x

Iklan

Achmad Hidir

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kenapa Bunuh Diri Makin Menggila

fenomena bunuh diri dalam masyarakat kita

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

1. Gejala Bunuh Diri.

Menurut laporan  berbagai media massa akhir-akhir ini kasus bunuh diri mengalami peningkatan, bahkan ada seorang yang melakukan bunuh diri dan merekamnya proses tersebut. Harus diakui bahwa fenomena bunuh itu  ibarat bola salju dan gunung es. Artinya, semakin lama semakin banyak dan besar sementara jumlah yang berhasil dilaporkan jauh lebih kecil daripada jumlah kasus yang terjadi. Asumsi ini dapat  kita cermati dari amatan akhir-akhir ini di mana hampir setiap media massa dalam rubrik kriminalitasnya selalu muncul berita tentang kasus-kasus bunuh diri. Tampaknya fenomena bunuh diri dalam masyarakat kita kini kian menggejala saja dengan berbagai macam modus dan bentuknya.  Pola bunuh diri yang dilakukan oleh masyarakat cukup bervariasi, mulai dari yang minum racun serangga, loncat dari gedung yang tinggi hingga pola yang paling umum dilakukan seperti gantung diri.

Fenomena ini menjadi paradok di tengah maraknya kontroversi tentang penerapan perlu tidaknya hukuman mati dilakukan terhadap terpidana mati, di mana banyak kalangan yang kontra terhadap penerapan sanksi hukuman seperti ini karena dianggap sebagai pengekangan terhadap hak hidup manusia. Tetapi justru ironinya dalam masyarakat kita banyak terjadi kasus bunuh diri ?.  Bahkan kasus bunuh diri dalam masyarakat kita akhir-akhir ini tampaknya sudah semakin menggejala dan menunjukkan ke arah peningkatan !.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Buktinya,   satu dekade terakhir ada indikasi dari  laporan  buku   “ Mayat Luar “ milik Rumah Sakit Umum Pusat Nasional (RSUPN) Cipto Mangunkusumo Jakarta hingga akhir februari 2003 lalu di mana tercatat ada 17 mayat dari luar yang dikirim ke rumah sakit untuk divisum dengan gejala kematian akibat bunuh diri. Dari laporan itu, usia mereka yang teridentifikasi sebagai pelaku bunuh diri tidak mengenal istilah tua atau muda baik berkelamin laki-laki atau perempuan. Karena dari beberapa mayat yang dikirim itu ada seorang perempuan tua berumur 62 tahun dan gadis muda berumur 16 tahun.

2. Pola Bunuh Diri.

Dilaporkan lagi, bahwa angka bunuh diri saat ini tertinggi memang terjadi di kawasan konflik seperti di kawasan Timur Tengah (Palestina), namun bunuh diri yang mereka lakukan meminjam istilah Durkheim  cenderung lebih bersifat altruisme ketimbang kasus yang terjadi di Indonesia yang lebih bersifat individual.

Bila demikian halnya, sebenarnya apa yang tengah terjadi di dalam masyakat kita ini ?. Mengapa mereka dengan mudah mengakhiri kehidupan ini ?. Pada hal hidup  ini sebenarnya menurut sebagian orang adalah sesuatu kenikmatan. Buktinya banyak orang dengan rela menghamburkan banyak uang dengan tujuan mencari berbagai bentuk pengobatan sebagai alternatif untuk memperpanjang usia hidupnya. Tetapi di pihak lain justru  ada sebagian lain dari mereka yang nyata-nyata sehat secara fisik tetapi justru mereka tidak mau hidup lebih lama. Mereka bunuh diri !! .

Sebenarnya untuk menganalisis gejala bunuh diri, ada banyak pendapat. Misalnya menurut seorang ahli psikologi klinis dari Universitas Indonesia Kristi Poerwandari, menjelaskan untuk menelaah kenapa seseorang melakukan bunuh diri. Menurutnya  minimal harus memenuhi dua syarat, pertama adanya faktor pendahulu yang mempengaruhi seseorang melakukan percobaan bunuh diri, dan kedua adanya faktor pencetus dan situasi yang mendorong seseorang melakukan bunuh diri.

Faktor pendorong orang melakukan bunuh diri ini dianggap paling banyak mempengaruhi perilaku seseorang untuk melakukan bunuh diri. Apalagi  menurut Ronny Nitibaskara seorang kriminolog yang sama dari  Universitas Indonesia mengatakan bila faktor pendorong yang dimiliki seseorang itu tidak didukung dengan penguasaan eksternal yang kuat, maka perilaku ini akan mendorong seseorang untuk melakukan bunuh diri.

Walaupun sejauh ini dan apapun alasannya, seseorang itu melakukan bunuh diri memang sulit dicari penyebabnya. Namun paling tidak sebagian orang yang telah melakukan bunuh diri, seringkali meninggalkan catatan kecil atau semacam surat terakhir untuk orang yang ditinggalkannya yang memberikan kesan tentang suatu masalah yang dia hadapi sebagai penyebab mereka memutuskan pergi meninggal dunia fana ini. Catatan-catatan kecil itu, hampir semuanya menjelaskan bahwa mereka memutuskan untuk bunuh diri lebih disebabkan oleh faktor ekonomi, kisah asmara dan keluarga.

Fenomena ini sebenarnya pernah dicermati oleh seorang sosiolog bernama Durkheim dalam bukunya Suicide. Durkheim  menganalisa bahwa faktor solidaritas sangat terkait dengan kecendrungan seseorang melakukan bunuh diri. Analisa Durkheim secara implisit, menjelaskan bahwa solidaritas sosial terkait dengan faktor ekonomi dan keluarga. Sebab kekentalan nilai kohesif yang ada dalam setiap individu untuk berbagi rasa sangat mewarnai pilihan untuk melakukan bunuh diri. Durkheim membandingkan antara mereka yang kawin dengan yang tidak kawin, mereka yang memiliki anak dan yang tidak memiliki anak. Kesimpulannya bahwa keajegan hubungan sosial yang dibangun diantara mereka dapat mengurangi angka bunuh diri.

Sementara itu seorang antropolog Inggris James Frazer, mencoba memecahkan teka-teki bunuh diri ini dikaitkan dengan pemahaman religi. Teori Frazer tentang batas akal  mencoba menjelaskan fenomena ini. Bahwa seseorang dalam kapasitas tertentu akan mencoba memecahkan setiap persoalan hidupnya dengan akal sehat (rasionalitas) nya. Namun batas akal seseorang ini memiliki batas toleransi, di mana bila himpitan persoalan seseorang itu telah mencapai puncaknya dan akal mereka sudah tidak mampu lagi mencerna, maka seseorang cenderung akan memecahkan persoalan hidupnya secara irasional melalui perantaraan religi.

Penguasaan religi seseorang itu menurut Frazer sangat relatif, maka ini kiranya yang dianggap sebagai penguasaan eksternal oleh Ronny Nitibaskara tadi yang menjelaskan bahwa  seseorang itu jadi atau tidaknya melakukan bunuh diri. Pemahaman faktor eksternal yang kuat, dalam hal ini religi dapat menekan perilaku bunuh diri. Dengan demikian religi di sini memiliki fungsi sebagai peredam kegalauan dan kegundahan hati manusia. Maka menurut Frazer seseorang yang cukup kuat penguasaan religinya, mereka akan menyikapi segala persoalan hidupnya dengan sikap mental positif dan adanya rasa kepasrahan (tawakal). Namun mereka yang tidak mampu memecahkan masalah hidupnya dan penguasaan religinya juga rendah, cenderung untuk mengambil jalan pintas dengan jalan bunuh diri.

Terlepas dari berbagai argumen teoretis itu, tampaknya gejala bunuh diri di Indonesia menunjukkan grafik kenaikan. Kondisi ini bila dilihat secara ekonomi sekarang ini memang tidak kondusif untuk sebagian masyarakat. Tingginya angka pengangguran, kenaikan sejumlah harga kebutuhan pokok, kemiskinan, bencana alam, dan konflik horizontal, telah menyebabkan sebagian dari masyarakat kita mengalami kesulitan hidup. Bahkan angka depresi dan potensi stress bagi sebagian masyarakat ibukota justru kinipun menunjukkan ke arah peningkatan. Hal ini mungkin dianggap sebagai pendorong untuk seseorang  melakukan berbagai perilaku menyimpang. Maka konsekuensinya angka kriminalitas seperti pencurian, perampokan, dan pembunuhan menjadi semakin tinggi. Pilihan-pilihan perilaku kriminalitas yang dilakukan sebagian orang  ini bisa jadi disebabkan hanya untuk tetap survive dalam persaingan yang tidak seimbang. Karena untuk memasuki dunia formal dalam pemenuhan ekonomi keluarga bagi sebagian masyarakat krannya sudah tertutup. Tertutup oleh hambatan struktural dan kultural yang dibangun oleh masyarakat sendiri.

Di pihak lain, bagi mereka yang tidak mampu berusaha survival dan melakukan penyimpangan perilaku ditambah memiliki penguasaan eksternal yang rendah maka pilihan bunuh diri adalah yang paling mudah untuk mereka lakukan. Karena dengan bunuh diri dianggap persoalan hidup yang kurang menguntungkan bagi dirinya terselesaikan. Maka jadi wajar bila angka bunuh diri semakin meningkat di tengah alam ekonomi dan belenggu kemiskinan banyak memihak pada kaum yang mudah putus asa karena penguasaan eksternalnya lemah.

Ikuti tulisan menarik Achmad Hidir lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler