x

Iklan

Adiani Viviana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Sakura

Waria dengan ODHA, merupakan salah satu kelompok minoritas yang sangat rentan terhadap stigma dan perlakuan diskriminatif. Begitu juga di Sorong, Papua.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ia terlahir dengan rambut keriting, dan bermata bulat. Dalam tubuhnya mengalir darah Papua-Maluku. Kulitnya tidak hitam, tapi putih bersih. Orang tua biologisnya memberinya nama Sonny Laratmase.

Kehidupan Sonny lekat dengan keberagaman. Ia juga tumbuh di antara keluarga yang tidak hanya plural dalam suku dan agama, tapi juga kehidupan yang cukup kompleks, berliku, dan suram. Kini Sonny beribu tiri seorang perempuan Jawa. Hidup Sonny dinamis. Ia mudah beradabtasi dan menjalani perubahan dengan cepat.

“Buat saya tidak masalah, tinggal bersama dengan siapa saja. Laki-laki, perempuan, waria. Yaa, apalagi dari sesama Papua, dari luar wilayah juga tidak apa-apa. Saya sudah biasa”, katanya pada Juli 2016 ke saya melalui telepon, saat ia akan berpindah dari Sorong, Papua Barat ke Jakarta untuk tinggal selama empat bulan bersama orang-orang muda lainnya dari Tanah Papua.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada 2016, Sonny mendapat beasiswa pendidikan Hak Asasi Manusia dan riset pendokumentasian pelanggaran HAM dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Jakarta dan Peace Brigades International (PBI) selama tujuh bulan. Setelah pendidikan, ia melakukan riset di Sorong. Ia meneliti tentang pemenuhan hak atas akses obat bagi Orang Dengan HIV Aids atau ODHA, khususnya ODHA Waria di Sorong. Sebuah isu dan komunitas yang dekat dengan keseharaiannya. Kini risetnya sedang dalam penulisan laporan.

Berbeda dengan sebagian besar orang muda Papua lainnya, yang memilih berada di garis depan dalam perjuangan Papua merdeka atau isu sentral Papua lainnya, Sonny memilih bergerak untuk memerdekakan kelompok minoritas dalam minoritas itu: Waria dengan ODHA di Sorong. Suatu barisan pejuang dan perjuangan yang kesepian di Papua.

Tidak mudah menyuarakan hak-hak kelompok waria di Papua, Tanah yang menjadi wilayah berpusatnya agama Kristen dan agama-agama lokal masyarakat adat itu.

Kalau di Jakarta, musuh terberat mungkin FPI ya, Kak?”, kata Sonny pada saya suatu kali di 2016. “Kalau di kita nie ada beberapa kelompok agama khususnya Katolik yang juga keras”, lanjutnya.

Kelompok yang dimaksud Sonny adalah mereka dari Kristen konservatif. Papua merupakan wilayah dengan mayoritas umat Kristen. Jejak sejarah Kristen dan peradabannya di Tanah ini masih dapat dilihat di pulau-pulau kecil di Papua. Misalnya di pulau Mansinam, dari sanalah Misionaris pertama bermula, dan kini Mansinam menjadi pulau situs penyebaran Injil. Melihat sejarah perkembangan Kristen di Papua, juga bisa lihat dari pulau Roon. Di pulau yang dihuni oleh suku Kuruwamesa ini, dijumpai kuburan guru-guru Pengabar Injil dan pendeta-pendeta pribumi. Kompleks-kompleks gereja juga tersebar di pulau ini.

Kristen konservatif menolak waria. Waria menyalahi kodrat manusia, Alkitab dan ajaran serta doktrin agama. Ini tidak hanya berlaku di Kristen, tapi juga agama-agama lain. Yulianus Retlobaut atau Mami Yuli, seorang waria dari Asmat -kini ketua Forum Komunikasi Waria Indonesia- mengalami itu. Yulianus remaja seperti hidup dalam sangkar. Ia menjalani hari-hari remaja di asrama katolik. Pengelola sekolah dan asrama yang ia diami itu adalah para biarawati dan pastur dari Belanda. Mereka sangat konservatif. Yulianus yang pada usia 12 tahun sudah mengetahui orientasi seksualnya berbeda dengan kawan laki-laki seusianya yang lain, hanya bisa diam dalam kegelisahan diri.

Papua juga erat dengan maskulinitas. Baik dalam identitas maupun relasi gender. Sehingga eksistensi waria di Papua barangkali dipandang mencemarkan identitas Tanah mereka.

Orang tua Yulianus di Papua menghukum dia dengan menghentikan biaya kuliahnya di Jakarta, saat mereka tahu jati diri anaknya. Mereka sangat terpukul, marah, dan tidak mau menerima Yulianus lagi di Papua.

Pandangan Kristen konservatif itu tak ubahnya dengan pandangan kelompok Islam garis keras, Front Pembela Islam atau FPI misalnya. Bedanya, selain dengan ujaran-ujaran kebencian FPI juga lekat dengan budaya kekerasan dalam gerilyanya.

“Tapi saya sudah tahu juga bagaimana rasanya dikejar-kejar FPI. Saya pernah. Waktu ikut kontes Waria Berbudaya tahun 2012 di Banten, saya mewakili Sorong. Sedang melenggok di atas panggung...eeeh, lari semua dikejar FPI”, cerita Sonny dengan mimik serius diiringi tawa berderai.

Sonny remaja adalah Sonny, lakil-laki yang punya cerita cinta monyet, cinta pada pandangan pertama pada perempuan yang menarik hatinya, juga patah hati. Perjuangan hidupnya cukup keras.

        “Sebenarnya masa kecil saya suram....”, katanya.

Sonny kecil jarang jumpa atau berkumpul dengan Bapanya. Bapanya berbulan-bulan berlayar di lautan lepas Papua. Ia bekerja pada sebuah perusahaan di kapal udang. Mama Sonny berperan ganda bagi anak-anaknya, menjadi Ibu sekaligus Bapa. Sonny yang sangat dekat dengan mamanya merasa terpanggil untuk meringankan bebannya. Lantas Sonny remaja membantu mamanya mencari uang dengan bekerja menjadi Pekerja Rumah Tangga. Pada 2003, mamanya meninggal. Sonny sangat terpukul dan kehilangan orang terdekatnya itu. Bapaknya menikah lagi. Kini selain memiliki lima saudara kandung, Sonny juga punya satu saudara tiri.

Pada 2003, Sonny mulai kuliah di Universitas Al-Amin, sebuah Yayasan Perguruan Tinggi Muslim di Sorong. Ia memilih Fakultas Hukum. Tapi di semester tiga ia memutuskan untuk berhenti dan keluar kampus. Sonny sempat menerapkan ilmu hukumnya dengan bekerja sebagai staf legal pada bagian hukum dan pertanahan di PT. Pertamina Kota Sorong. Hanya sebentar.

Sonny mulai gelisah. Jiwanya mengembara. Ia kerap berselisih dengan keluarganya. Ketika itu ia mulai sering berkunjung ke Salon Rudy, sebuah salon kecantikan di kota Sorong. Di sana ia menemukan kebebasan. Keluarga Sonny pada mulanya menolak perubahan-perubahan jati diri Sonny. Apalagi saat ia tahu orientasi seksual dia lebih dominan pada laki-laki.

Menjadi minoritas, atau memilih dan atau memiliki identitas yang berbeda dari yang mayoritas harus siap dengan penolakan. Penolakan biasanya datang dari lingkungan terdekat, yaitu keluarga. Kadang, penolakan juga datang dari orang-orang yang jauh, yang tidak ada ikatan kekerabatan, yang telah lama hilang dan tidak berinteraksi, lalu tiba-tiba muncul untuk menolak dengan ceramah keagamannya yang panjang. Penuh nasehat dan anjuran “kembali ke jalan yang benar”, karena yang minoritas dianggap dan distigma sesat.

Sonny yang berhati lembut, peka terhadap situasi itu, juga pernah menuruti anjuran “kembali ke jalan yang benar”. Ia berpacaran serius dengan perempuan. Tak tanggung-tanggung, seorang pendeta yang usianya jauh lebih tua darinya. Namun, saat Sonny mengutarakan keinginan untuk menikahinya, Bapa Sonny dan keluarga justru menolak.

Keluar dari Pertamina, Sonny memulai usaha salon keliling. Apa yang ia lihat di salon Rudy menginspirasi dia. Modalnya  sekitar satu juta rupiah. Sudah termasuk untuk menyewa ojek setiap hari buat berkeliling dari rumah ke rumah menawarkan jasa kecantikan. Lalu seorang pelanggannya berbaik hati menawari ia kredit motor. Bermodal keberanian dan keyakinan, Sonny mengkredit motor itu dari hasil salonnya. Usaha salon keliling yang ia jalani juga tak lepas dari hambatan, salah satunya tidak efektif, ribet. Di tahun ketiga, salon kelilingnya berhenti, berganti ke salon permanen di rumah orang tua Sonny. Kali ini ia bermodal tujuh juta. Seiring berjalannya salon itu, ia merekrut dua orang staf. Dua-duanya waria. Sonny sendiri yang mentoring mereka di permulaan mereka bekerja. Dari usahanya itu, Sonny membiayai kuliah dan sekolah dua orang adiknya.

“Puji Tuhan, saya punya klien ada terus. Sesekali juga diundang pejabat untuk merias”, katanya.

Di salon pula, Sonny merasa bebas berekspresi, berkreasi sesuai kata hati dan jiwanya. Ia bebas mengubah-ubah rambutnya. Kadang lurus panjang. Kadang keriting pendek. Kadang berwarna ungu, kadang kemerahan. Pada suatu waktu dan tempat, Sonny berdandan rapi dan tampan. Namun pada waktu dan tempat yang lain ia juga bisa tampil feminin, bersolek, dan cantik. Sonny berfikir sederhana, ia ingin bebas fleksibel menyesuaikan sekelilingnya. Dengan begitu ia dan komunitasnya akan lebih mudah diterima.

“Yang penting saya tidak merugikan orang lain toh? Sebenarnya saya mau dandan seperti apa juga itu urusan saya. Tapi saya berusaha fleksibel. Saya menjaga nama baik komunitas saya, biar mereka nie tidak direndahkan orang. Mereka nie juga sama-sama manusia juga toh?!”, katanya pada suatu kali di akhir 2016.

Sejak mendirikan salon itu, Sonny bergabung dengan Tiara Kusuma, sebuah organisasi lokal jejaring pengusaha salon di Kota Sorong. Ia menjadi anggota di bagian seni budaya Tiara Kusuma.

Pada 2010, Sonny dan seorang kawannya, Shinta, diundang ke Bogor Jawa Barat. Mereka mengikuti acara FKWI mewakili Papua Barat. Sepulang dari pertemuan Forum Komunikasi Waria Indonesia itu, Sonny dan Shinta mendirikan FKW Sorong, sebagai mandat dari hasil pertemuan di Bogor. Sonny mulai gencar menggerakan komunitasnya. Ia memulai perubahan dari dirinya sendiri, dari keluarganya sendiri. Sonny menjadikan keluarga sebagai tempat mulainya kaki melangkah. Keluarga baginya segalanya. Ia berbuat dari keluarga kembali untuk keluarga. Dengan sabar, dengan caranya sendiri, ia memberikan pemahaman tentang waria dengan ODHA. Ia menjelaskan secara detail tentang seluk beluk Aids kepada anggota keluarganya. Sonny menunjukkan semangat hidup yang tinggi, pola hidup yang baik dan sehat, serta tangan yang ringan dan selalu terbuka.

Perlahan Sonny menularkan caranya itu kepada kawan-kawannya di komunitas. Kini, komunitas yang digerakkan Sonny berjumlah sekitar 100 orang lebih waria. Namun yang aktif hanya sekitar 56 orang. Yang tidak aktif adalah mereka yang masih “bersembunyi”, yaitu mereka yang masih distigma, ditolak, dan dipaksa mengingkari jati diri. 100 orang itu rata-rata berusia di bawah 35 tahunan. Kebanyakan dari mereka adalah Amber. Istilah atau sebutan bagi pendatang di Papua. Sebagian lainnya berdarah campuran, dan OAP (Orang Asli Papua). Jika di antara mereka beragama non Kristen, maka sempurnalah ia sebagai minoritas: Waria dengan ODHA, amber, dan non Kristen.

Pada 2014 dan 2016 FKW Sorong intens menyelenggarakan event seni dan budaya bagi waria. Seperti lomba Miss waria, puteri pantai waria, dan tarian sexy dancer. Namun mereka belum mendapat ruang untuk ekspresi seni budaya Papua.

Sonny sangat iri dengan keberadaan waria di Thailand. Di Thailand, waria dihargai masyarakat dan diakui negara. Mereka memiliki hak-hak asasi yang sama dengan warga negara berjenis kelamin lainnya. Mereka bebas berekspresi dan mendapat ruang penuh dalam berkesenian dan budaya, juga pekerjaan. Di Thailand terdapat sejarah adat, budaya, dan ajaran keyakinan yang mengakui waria sebagai gender. Selain perempuan dan pria, masyarakat Thailand mempercayai adanya gender waria, atau di sana disebut dengan sebutan “Kathoey”. Selain itu juga terdapat hermaprodith dan kasim.  Sementara pada masyarakat dan negara Indonesia, waria dianggap sebagai sebuah penyakit kelainan atau gangguan jiwa. Sebagai manusia mereka sub-ordinat. Apalagi waria dengan ODHA.

Orang dengan HIV Aids, bukan orang jahat berbahaya yang harus dihindari. Sayangnya, kekerasan terhadap mereka hingga kini masih terjadi. Stigma buruk pada mereka masih saja ada; bahwa mereka orang yang hidup penuh dosa, bahwa berinteraksi dengan ODHA akan tertular, bahwa aids adalah kutukan, dan seterusnya. Stigma itu mendatangkan perlakuan diskriminasi terhadap mereka dalam banyak bidang. Di Sorong, Sonny menjumpai diskriminasi itu dimulai dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga, masyarakat, hingga ruang-ruang dan pelayanan publik seperti rumah sakit.

Waria dengan ODHA khususnya, masih sangat didiskriminasi dalam mendapatkan akses kesehatan, juga perolehan obat”, katanya.

Sonny menjumpai temuan sementara dalam risetnya, bahwa terdapat ketakutan-ketakutan luar biasa dari para waria dengan ODHA yang menjadi respondennya, terhadap stigma. Para responden itu juga melakukan berbagai upaya ekstrim untuk melindungi diri mereka dari stigma. Stigma menjadi sangat menakutkan bagi mereka ketika status ODHA mereka disiarkan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan dan petugas kesehatan. Misalnya seorang pemimpin gereja yang mengumumkan status ODHA seorang waria di depaan jemaat. Atau petugas kesehatan yang mengungkapkan status mereka ke masyarakat luas. Tapi dua hal itu nyatanya terjadi di sana. Stigma akan merembet pada perlakuan diskriminasi, termasuk diskriminasi dalam akses pelayanan obat.

Pada Maret 2017, Sonny terpilih menjadi staf paralegal di Koalisi Penanggulangan Aids Daerah (KPAD) Sorong. Pendidikan HAM yang ia ikuti di ELSAM telah meyakinkan KPA untuk memilihnya. Tanggungjawab utama paralegal KPA adalah mendampingi dan memberikan pelayanan pada komunitas yang terdiskriminasi dalam mengakses layanan kesehatan.

Dari data KPA Sorong yang disampaikan Sonny, pada 2016 di Kota Sorong terdapat sekitar 1841 ODHA. Dan baru sekitar 441 ODHA yang mendapatkan layanan kesehatan rutin. Sisanya? Sulit akses, sebagian lainnya masih menutup diri lagi-lagi karena stigma.

ADRA Indonesia di Sorong, sebuah organisasi nirlaba nasional yang melakukan riset indeks stigma dan diskriminasi pada 2016 hingga sekarang, menemukan temuan sementaranya bahwa stigma dan diskriminasi di Sorong banyak ditemukan dan dimulai dari internal, yaitu internal diri sendiri dan keluarga.

Hal itu dialami sendiri oleh Sonny. Sejak di bangku Sekolah Dasar Sonny sudah merasa jiwanya lebih dominan perempuan. Sejak SD itu pula ia mulai menerima kekerasan verbal dan fisik serta stigma.

“Perkataan kasar, dimaki, dilecehkan, saya pernah alami itu semua sejak SD. Lama-lama jadi terbiasa dengan perlakuan itu”, katanya

Salah satu kakak laki-laki Sonny sangat kesal, dan bereaksi keras terhadap perilaku Sonny. Di saat Sonny SMP, bahkan kakaknya sampai hati sering kasih pukul Sonny ketika mendapati dia bergaul dengan para waria.

Melalui wadah-wadah dan jejaring yang dimiliki Sonny, Sonny ingin mengikis stigma dan diskriminasi pada waria dengan ODHA khususnya di Sorong. Ia berharap perubahan itu dapat dimulai dari diri mereka sendiri, para waria dengan ODHA.

“Mereka harus semangat. Mengubah diri, terpanggil untuk bergerak. Kalau untuk diri sendiri saja susah, ya bagaimana mereka mau berbuat untuk orang lain, untuk komunitas”, kata Sonny.

Menunggu perhatian dan kehadiran negara, rasanya seperti pungguk merindukan bulan. Hak-hak minoritas waria belum terjamin secara spesifik dalam perangkat hukum nasional yang menempatkan mereka kedalam kelompok rentan. Justru sejumlah peraturan nasional dan regional di Indonesia berpotensi menjadi alat pelanggaran terhadap mereka. Undang-undang Administrasi Kependudukan, UU Pornografi, UU Perkawinan adalah contoh regulasi diskriminatif terhadap waria. Kelahiran Prinsip-prinsip Yogyakarta atau The Yogyakarta Principles pada 2006 menjadi secercah harapan bagi kelompok ini. Klausul yang terdiri dari 15 prinsip HAM kelompok LGBT itu menempatkan International Covenant on Civil and Political Rights sebagai landasannya. Dan prinsip ini menjadi acuan bangsa-bangsa juga pelapor khusus PBB dalam membuat laporan situasi Hak Asasi LGBT. 

Sebagai pemeluk Protestan yang rajin ke gereja dan berkomunikasi dengan Tuhannya, Sonny berprinsip bagaimana ia bisa bermanfaat buat sebanyak-banyaknya orang. Pahit manisnya pengalaman hidup yang ia alami menjadikan dia sangat mencintai dan menghargai hidup dan kehidupan. Baginya, ia masih diberi hidup, berarti masih diberi kesempatan menjalankan misi kehidupan. Seperti bunga Sakura yang hanya tumbuh di Jepang dan berbunga di bulan April, meskipun di tempat dan waktu yang terbatas, tapi sekali ada ia berguna dan dirasakan keberadaannya oleh orang-orang di sekeliling, serta menginspirasi bagi yang jauh. Begitu juga Sonny, yang telah memilih nama warianya: SAKURA. Dan telah mengilhami nama salon kecantikan miliknya di Sorong: ZACKURA SALON.

 

Foto: Doc.Diany

Ikuti tulisan menarik Adiani Viviana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

1 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB