x

Peserta aksi Gema 212 membawa sejumlah poster dalam demo di depan kedutaan besar Rusia di Jl. Rasuna Said, Jakarta, 19 Desember 2016. TEMPO/Ilham Fikri

Iklan

djabaruddin djohan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Demo di Tanggal Cantik, Ibadah Haji, dan Koperasi

Saya membayangkan, betapa besar potensi peserta demo ini jika bisa dikoperasikan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh Djabaruddin Djohan

Mengenang kembali Demo 411 dan Demo 212  yang terjadi menjelang akhir tahun 2016 dan Demo 313 pada akhir Maret 2017 (mesakipun jumlahnya tidak sebanyak pada demo sebelumnya), sungguh memberikan kesan mengagumkan dan sekaligus juga mencemaskan, bahkan juga agak menakutkan. Bagaimana  tidak mengagumkan, jutaan manusia berjubel sepanjang jalan Sudirman dan Thamrin serta jalan-jalan sekitarnya dengan satu motivasi: tersinggung oleh “ penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok”. Suatu jumlah manusia yang  berkumpul dalam satu tempat, yang belum pernah terjadi dalam sejarah kita.  Mencemaskan, bagaimana jika jutaan manusia yang tersinggung oleh ucapan ‘Surat Al Maidah ayat 51” ini, kemudian di tengah jalan diprovokasi oleh seseorang  atau suatu kelompok orang untuk berbuat kekerasan, yang sungguh terjadi pada malam 411, dan syukur tidak terjadi pada demo 212 dan demo 313.

Saya sebagai Muslim sempat membandingkan  ketiga demo di atas  dengan pengalaman saat menunuaikan ibadah haji pada tahun 2000, yang jumlah jamaahnya  sudah mencapai 3 juta orang lebih, juga saat melaksanakan ibadah umrah pada 2012 yang jumlah  jamaahnya  juga tidak kurang dari tiga jutaan. Persamaan dari kedua kerumunan massa ini adalah jumlah Muslimin dan Muslimat yang jumlahnya jutaan orang yang berjubel, berdesak-desakan, bahkan di jalan-jalan besar maupun kecil. Sementara pada ibadah haji, selain di jalan-jalan  kerumunan massa yang lebih padat terjadi saat tawaf, sa’I, wukuf dan jummrah. Sedangkan perbedaannya adalah pada semangatnya. Pada Demo 411, 212 dan 313 syarat dengan semangat yang berapi-api untuk memperkarakan Ahok yang dituduh “menistakan agama Islam”, yang tampaknya tidak terampuni, meskipun yang bersangkutan sudah berkali-kali meminta maaf. Di tengah-tengah suara gemuruh zikir dan  takbir Allahuakbar, tidak jarang terdengar teriakan hujatan kepada Ahok dengan kata-kata  yang tidak semuanya pantas diucapkan oleh orang yang mengaku sebagai Muslim. Atau mungkin ucapan ini disampaikan oleh para “penyusup” yang sengaja untuk membakar massa?  Sedangkan dalam serangkaian ritual haji,  baik yang  berupa rukun, kewajiban maupun sunat-sunatnya, sejak tawaf, sa’i, wukuf hingga jumrah serta berzirah ke situs-situs bersejarah, kami lakukan dengan setulus-tulusnya, sekhusuk-khususknya, sepasrah-pasrahnya yang didasari oleh iman dan taqwa kepada Allah SWT. Sepanjang jalan Mekkah-Arofah untuk menjalankan wukuf tak henti-hentinya “paduan suara” jamaah melafalkan talbiyah dengan merdu: “Allahumma labbaik, labbaik laa syarikalaka labbaik…..”, yang gemanya masih terngiang hingga saat ini.  Alangkah kontrasnya kedua peristiwa, yang sama-sama dilakukan oleh jutaan  umat Islam, yang selalu  menampilan jargon “rakhmatan lil ‘alamin”. Saya sering berimajinasi, jika demo yang dilakukan oleh umat Islam, apapun motif dan tujuannya dilakukan dengan tertib dan menghindarkan kata-kata dan perbuatan  yang justru bisa menimbulkan ketakutan dan sikap antipati bagi siapapun (termasuk umat Islam sendiri) kepada pelakunya, alangkah simpatiknya. Dan jika demonstran Islam bisa berperilaku tertib dan menghindari kata-kata dan perbuatan  yang menyinggung orang lain, maka hal ini akan mendorong terciptanya  citra Islami yang sarat dengan kedamaian (Islam berasal dari kata salama yang berarti kedamaian), yang pada gilirannya akan dapat menciptakan sikap simpatik dari publik, menuju kearah berlakunya kalam Ilahi…rakhmatan lil ‘alamin (QS Ambiya 107) secara nyata.

Sebagai “insan koperasi” saya juga membayangkan, betapa besar potensi peserta demo ini jika bisa dikoperasikan. Masalahnya bagaimana mentransformasikan “nilai-nilai” amarah  peserta demo  menjadi nilai-nilai koperasi yang berbasiskan tolong-menolong (ta’awun), keadilan, solidaritas, demokrasi/musyawarah, kepedulian pada orang lain, yang sepenuhnya merupakan nilai-nilai Islami, yang selanjutnya nilai-nilai ini dijabarkan dalam prinsip-prinsip koperasi sebagai pedoman operasionalnya, yang dalam prakteknya juga bisa diterjemahkan dengan nilai-nilai syariah.  Masalah yang lebih crucial dari masalah transformasi nilai-nilai ini, adalah kenyataan bahwa pada umumnya umat Islam lebih peka terhadap issue-issue yang berkaitan dengan masalah akidah dibandingkan dengan masalah/issue yang berkaitan dengan muamalah (urusan dunia dan hubungan antar manusia) seperti masalah  kemiskinan, korupsi, kesusilaan, perdagangan manusia dsb yang saat ini masih banyak terjadi, yang dalam Islam tentulah tidak kurang pentingnya dibandingkan dengan masalah akidah yang keduanya sudah seharusnya untuk diatasi. Inilah yang terjadi pada kasus “penistaan agama”, yang di satu pihak ada yang menganggapnya sebagai kasus furu’ (bukan masalah prinsip, yang memungkinkan perbedaan pendapat) atau  khilafiah (perbedaan pandangan terhadap suatu masalah), di pihak lain beranggapan sebagai ushul atau  prinsip yang mutlak tidak bisa ditawar-tawar lagi, yang kemudian ternyata mampu menggerakkan jutaan umat. Dalam proses mengkoperasikan umat ini sangat tergantung pada kepiawian da’i-da’I koperasi dalam mengadakan pendekatan kepada umat, dengan sasaran utamanya tentulah para ulama sebagai panutan, dalam rangka mentransformasikan kepekaan tidak semata pada masalah akidah  tetapi juga  terhadap masalah-masalah muamalah. Kemiskinan yang masih melanda sebagian besar umat, tentulah termasuk masalah muamalah yang palin crucial untuk diatasi, yang salah satu media untuk mengatasinya adalah koperasi. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Koperasi adalah suatu lembaga ekonomi sosial, yang karena keterbatasan sumberdaya ekonominya, maka individu-individu bersepakat untuk bekerjasama  menyatukan kekuatan dan potensi ekonominya untuk mencapai suatu tujuan, baik tujuan ekonomi maupun tujuan sosial,  Dengan pengelolaan usaha yang professional berbasiskan nilai-nilai dan prinsip-prinsip seperti telah disebutkan di atas: tolong menolong/menolong diri sendiri, keadilan, persamaan, solidaritas, demokrasi, kejujuran dan peduli pada orang lain, maka ekonomi koperasi  Insya Allah akan kuat, dan sekaligus juga akan bisa menunjukkan wajah sosial yang ramah. Melalui bentuk koperasi ini, siapa tahu di samping dapat ikut mengatasi masalah kemiskinan pada sebagian umat Islam (yang sebetulnya telah banyak dilakukan  melalui Koperasi-Koperasi Syariah,  BMT-BMT yang dikelola secara kooperatif berdasarkan syariat Islam), juga dapat  membantu merubah kesan “keras, mau menang sendiri, intoleran” pada wajah sebagian umat Islam menjadi wajah ramah, bersahabat dan siap membantu siapapun.  Siapa tahu juga ya, jika keberhasilan koperasi di kalangan garis keras/demonstran ini dapat lkut membantu meredakan kegaduhan saat ini yang disebabkan oleh issue-issue radikalisme,  intoleransi, anti Pancasila, anti pluralisme/kebinekaan yang (bahasa klisenya) “dapat mengancam kesatuan/keutuhan NKRI”. Mungkinkah atau mustahilkah merubah nilai-nilai  kalangan garis keras ini menjadi nilai-nilai koperasi yang lunak, toleran dan solider dengan sesama? Wallahu a’lam bishawab.

Ikuti tulisan menarik djabaruddin djohan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB