x

Seorang biksu Buddha memberkari sejumlah gajah pada acara Hari Gajah Nasional di kota Ayutthaya, Thailand, 13 Maret 2017. REUTERS/Chaiwat Subprasom

Iklan

margaretha diana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Agama-agama Egaliter

agama-agama asli nusantara yang tersingkirkan

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Membaca lagi kisah para Bissu dari Bugis dan segala sengkarutnya di masa sekarang, teringat seecuil tulisan tentang Bissu ini di buku Ring Of Fire karya Lawrence Blair yang sempat membahas tentang Bissu, yang ditemuinya saat mereka sedang melakukan ritual di pesisir pantai di Makassar. Salah seorang tetuanya berkata,

“ Masyarakat ini, masyarakat kami, tidak lagi mengenali kami. Mereka memperlakukan kami lebih buruk dari kaum wanita mereka. Sedari dulu tugas kami adalah berdiri antara surga dan bumi-tidak menjadi sumber kesusahan maupun kesenangan, bukan laki-laki maupun perempuan, melainkan berdiri di luar dualitas yang menguasai dunia ini. Kami bisa mendengar suara arwah, dan memimpikan masa depan, walaupun sangat sedikit orang yang mendengarkan kami sekarang.”

Ya, pada dasarnya, keberadaan Bissu di masa lalu adalah sebagai pendeta-pendeta agama Bugis kuno pra Islam. Menurut sejarahnya, yang tertulis pada epos La Galigo, Bissu pertama yang ada di tanah Bugis bernama Lae-Lae, dan dia diturunkan dari langit ke tanah Luwu, bersamaan dengan Raja Luwu, yaitu Batara Guru, putra sulung dari Maharaja Agung di Khayangan. Itulah sebabnya para Bissu mempunyai bahasa sendiri, yaitu basa Torilangi, atau bahasa orang langit. Dan pada perkembangannya, para Bissu ini tidak saja berasal dari pendeta-pendeta waria atau calabai, tetapi ada juga wanita dari kalangan putri bangsawan tinggi. Mereka ini, tidak hanya sekedar “penyambung lidah dengan langit”, tetapi juga mengajarkan serta mendampingi masyarakat tentang atuwong lino (kehidupan dunia), esso ri munri (akhirat), lasa na amateng (penyakit dan kematian), dewatae (para dewa), teu tenrita (mahluk halus), teu rioloe (para leluhur), makerre (keramat dan sakti), simak na ulawu (jimat), dan massompa (persembahan).

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dan sayangnya, semakin kesini, sistem kepercayaan Attoriolong, sebagai salah satu agama atau kepercayaan asli masyarakat, yang juga bagian dari budaya nusantara, semakin menghilang, tergerus jaman, juga tergerus agama-agama baru yang masuk ke nusantara. Sama halnya dengan beberapa agama asli nusantara, sebut saja kepercayaan Hindhu Dharma di Bali, Aluk Todolo di Tana Toraja, Buhun di Jawa Barat, Kejawen yang banyak tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Atau Parmalin di Sumatera Utara, yang sedikit banyak identik dengan Zoroaster, Kaharingan yang banyak dianut masyarakat Dayak di Kalimantan, Wetu Telu di Lombok, atau Marapu di Sumba. Akankah mereka diakui oleh negara ini sebagaimana nasib Sunda Wiwitan?

Padahal, rerata kepercayaan, atau boleh kita sebut agama-agama tersebut, rerata lebih “mengembalikan” trah manusia yang seharusnya searus, melebur dengan alam. Contohnya, seperti komunitas Sedulur Sikep, yang mengajarkan tentang bagaimana mengambil yang diperlukan dari alam, seperlunya saja, tanpa perlu merusaknya. Tentang bagaimana memanusiakan manusia lain. Yang juga bisa ditemukan di beberapa komunitas kepercayaan, seperti komunitas Aboge di Banyumas. Dan sayangnya juga, di kepercayaan-kepercayaan tersebut, jarang sekali ditemukan tentang bagaimana merasa agamanyalah yang paling benar, ajarannyalah yang paling suci, hingga manusia lain tidak boleh ikut menikmati karunia Yang Esa atas bumi.

Dan satu lagi yang agak menggelitik, saat ada sebuah situs, yang ternyata merujuk tentang kepercayaan Subud, atau Susila Budi Dharma yang didirikaan oleh Muhamad Subuh Sumohadiwijojo di Semarang pada tahun 1952. Komunitas Subud ini diikuti oleh banyak orang dari banyak negara. Menurut data terakhir, bahkan tersebut ada 83 negara yang masuk menjadi member Subud. Aneh tapi nyata, saat negara ini justru “melegalkan” kepercayaan-kepercayaan import dan “membunuh” perlahan kepercayaan-kepercayaan asli nusantara, nama Subud atau Susila Budi Dharma justru mempunyai komunitas yang lumayan besar di mancanegara.

Ajaran Subud sendiri terdiri dari Susila atau budi pekerti manusia yang baik, sejalan dengan kehendak Tuhan Yang Maha Esa. Budhi atau yang berarti daya kekuatan diri pribadi yang ada pada diri manusia. Serta Dharma yang berarti penyerahan, ketakwaan, serta keikhlasan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sebenarnya, ajaran yang kurang lebih sama dengan Subud, banyak juga kita temui di agama-agama yang tersebar saat ini. Tapi mungkin, alasan kenapa Subud bisa bertahan sampai saat ini, meski foundernya sendiri, yang biasa dipanggil bapak, yaitu Muhamad Subuh Sumohadiwijojo sudah wafat pada tahun 1987, adalah, ajaran ini bersifat non sektarian, tidak seperti agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan yang ada saat ini. Kurang lebih, hampir sama dengan ajaran yang dikembangkan oleh almarhum Samin Surosentiko. Tentang bagaimana menyikapi hidup sebagai manusia yang tidak jumawa serta memanusiakan orang lain.

Mungkin benar apa kata John Shelby Spong, penulis buku The Sins Of Scripture, bahwa,

“ All religion seems to need to prove that it’s the only truth. And that’s where it turns demonic because that’s when you get religious wars and persecutions and burning heretic at the stake “

Ya, pada akhirnya, para pelaku sectarian memang jauh dari kata egaliter, mereka merasa bahwa merekalah yang paling, alias “the only one and only truth in the world.” Padahal, pada dasarnya, saat kita bicara agama, kepercayaan, bukankah kita mencari sebuah tempat dimana damai bisa ditemukan bagi jiwa kita?

Lalu bagaimana mungkin sikap jumawa sebagai “the only one and only truth” bisa diartikan sebagai symbol ketenangan jiwa?

Agama, kepercayaan, pada dasarnya adalah sama, satu dan lainnya, sepanjang ajarannya bukan tentang membunuh dan merasa yang paling benar. Karena, agama, kepercayaan muncul, dari budaya manusia yang begitu beragam. Dan bagaimana mungkin kita menilai satu budaya, lebih unggul atau lebih rendah dari budaya lainnya?

Seperti kata Dalai Lama,

“ We can live without religion and meditation, but we cannot survive without human affection”

 

 

Ikuti tulisan menarik margaretha diana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler