x

Iklan

Rinsan Tobing

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Basuki, Gubernur Par Excellence

Basuki berhasil mengatasi kekurangan APBD DKI Jakarta untuk menggerakkan pembangunan di tengah terbatasnya anggaran yang tersedia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Banyak media mengabarkan, pada Selasa (25/4) jam 00.00 dini hari, simpang susun Semanggi tersambung utuh. Badan jembatan yang dikerjakan siang malam itu berhasil menyambung dan membentuk bundaran. Harapannya, simpang susun Semanggi ini akan mengurangi kemacetan 30%.

Menariknya, pembiayaannya bukan dari APBD. Pembiyaannya dari sumber lain yang dimungkinkan Undang-Undang. Nilainya mencapai hampir Rp. 365 milyar. Tidak tanggung-tanggung untuk dana pihak ketiga untuk satu aset yang masif. Bagaimana Ahok melakukannya?

Sering mungkin ditemukan, setiap ditanyakan alasan suatu program tidak berjalan, jawabnya selalu pada terkendala pendanaan. Pendanaan dari APBD itu memang sangat terbatas. Tidak mungkin memberikan layanan seperti yang diharapkan dengan dana yang sedemikian.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dana pemerintah yang digunakan untuk membiayai para pegawai dan juga belanja barang dan jasa harus diakui memang sangat terbatas, karena kemampuan negara yang juga terbatas. Keterbatasan ini semakin diperburuk karena perilaku birokrasi yang tidak profesional sehingga pelayanan publik tidak maksimal.

Di banyak daerah, belanja pegawai yang mencakup gaji pegawai dan dana-dana kepentingan pegawai lainnya berada dikisaran 60-70%. Lalu dana yang tersedia sangat sedikit untuk belanja modal. Ujung-ujungnya, pembangunan sarana dan prasarana publik buruk. Akan tetapi laporan pertanggung-jawaban selalu wajar tanpa syarat.

Jadi, tidak aneh kemudian jika berada di satu daerah dan menemukan fasilitas publik yang tidak terawat. Bisa dipastikan alokasi pendanaan untuk fasilitas publik itu sangat minim. Tidak heran kemudian di kantor-kantor pemerintah pun aroma toiletnya sangat ‘dahsyat’. Mungkin ada yang pernah mengalaminya. Ini karena anggaran tidak memadai, lagi-lagi berupa alasan. Biasanya anggaran ada, tetapi menguap entah kemana. Itu kata berita.

Sebenarnya, jika mau bekerja keras, seorang pemimpin daerah bisa mencarikan pendanaan dari sumber-sumber di luar uang yang disediakan pemerintah pusat dan pendapatan asli daerah, yang tertuang dalam APBD.

Ruang-ruang pendanaan bisa dibuka dari berbagai pihak termasuk perusahaan-perusahan melalui Corporate Social Responsibility, misalnya. Tidak harus perusahaannya berada di wilayah tersebut. Banyak perusahaan besar memiliki dana-dana ini. Meskipun bukan kewajiban, tetapi dana-dana CSR ini semakin berkembang dari tahun ke tahun.

Public Service Obligation (PSO) juga bisa didayaupayakan. Undang-undang malah sudah mengatur ini karena ini merupakan kewajiban dari perusahaan milik negara. Sama halnya dengan CSR, pun pemerintah daerah harus rajin mencarinya.

 

Selain APBD DKI, Ada Rupa-rupa Modalitas

Jakarta juga mengalami kendala yang sama. Kebutuhan pembangunan dan penyediaan pelayanan publik tidak bisa dipenuhi seluruhnya dengan kemampuan uang daerah Jakarta yang tertuang dalam APBD-nya, yang berkisar Rp. 60 T. Untuk jelasnya, APBD DKI 2016 mencapai Rp. 59,68 T. APBD 2017, dianggarkan Rp. 62, 47 T.

Berdasarkan dokumen Informasi APBD 2016 dengan tema ‘Pemantapan Capaian Pembangunan dan Penyempurnaan Pelayanan Pemerintah, yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, ditemukan peningkatan APBD yang signifikan sejak 2010.

Pada tahun 2010, APBD DKI realisasi berkisar Rp. 22,55 T. Lalu meningkat di tahun 2011 di Rp. 26,42 T. Di Tahun 2012 sejak pemerintahan Jokowi-Basuki, APBD meningkat menjadi Rp. 31,55 T. Setiap tahun naik, hingga pada tahun 2016 sudah hampir dua kali lipat APBD realisasi 2012. APBD realisasi artinya APBD yang telah diaudit oleh BPK.

Dengan dana APBD sebesar ini pun, yang terbesar dari seluruh provinsi di Indonesia, DKI masih kewalahan untuk melayani kebutuhan pelayanan publik warganya. Di samping karena mendapat warisan yang buruk dari masa lalu, juga karena laju urbanisasi yang tinggi di Jakarta. Masih banyak faktor lainnya.  Kondisi hubungan pemerintah DKI yang ‘tidak akrab’ dengan DPRD mengakibatkan seringnya APBD tidak maksimal karena pemerintah daerah harus menggunakan anggaran tahun sebelumnya.

Biaya untuk pembangunan porsinya lebih besar dari belanja pegawai. Meskipun remunerasi pegawai birokrat pemerintah tinggi, proporsi dari APBD hanya dimaksimalkan di angka 30%. Banyak jabatan yang sudah dihapus, karena tidak efektif. Hal itu juga mendukung bisa tercapainya belanja pegawai yang hanya sepertiga dari APBD dibandingkan dengan daerah lain, yang bisa mencapai 60%, bahkan ada yang sampai 80%,

Tetapi, di balik tantangan yang besar ini, Basuki berupaya untuk memaksimalkan segala sumber modalitas yang disebutkan di atas. Disinilah kecerdasan Basuki memberdayakan semua modalitas yang ada yang dimungkinkan oleh peraturan. Sejak awal pemerintahannya, Jokowi Basuki menyadari potensi dari dana-dana ini, seperti tanggung jawab sosial perusahaan. Mereka bisa bergerak lebih cepat dengan segera mengarahkan dana-dana ini untuk mengatasi masalah di Jakarta.

Pengerukan Waduk Pluit misalnya, menggunakan dana CSR. Dana ini dapat dimobilisasi dengan cepat. Nilai-nilai dan cakupan pekerjaan serta masa pengerjaan disepakati dalam sebuah Perjanjian Kerjasama. Perjanjian Kerjasama ini menjadi basis untuk setiap dana CSR yang diterima oleh Pemerintah DKI. Dana-dana ini tidak masuk APBD dulu, karena prosesnya akan lama. Dana-dana ini kemudian akan dicatat di akhir siklus APBD.

Ruang Publik Terpadu dan Ramah Anak (RPTRA), suatu ruang bermain dan tempat masyarakat membangun kohesi sosial, juga menggunakan dana CSR. Sudah lebih dari 180 RPTRA yang dibangun dengan dana-dana tanggung-jawab sosial ini. Mungkin yang paling besar adalah RPTRA Kalijodo yang luasnya 1,5 hektar dengan pendanaan dari Sinar Mas Land.

Modalitas  lain juga dimanfaatkan, yakni donor. Setidaknya dalam program pendidikan beberapa NGO internasional membantu program-program di sekolah, terkait sekolah aman. Pelatihan-pelatihan untuk membangun ketahanan sekolah dalam menghadapi bencana ditingkatkan dengan dana dari pihak donor. Bahkan, Bappeda DKI mendapatkan bantuan teknis dari Bank Dunia untuk mengembangkan keterbukaan anggaran. Programnya sedang berjalan.

 

Yang Tercanggih, Koefisien Lantai Bangunan

Dengan memanfaatkan sistem insentif dan disinsentif terkait Tata Ruang sesuai mandat Undang-Undang No. 26 Tahun 2007, Pemerintah DKI dengan kepemimpinan Basuki, melihat peluang untuk menambah modalitas pembangunan. Pemerintah DKI menggunakan elemen Koefisien Lantai Bangunan untuk mendapatkan suntikan dana.

Praktisnya, jika suatu organisasi ingin membangun bangunan dengan lantai yang lebih tinggi dari yang dipersyaratkan, maka diijinkan dengan membayar kompensasi tertentu. Kompensasi ini memiliki ketentuan sesuai dengan Peraturan Gubernur Nomor 201 Tahun 2016. Sampai saat ini telah ada tiga perusahaan yang memanfaatkan insentif ini, yakni PT Mitra Panca Persada mencapai Rp 579,32 miliar, kemudian yang dibayarkan PT Sampoerna Land mencapai Rp 723,11 miliar dan yang PT Mulia Karya Gemilang senilai Rp 214,40 miliar

Sama dengan metode CSR, dengan dana kompensasi Koefisien Lantai Bangunan ini, pemerintah DKI mengadakan Memorandum of Understanding untuk menentukan nilai, hak dan kewajiban yang dimiliki perusahaan tersebut.

Salah satu yang dibangun saat ini dengan menggunakan dana KLB adalah revitalisasi simpang susun semanggi yang mencapai Rp. 369 milyar dari kompensasi KLB perusahaan PT. Mitra Panca Persada. Total kompensasi perusahaan ini mencapai Rp. 579,32 milyar.

Pengerjaannya juga diserahkan kepada perusahaan. Setelah selesai, aset yang telah dibangun akan diaudit oleh auditor independen, audit konstruksi dan keuangan. Bila dinilai wajar, aset diserahkan ke Pemerintah DKI melalui Berita Acara Serah Terima (BAST), lalu dicatat sebagai aset pemerintah DKI.

Model pencatatan seperti ini juga terjadi di APBN. Kementerian-kementerian yang mendapatkan bantuan teknis dari donor dan CSR perusahaan juga melakukan mekanisme pengalihan aset ini dalam bentuk BAST yang selanjutnya dicatatkan ke dalam APBN.

Bahkan yang lebih lebih luar biasa adalah dengan segala keterbatasan dana APBD, tetapi karena mampu mendapatkan dari sumber-sumber lain yang sah, beberapa sumber pendapatan utama dihilangkan. Ini meringankan masyarakat. Ambil contoh misalnya retribusi perijinan, pengurusan sertifikat dan bahkan PBB untuk bangunan dengan nilai sampai Rp. 1 milyar dihapuskan.

Tidak heran kemudian untuk kinerja bagus Basuki ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani memujinya. Ketika mengunjungi pembangunan simpang susun Semanggi, Presiden Jokowi juga memberikan apreasiasi yang besar atas kecerdasan Basuki dalam membangun Jakarta dengan dana-dana di luar APBD. Terlebih dana-dana tersebut dapat dipertanggung-jawabkan sesuai dengan peraturan yang ada. Keterbatasan dana APBD setidaknya dapat dikelola dengan kecerdasan mengadministrasi pembangunan. Basuki telah melakukannya.

Ikuti tulisan menarik Rinsan Tobing lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler