x

Iklan

Manik Sukoco

Suka membaca. Sesekali menulis.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Catatan tentang Pilkada DKI

Kilas balik perjalanan Pilkada DKI dan setelahnya. Pluralisme adalah kita.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pilkada Jakarta Putaran Kedua sudah usai. Kemarin, tepatnya tanggal 19 April 2017, rakyat Jakarta kembali melaksanakan pesta demokrasi untuk menentukan siapa yang akan memimpin Jakarta 5 tahun mendatang. Walau masih menunggu hasil resmi dari KPU, namun hitung cepat berbagai lembaga survei terkait dengan Pilkada Jakarta menunjukkan pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno menang atas pasangan Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat.

Kemenangan Anies-Sandi dalam Pilkada Putaran Kedua ini menarik perhatian berbagai media asing. Mayoritas media-media asing menyebut Pilkada DKI sebagai pemilihan umum yang terpecah belah, dengan mengaitkannya pada kasus penistaan agama yang menjerat Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

CNN pada Kamis (20/4/2017), mengulas liputan mereka dalam tajuk 'Jakarta Governor Concedes Election after Divisive Campaign' yang menulis bagaimana Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengakui kekalahannya dalam Pilkada, mengakhiri apa yang disebut oleh salah satu surat kabar sebagai kampanye paling kotor dan paling terpolarisasi.

Wall Street Journal (WSJ) mengupas kekalahan Ahok dalam artikel berjudul 'Islamist-Backed Candidate Ousts Jakarta's Christian Governor'. Mereka menceritakan bagaimana warga Jakarta menggulingkan minoritas Kristen, orang kepercayaan presiden, dalam pemilihan gubernur, menggantikannya dengan kandidat yang menunggangi gelombang dukungan Islamis garis keras yang telah membalikkan politik di tanah air.

New York Times (NYT), menulis artikel berjudul 'Jakarta Governor Concedes Defeat in Religiously Tinged Election' dalam ulasannya mengenai Pilkada DKI Jakarta. New York Times menyebut kekalahan Ahok ini sangat 'menghancurkan'.

Tak ketinggalan, USA Today merilis artikel berjudul 'Muslim Voters Oust Jakarta's Christian Governor' yang membahas bahwa Pilkada DKI merupakan ujian bagi reputasi toleransi beragama di Indonesia.

Terlepas dari semua hiruk pikuk Pilkada DKI, media asing tampaknya lupa menganalisis bahwa pluralisme dan kemajemukan telah mewarnai bangsa ini, bahkan jauh sebelum Republik Indonesia terbentuk. Pada saat tokoh-tokoh bangsa merumuskan Pancasila, mereka memahami betul bahwa pluralisme telah ada, namun mereka memiliki kesadaran untuk bersatu dalam sebuah perbedaan, dan menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Eli Susanti (2011), konsep pluralisme sendiri memiliki beberapa perspektif: sosial, budaya, maupun politik. Dalam perspektif sosial, pluralisme menangkal dominasi dan hegemoni kelompok atau aliran keagamaan tertentu. Pluralisme budaya mencegah hilangnya satu aliran budaya/agama karena dilenyapkan oleh aliran keagamaan arus utama yang hegemonis. Adapun pluralisme politik merupakan dasar bagi jaminan kebebasan untuk berkeyakinan dan berekspresi tanpa rasa takut akan ancaman kekerasan, karena adanya lembaga pengelola konflik kepentingan antar aliran keagamaan.

Negara kita adalah negara hukum, dimana konstitusi memberikan jaminan agar setiap warga masyarakat dilindungi, baik kewajiban maupun haknya, termasuk juga hak untuk berpikir, mengemukakan pendapat, memilih kepala daerah, atau partai politik yang sesuai dengan keinginan mereka. Kata "setiap warga negara" menunjukkan penghargaan negeri ini terhadap rakyat Indonesia yang multikultur.

Sebagaimana pendapat Budiman (1999), adanya kemajemukan sistem budaya dan masyarakat telah diakui sebagaimana tercermin dalam semboyan "Bhinneka Tunggal Ika". Kata Bhineka Tunggal Ika diadopsi sebagai salah satu upaya untuk memayungi keanekaragaman yang ada, serta strategi untuk mempersatukan berbagai kelompok masyarakat/etnik dalam suatu ikatan yang berorientasi masa depan. Idealnya, ketunggal-ikaan tidak boleh mematikan kebhinekaan.

Tidak benar jika dikatakan bahwa warga muslim membenci perbedaan agama dan etnis. Perlu diketahui bahwa dari 101 daerah yang menggelar Pilkada tahun ini, ada setidaknya 22 pasangan calon kepala daerah non muslim yang justru diusung partai Islam, baik sendiri maupun berkoalisi dengan partai lain, sebut saja di Kabupaten Bolang Mongondow (Sulawesi Utara), Kota Kupang (Nusa Tenggara Timur), Kabupaten Maluku Tenggara Barat (Maluku), Kota Ambon (Maluku), Kabupaten Banggai Kepulauan (Sulawesi Tengah), Kabupaten Lembata (NTT), Kabupaten Flores Timur (NTT), Kabupaten Seram Bagian Barat (Maluku), Kabupaten Pulau Morotai (Maluku Utara), Kabupaten Mappi (Papua), Kabupaten Lanny Jaya (Papua), Kabupaten Yapen (Papua), Kabupaten Nduga (Papua), Kabupaten Sarmi (Papua), Kabupaten Tolikara (Papua), Kabupaten Puncak Jaya (Papua), Kabupaten Jayapura (Papua), Kabupaten Intan Jaya (Papua), Kabupaten Dogiyai (Papua), Kabupaten Maybrat (Papua Barat), Kabupaten Tambrauw (Papua Barat), dan Pemilihan Gubernur Provinsi Papua Barat (KBR, 8/2/2017). Namun, isu SARA tidak merebak di daerah-daerah lain selain Jakarta. Pertanyaannya, mengapa hanya di Jakarta keributan terjadi?

Pada September 2016, dalam sebuah acara di Kepulauan Seribu, Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama membuat pernyataan yang bisa mengaitkan agama dan politik. Pernyataan yang mengaitkan politisasi Surah Al Maidah ayat 51 itu tentu saja menjadi bumerang baginya, baik secara hukum maupun politik.

Terlepas dari ketakutan publik akan kericuhan yang mewarnai jalannya Pemilu, secara umum, Pilkada DKI putaran kedua berlangsung dengan damai. Rakyat Jakarta telah menentukan pilihannya. Walau secara resmi belum diumumkan oleh KPU, berbagai lembaga survei telah mempublikasikan hasil quick count dalam Pilkada DKI. Indo Barometer menyebut perolehan suara Ahok-Djarot (41,5%) dan Anies-Sandi (58,5%). Median merilis perolehan suara Ahok-Djarot (41,99%) dan Anies-Sandi (58,01%). SMRC mempublikasikan bahwa warga memilih Ahok-Djarot (41,94%) dan Anies-Sandi (58,06%), serta PolMark mengatakan bahwa perolehan suara Ahok-Djarot (42,44%) dan Anies-Sandi (57,56%). Ini berarti Jakarta akan memiliki Gubernur baru.

Sejumlah PR kini menunggu, mulai dari banjir, kemacetan, isu ekonomi, harga kebutuhan pokok yang mahal, ketenagakerjaan (sulitnya lapangan pekerjaan), kesejahteraan masyarakat, kesenjangan kaya dan miskin, pembangunan manusia, isu sosial (diskriminasi agama atau SARA), pemerataan pembangunan, perumahan, pengelolaan sumber daya air, kriminalitas, banyak berita bohong, peredaran narkoba, kerukunan antar warga, isu kesehatan (pelayanan kesehatan), transparansi birokrasi, masalah kependudukan, pendidikan (sarana, prasarana, dan biaya pendidikan), transportasi dan infrastruktur jalan, juga perbankan dan investasi. Semua ini membutuhkan solusi dan penanganan.

Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, telah mengomentari hasil quick count dengan ucapan selamat pada pasangan Anies-Sandi juga seluruh timses pendukung. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa kita semua sama, menginginkan yang terbaik untuk Jakarta dan ia berkomitmen untuk merampungkan tugas-tugasnya sebagai Gubernur untuk memudahkan pemerintah yang baru.

Negara ini adalah negara demokratis yang menjunjung tinggi nilai-nilai sportivitas. Pihak yang menang harus mampu merangkul pihak yang kalah. Sementara pihak yang kalah juga harus sportif menerima kekalahan, serta mendukung pihak yang menang.

Saya mengapresiasi bahwa dalam 100 hari pertama, Anies-Sandi akan memfokuskan pada tiga hal. Pertama, melakukan rekonsiliasi berbagai golongan warga DKI Jakarta untuk memastikan lingkungan sosial, ekonomi, dan politik yang kondusif. Kedua, memenuhi program kerja prioritas Anies-Sandi di 3 bidang. Bidang pertama adalah membentuk dan meresmikan 44 pusat kewirausahaan dan meluncurkan Kartu Jakarta Pintar (KJP) Plus dan mendistribusikannya pada anak putus sekolah. Di kesempatan yang sama mereka juga akan meluncurkan Kartu Pangan Jakarta. Bidang kedua adalah program hunian DP nol dengan membentuk unit khusus yang mengelola isu perumahan di Jakarta. Bidang selanjutnya adalah program OK Trip dan OK O-Care. Ketiga, mengkonsolidasikan birokrasi pemerintah provinsi DKI Jakarta, dengan cara membangun komunikasi di semua tingkat birokrasi Pemda di Jakarta sambil menciptakan iklim kerja birokrasi yang sehat, manusiawi dan produktif (Kumparan, 20/4/2017).

Jakarta akan maju jika pemerintah mampu menjalin kerjasama serta meraih dukungan dari berbagai elemen masyarakat. Harapannya, dengan sinergi yang harmonis antara pemerintah dan masyarakat, akan tercapai kebijakan publik ideal yang mendukung tegaknya keadilan sosial serta perubahan Jakarta ke arah yang lebih baik. Semoga saja.

Ikuti tulisan menarik Manik Sukoco lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB