Tionghoa-Kristen Dukung Anies, Arab-Islam Dukung Ahok
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBTidak semua Arab-Islam dukung Anies, tidak semua Tionghoa-Kristen dukung Ahok. Ras dan agama tidak melulu menjadi pertimbangan. Indahnya Indonesia-ku
Anies Baswedan adalah warganegara Indonesia keturunan Arab, beragama Islam.
Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) adalah warganegara Indonesia keturunan Tionghoa, beragama Kristen.
Karena itu, ada yang berseloroh bahwa Pilkada DKI 2017 ini adalah persaingan antara Arab dan Tionghoa. Atau, persaingan antara orang Islam melawan orang Kristen.
Persaingan politik yang biasa antara kedua putera terbaik Indonesia itu, dengan mudah saja dipelintir menjadi persaingan etnis atau persaingan agama. Karena membawa-bawa sentimen rasial dan agama itulah, pilkada DKI 2017 ini menjadi ramai.
Di putaran ke-2 ini, sepintas lalu, kelihatannya yang Arab mendukung cagub keturunan Arab. Yang Tionghoa mendukung cagub keturunan Tionghoa. Yang Betawi, Jawa, Sunda, Batak, Bugis, dll terbelah antara milih Anies yang Arab dan Ahok yang Tionghoa. Yang Kristen mendukung cagub Kristen. Yang Islam mendukung cagub Islam.
Tapi, benarkah memang seperti itu???
Orang Tionghoa-Kristen Dukung Anies
Ternyata tidak! BUKTINYA, ada orang Tionghoa non-Muslim yang mendukung Anies yang Muslim. [Lihat "Anies-Sandi Disambut Meriah Warga Tionghoa di Pantai Indah Kapuk" (Sindonews.com) dan "Dukung Anies, Hary Tanoe: Jakarta Harus Mengayomi Semua Pihak" (Detikcom)]. Kita tahu bahwa Hary Tanoesoedibyo adalah pengusaha keturunan Tionghoa, non-Muslim.
Di dalam timses Anies-Sandi sendiri, ada banyak orang-orang Kristen yang justru mendukung Anies-Sandi yang sama-sama Islam. Di antaranya adalah Aryo Djojohadikusumo dan Rahayu Saraswati Djojohadikusumo (keduanya Kristen Protestan, keponakan Prabowo Djojohadikusumo, pendiri Gerindra, partai pengusung Anies-Sandi). Di samping itu, Hashim Djojohadikusumo yang adalah adik Prabowo, juga adalah petinggi di partai Gerindra, dan Hashim ini beragama Kristen.
Tampak jelas bahwa di internal partai Gerindra, tidak ada masalah “Al-Maidah 51”, artinya, Al-Maidah 51 tidak ditafsirkan sebagai larangan bagi non-Muslim untuk menjadi petinggi partai (pemimpin partai). Dan, Gerindra ini malah akrab berkoalisi dengan PKS, sebuah partai Islam.
Nah, PKS sendiri tampaknya pun tidak ada masalah jika harus mencalonkan seorang Kristen-Tionghoa sebagai bupati di kabupaten Sulu, yang 99% penduduknya beragama Islam. Di Sulu, Al-Maidah 51 tidak pernah menjadi masalah. Lihat di sini: Hasil Pilkada Kabupaten Kepulauan Sulu dan "ICMI: Ada Bupati Tionghoa di Kabupaten 99% Muslim".
Hanya di Jakarta, entah mengapa, Al-Maidah 51 dipakai sebagai alasan supaya Ahok yang Tionghoa-Kristen tidak bisa menjadi gubernur.
Di dalam timses Anies, juga ada Marco Kusumawijaya, seorang ahli tata kota dan isu-isu perkotaan, yang nonMuslim dan keturunan Tionghoa.
Jadi, Anies-Sandi yang Muslim ternyata juga didukung kalangan Tionghoa dan Kristen.
Bagaimana dengan Ahok-Djarot?
Orang Arab-Islam Dukung Ahok
Nah, sama juga! TERNYATA, tidak semua orang Arab dan orang Islam memilih Anies Baswedan. Bahkan, seorang perempuan Arab bernama Tsamara Amany Alatas tidak saja memilih Ahok, bahkan juga menjadi relawan Komunitas pendukung Ahok (Kompak).
Lihat "Tsamara Amany Alatas, Gadis Keturunan Arab Menjadi Relawan Komunitas Pendukung Ahok" (BBC, 28 Oktober 2015). Artikel ini sebenarnya tentang "Sumpah Pemuda Keturunan Arab 1934: Puncak Pencarian Identitas". Untuk melihat wajah cantik Tsamara Alatas sekaligus membaca kisahnya, scroll terus ke bawah sampai foto ke-9).
Lebih menarik lagi, Tsamara Alatas ini adalah mahasiswa Fakultas Falsafah dan Peradaban, Universitas Paramadina, universitas di mana Anies Baswedan pernah menjadi rektornya. Ternyata, walaupun sang mantan rektor mencalonkan diri sebagai cagub DKI, Tsamara yang mahasiswa di universitas yang sama tidak serta-merta memilih mantan rektornya sebagai gubernur DKI. Padahal, Tsamara dan Anies Baswedan sama-sama keturunan Arab!
(Btw, Tsamara Alatas ini siapanya mantan menlu Ali Alatas ya ini? Cantik ya? Pinter pulak…memilih kuliah falsafah dan peradaban –suatu pilihan studi yang jarang dilirik anak-anak muda! Hayooo, pilih Anies atau Tsamara nih? huwahahaha...)
("Lhaa...tapi Tsamara Alatas ini gak pake jilbab! Gak usah diikutin!", kata seseorang. Lha, anak perempuannya Anies Baswedan juga kan gak pakai jilbab. Dia malah pernah pakai baju lengan pendek, masuk TV dan ditonton seluruh Indonesia. Dan tokh PKS sebagai partai Islam dan segolongan orang Islam tetap mendukung Anies Baswedan. Gak masalah tokh?)
Jadi, ternyata tidak semua keturunan Arab-Islam mendukung Anies Baswedan. Malah ada yang mendukung Ahok dan menjadi relawannya pulak!
Nah, bagaimana dengan orang-orang Islam Jakarta yang bukan keturunan Arab? Waaaah, lebih banyak lagi yang mendukung dan memilih Ahok. Dari hasil pilkada DKI 2017 putaran ke-1, Ahok unggul dengan 43% suara. Tentu, suara itu terdiri dari mayoritas orang Islam. Sebab, non-Muslim di Jakarta tentu tidak sampai 43%.
Lalu, perhatikan ini: Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), tokoh besar NU sekaligus cucu pendiri organisasi massa Islam terbesar di Indonesia itu, sejak 2007 sudah menjadi juru kampanye untuk mendukung Ahok sebagai gubernur di Bangka-Belitung. Lihat aksi Presiden Indonesia ke-4 ini sebagai juru kampanye untuk mendukung Ahok di sini: "Gus Dur: Saya Minta Anda Nanti Nyoblos Ahok, Karena Ahok Jujur dan Memberantas Korupsi." dan ini: "Gus Dur: Hidup Ahok, Hidup Ahok, Hidup Ahok!". Baca juga ini: "Gus Dur vs. Anies Baswedan: Non-Muslim Jadi Gubernur".
Partai Persatuan Pembangunan kubu Djan Faridz, sebuah partai berasas Islam, justru mendukung Ahok yang Tionghoa-Kristen ("PPP Djan Faridz Resmi Dukung Ahok Djarot", Antaranews.com, 26 November 2016). Wakil Ketua umum partai Kabah ini bernama Humphrey Djemat, dan dia inilah yang menjadi pimpinan pengacara pembela Ahok dalam sidang kasus penistaan agama yang menimpa Ahok.
Nusron Wahid, salah satu ketua PBNU dan mantan ketua GP Anshor –sayap pemuda NU– sudah sejak lama mendukung Ahok (klik di sini: Kenapa Ketua PBNU Nusron Wahid Dukung Ahok dalam Pilkada DKI?).
Ketua GP Anshor sekarang yang sekaligus anggota DPR RI dari PKB, Gus Tutut (alias Yaqut Cholil Qoumas, putera KH Muhammad Cholil Bisri), baru-baru ini menyatakan dukungan terbuka terhadap Ahok dan bahkan menginstruksikan pendirian posko-posko satgas untuk mengamankan warga dari risiko mengalami intimidasi saat pilkada DKI 2017 ("Datangi GP Ansor, Ahok Disambut Pekik Takbir", Liputan6.com, 7 April 2017).
Gus Tutut inilah yang menjuluki Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) sebagai "Basuki Nurul Qomar, sang Sunan Kalijodo." Nurul adalah bahasa Arab untuk Tjahaja. Sementara Qomar adalah bahasa Arab untuk bulan (Purnama).
Adapun gelar "Sunan Kalijodo" diberikan kepada Ahok karena gubernur DKI itu sukses mengubah masyarakat hitam menjadi masyarakat "putih". Gus Tutut mengapresiasi Ahok yang menyulap tempat prostitusi Kalijodo menjadi ruang terbuka hijau dan ruang publik terpadu ramah anak (lihat "Perkenalkan Basuki Nurul Qomar Si Sunan Kalijodo, Suara,com, 8 April 2017).
Raja Juli Antoni, anggota timses Ahok yang rajin diwawancarai dan mengisi talk show dan debat di TV membela Ahok, adalah aktivis Muhammadiyah (mantan ketua umum PP Ikatan Pemuda Muhammadiyah), dan mantan direktur Maarif Institute, sebuah lembaga think tank yang didirikan mantan ketua PP Muhammadiyah, Buya Syafii Maarif. Raja Juli Antoni juga sempat menjadi calon ketua umum PP Muhammadiyah 2015-2020.
Zuhairi Misrawi, seorang intelektual muda NU asal Madura, juga menjadi relawan timses Ahok. Bahkan, wakil ketua komisi Fatwa MUI, KH Ishomudin, justru menjadi saksi ahli yang meringankan Ahok dalam sidang kasus dugaan penistaan agama yang dituduhkan kepada Ahok ("KH Ahmad Ishomuddin: Nonmuslim Juga Berhak Jadi Pemimpin", JPNN, 10 Oktober 2016).
Memang, dosen Fakultas Syariah di IAIN Lampung ini tidak mengungkapkan pilihan politiknya. Tetapi, fakta ini semua membuktikan kepada saya satu hal: warga Jakarta dan Indonesia adalah warga yang sudah sangat rasional dan dewasa.
Hanya karena beragama Islam, tidak otomatis orang Islam hanya mau mendukung orang Islam. Sebaliknya, orang Islam bisa juga mendukung orang Kristen dengan penuh semangat, jika dia melihat si Kristen ini memang terbukti orang baik. Bahkan sangat bisa jadi orang Islam itu, bahkan tokoh Islam panutan masyarakat luas, justru membela orang Kristen habis-habisan, seperti dicontohkan Gus Dur saat menjadi jurkam Ahok. Dan begitu pula sebaliknya.
Dan, tidak mesti orang non-Tionghoa membenci orang Tionghoa. Justru orang non-Tionghoa bisa membela orang Tionghoa habis-habisan. Ini ditunjukkan oleh saudara angkat Ahok, Andi Analta Amir dan saudara2nya, yang Muslim-Bugis: betapa mereka memberikan suport finansial untuk membiayai kuliah S-2 Ahok, dan juga memberikan suport moral dan mental kepadanya dalam berbagai hal, termasuk ketika Ahok menjalani sidang dakwaan penistaan agama.
Bahkan, alm ayahanda Ahok yang Tionghoa itu telah mengikat janji setia sebagai saudara dengan ayahanda Andi Analta Amir, seorang bangsawan Bugis-Muslim, sehingga Ahok yang Kristen dan Andi Analta Amir yang muslim pun menjadi saudara angkat. ("Keluarga Angkat Ahok yang Muslim Angkat Bicara", Kompas.com,9 November 2016).
Ah, indahnya Indonesiaku!
***
Di Indonesiaku, orang Islam bisa mendukung calon gubernur Kristen. Dan, ada orang Kristen yang mendukung calon gubernur Islam.
Di Indonesiaku, orang Arab ada yang mendukung calon gubernur keturunan Tionghoa. Orang Tionghoa ada yang mendukung calon gubernur keturunan Arab.
Orang-orang ini memegang prinsip yang diajarkan Nabi Muhammad SAW: "Sebaik-baik manusia adalah yang paling berguna bagi orang lain." Perbedaan keyakinan biarlah menjadi urusan sang hamba dengan Tuhannya. Adapun perbedaan ras, itu adalah juga tanggung jawab Tuhan: sebab, Tuhanlah yang menciptakan manusia menjadi berbagai suku bangsa. Karenanya, meributkan perbedaan ras sama saja dengan menggugat keputusan dan kebijaksanaan Tuhan.
Yang menjadi tanggung jawab kita manusia hanyalah agar saling mengenal antar ras antar bangsa, agar tercipta saling sayang, dan saling memperhatikan. Supaya hidup ini menjadi lebih indah dijalani. (Lihat Al-Quran 49:13: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal.")
"Dari Sabang sampai Merauke, berjajar pulau-pulau, dengan berbagai agama dan suku bangsa. Bhinneka tunggal Ika. Walau cagubnya keturunan Arab dan Cina, beragama Islam atau Kristen: tetapi dua-duanya Indonesia juga."
Salam bhinneka tunggal ika!
***
PS:
"Tapi, bukankah dalam khotbah-khotbah Jumat belakangan ini para khatib mengingatkan tentang Al-Maidah 51, yang berisi larangan menjadikan non-Muslim sebagai pemimpin? Yang melanggar, terancam digolongkan sebagai munafik yang akan masuk neraka. Bagaimana ini?" demikian seseorang bertanya.
Pertanyaan menarik itu dijawab begini oleh temannya, "Kawan, coba renungkan. Berapa banyak tokoh umat Muslim Indonesia, baik dari NU, Muhammadiyah, dll, yang mendukung Ahok sebagai gubernur?
Ada Gus Dur yang ketua NU dan cucu pendiri NU. Ada PPP-nya Djan Faridz. Ada Humphrey Djemat yang wakil ketua umum PPP, sebuah partai Islam. Ada Gus Tutut, ketua GP Ansor NU, putra KH Muhammad Cholil Bisri asal Rembang. Ada Nusron Wahid, ketua PBNU. Ada Raja Juli Antoni, aktivis Muhammadiyah. Ada KH Hamka Haq, penasehat MUI. Rais Syuriah NU Australia, Dr. Nadirsyah Hosen, yang mengajar hukum Islam di Monash University Australia, mengatakan Al-Maidah 51 tidak ada hubungannya dengan pilkada (Nadirhosen.net, 28 Februari 2017). Demikian juga Akhmad Sahal, intelektual NU, wakil ketua pengurus istimewa NU Cabang Amerika-Kanada. Klik di sini).
PKS, sebuah partai Islam lainnya, mengeluarkan fatwa “Boleh Memilih Pemimpin Non-Muslim”. Itulah sebabnya PKS mengusung calon gubernur Tionghoa-Kristen di pilkada Sula. Lihat juga: "ICMI: Ada Bupati Tionghoa di Kabupaten 99% Muslim.
Percayakah kau, bahwa tokoh-tokoh panutan umat Muslim ini, dan pengurus partai-partai Islam itu semuanya sedang mengkhianati agama mereka sendiri? Bahwa mereka hanyalah munafik dan karena itu akan masuk neraka?"
"Iya sih, kayaknya gak gitu-gitu amat deh. Tapi, bagaimana dong menjelaskan perbedaan sikap di antara umat Muslim ini?"
"Naah, menurutku, para khotib yang melarang pemimpin non-Muslim itu masih berpegang pada terjemahan Al-Quran Depag RI versi lama, yang menerjemahkan awliya di ayat itu sebagai pemimpin. Dan menurut mereka, larangan itu bersifat mutlak dalam setiap keadaan. Karena itulah mereka mutlak mengharamkan pemimpin nonMuslim.
Adapun golongan umat Muslim lainnya berpegang pada terjemahan Al-Quran Depag RI versi terbaru, yang menerjemahkan awliya di ayat itu sebagai teman setia. Dan, menurut mereka, larangan menjadikan non-Muslim sebagai teman setia itu hanya berlaku dalam kondisi ketika non-Muslim itu sedang memerangi umat Muslim. Jadi, jika hubungan antara Muslim dan non-Muslim baik-baik saja seperti di Indonesia, tentu larangan dalam Al-Maidah 51 itu tidak lagi berlaku.
Mereka mendasarkan pendapatnya pada klarifikasi yang terdapat dalam Al-Quran Surah Al-Mumtahanah (60: 8-9) ini:
'Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang lalim.'.
Juga, berdasarkan ayat Al-Quran ini: 'Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persabahatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya kami ini orang Nasrani". Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.' (Al-Maidah 5:82).
Dengan demikian, dalam konteks ketika umat Muslim diperangi non-Muslim, berlakulah Al-Maidah 51. Namun ketika umat Muslim hidup damai dengan non-Muslim, boleh jadi yang justru terjadi adalah Al-Maidah 82: persahabatan erat antara orang Islam dan Kristen.
Kebenaran firman Allah dalam ayat Al-Maidah 82 ini sudah terbukti dengan persahabatan keluarga Ahok yang Tionghoa-Kristen dengan keluarga Andi Analta Amir yang Bugis-Islam. Bahkan salah satu istri Nabi Muhammad Saw. bernama Maria al-Qibti, artinya: Maria si (Kristen) Koptik. Maria inilah yang melahirkan Ibrahim, putera bungsu Nabi yang akhirnya wafat ketika masih kecil. Ini terjadi di Madinah (periode Madaniyyah).
Naah, jadi, menurut kelompok Muslim ini, Al-Maidah 51 hanya berlaku dalam konteks perang, sehingga tidak bisa diterapkan untuk Pilkada dalam situasi damai seperti Indonesia ini. Itulah sebabnya Gus Dur dengan lantang menyatakan bahwa "urusan politik, itu tidak ada hubungannya dengan soal agama... Jadi kalau nyoblos Ahok, tidak berarti kita ikut agamanya dia. Kita lihat dia sebagai calon gubernur yang baik."
Sudah paham sekarang?
"Ooooooooooooooooh, jadi begitu toh duduk masalahnya!....."
***
Wallahu a'lam
(penulis adalah penerjemah dan penyunting lepas pada penerbit buku-buku Islam di tanah air).
Baca juga: "Al-Maidah 51: MUI vs. Buya Syafii Maarif"
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Tionghoa-Kristen Dukung Anies, Arab-Islam Dukung Ahok
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBGus Dur vs Anies Baswedan: Non-Muslim Jadi Gubernur
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler