Anies Baswedan dan Sandiaga Uno beserta pendukungnya pantas merayakan kemenangan mereka dalam Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta pada Rabu malam, 19 April 2017. Hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei telah menunjukkan bahwa mereka meraih suara lebih banyak daripada pesaing mereka: Basuki Thahaja Purnama alias Ahok dan Djarot Saiful Hidayat. Jakarta kini punya gubernur baru: Anies Baswedan.
Namun, tak semua menyambut suka cita kemenangan itu. Jeremy Menchik, asisten profesor di Pardee School, Boston University, Amerika Serikat, melempar cuitan di Twitter pada Rabu malam bahwa kemenangan Anies-Sandiaga adalah kemenangan intoleransi.
12/ #AniesSandi’s victory is a win for intolerance, but Indonesia has weathered such challenges before. The struggle continues. /END
— Jeremy Menchik (@jeremymenchik) April 19, 2017
Penulis buku Islam and Democracy in Indonesia: Tolerance without Liberalism itu menyatakan bahwa kemenangan Anis-Sandi adalah "kemenangan bagi Islamis, otokrat (Prabowo) dam strategi elektoral dari intoleransi strategis."
Jeremy Menchik bahkan mengecam "kampanye menjijikkan" yang dilakukan Anies-Sandi. "(Mereka) bicara tentang Perang Badar, tudingan penistaan agama, mobilisasi FPI," tulisnya.
Memang, banyak orang yang kecewa ketika dalam perjalanan meraih dukungan, Anies merapat ke kelompok intoleran, seperti Front Pembela Islam (FPI). Kini, ketika Anies benar-benar menjadi Gubernur Jakarta, tentu mereka akan menagih dukungan tersebut. Begitulah politik.
Bagaimana Anies menghadapi kelompok semacam ini? Apakah tindakan main hakim sendiri dengan mengatasnamakan agama Islam akan dibiarkan oleh Anies? Kita tentu tidak berharap demikian. Langkah Anies akan jauh lebih mudah bila dia tak mendekati kelompok semacam itu. Tapi, nasi telah jadi bubur.
"Para demokrat dimana pun benar bila mengkhawatirkan keterpurukan demokratis dan Pilkada Jakarta adalah pratinjau dari Pilpres 2019," tulis Menchik.
Tapi, Menchik mengingatkan bahwa pergulatan Indonesia menghadapi intoleransi punya sejarah panjang. Dia mengutip lagi "Productive Intolerance: Godly Nationalism in Indonesia", esainya yang dipublikasikan di jurnal Comparative Studies in Society and History pada 2014.
Esainya itu mengkaji sejarah sikap intoleran Muslim Indonesia terhadap Ahmadiyah. Menchik memaparkan bahwa pada mulanya hubungan Ahmadiyah dan organisasi-organisasi Muslim cukup baik dan saling menghormati satu sama lain, tapi hubungan itu dengan cepat retak dan berpuncak pada penyingkiran Ahmadiyah dari keanggotaan koalisi politik Muslim penting pertama negeri ini.
Tindakan penyingkiran itu, tulis Menchik, membantu meredam pertentangan antara kelompok Muslim dan berperan dalam pembentukan dasar kelembagaan bagi negara pascakolonial. Ini menunjukkan bahwa kekuatan penyingkiran itu produktif untuk menghasilkan solidaritas di negara baru ini.
"Kemenangan Anis-Sandi adalah kemenangan intoleransi, tapi Indonesia sudah pernah diterpa tantangan semacam ini sebelumnya," kata Menchik. "Perjuangan itu berlanjut."
[*]
Berita terkait:
- Kasus Al Maidah 51: 6 Alasan Ahok Tak Akan Dipenjara
- Kontroversi Awliya dalam Al-Maidah 51: Ini Asal-Usulnya
Ikuti tulisan menarik Iwan Kurniawan lainnya di sini.