu, “dan Beliau Sholallahu ‘alaihi wa Salaam memerintahkanku untuk berkata benar, sekalipun itu pahit”.

Ikuti tulisan menarik Wendie Razif Soetikno lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB