Ekonomi Liberal Vs Komunal

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kisah dalam video-video Watcdoc mempertegas keyakinan bahwa saat ini terjadi pertempuran antara ekonomi liberal vs. komunal

Watcdoc, sebuah institusi jurnalistik progresif, merilis puluhan video tentang perjalanan dua wartawannya yang mengelilingi Indonesia selama 365 hari untuk menangkap realitas sosial, ekonomi, pendidikan, dan budaya. Video-video yang dilepas secara bergelombang itu dibuat tanpa sponsor sehingga terbebas dari tendensi politik praktis, mengungkap isu-isu krusial yang dianggap ‘tidak menarik’ bagi media mainstream,dan menggunakan metode fenomenologi di mana realitas bercerita tentang dirinya. Kisah-kisah didalam video-video tersebut mempertegas keyakinan bahwa saat ini tengah terjadi pertempuran sengit antara ekonomi liberal vs. komunal.

Ekonomi liberal ditandai oleh dimensi ekonomi yang menguasai seluruh aspek kehidupan, transaksi masif uang-barang/jasa, kepemilikan pribadi, adanya motivasi mencari dan mengakumulasi keuntungan. Sedangkan ekonomi komunal ditandai oleh asumsi bahwa ekonomi hanya satu dari sekian banyak dimensi kehidupan (sosial, hukum, agama, dan budaya), praktek pertukaran barang (barter), kepemilikan komunal, pendistribusian manfaat kekayaan alam dan manfaat timbal-balik antara sesama anggota masyarakat.

Ekonomi liberal pasti mengkomodifikasi dan mengeksploitasi lahan dan tenaga kerja. Namun ekonomi komunal menolaknya karena lahan dan tenaga kerja sebenarnya adalah tanah dan manusia yang diciptakantuhan bukan semata karena alasan ekonomi. Di atas tanah, manusia membangun relasi sosial, melaksanakan norma, mendistribusikan kekuasaan, sampai dengan menyembah tuhan itu sendiri.

Permasalahannya, film-film Watchdoc mengungkap bahwa dua sistem ekonomi yang bertolak belakang ini tengah bertikai. Kaum kapitalis memaksa masyarakat berekonomi komunal bertransformasi menjadi liberal yang diawali dengan mempengaruhi dan mengontrol kebijakan pemerintah agar mengkomodifikasi tanah. Ketika tanah berhasil dikomodifikasi, maka manusia-manusia di atasnya akan kehilangan sumber kehidupan. Manusia-manusia yang terancam kelaparan adalah berita baik bagi ekonomi liberal, karena mereka akan menjadi tenaga kerja murah, cukup dibayar untuk tetap hidup, sehat, dan kuat bekerja. Pemaksaan transformasi ekonomi inilah yang sedang dialami oleh masyarakat Kendeng, Teluk Benoa, Mahuze di Merauke, dan pedalaman kalimantan.

Adalah realitas pelaksanaan pemilu yang dapat menjadi penjelas mengapa kebijakan pemerintah berubah buas dihadapan rakyat yang seharusnya dilindungi. Persoalan ini bukan hal baru. Sejarah Inggris Raya pada masa 1832-1834berkisah, ketika itu industri-industri kekurangan buruh karena manusia-manusia miskin menolak untuk dieksploitasi lantaran kebutuhan makanan telah dijamin oleh pemimpin tradisional (raja dan kepastoran) melalui UU Speenhamland. Artinya, dominasi kepemimpinan tradisional harus diputus dan regulasi yang tidak menguntungkan harus diganti. Tahun 1832 diadakan pemilu pertama yang manusia-manusia miskin tidak punya hak untuk menjadi kandidat maupun memberi suara. Hasilnya jelas sudah, kaumkapitalis menduduki pemerintahan yang berselang 2 tahunkemudian UU Speenhamland dihapus, dan manusia-manusia miskin yang sehat dan kuat wajib menjadi buruh demi makanan(Polanyi, 2001).

Realitas pemilu di Indonesia juga demikian. Kadar hak politik manusia ditakar melalui seberapa banyak uang yang dipunya. Di sini, hanya kaum kapitalis yang bisa berpartisipasi aktif, sedangkan yang berekonomi komunaldan tidak memiliki atau mengenal uang, tidak akan mampu mereprestasikan harapan dan kecemasannya. Pemilu selalu dapat dipastikan berakhir dengan kemenangan mutlak kaum kapitalis dan keleluasaaan mereka mengendalikan pemerintahan(Baran dan Sweezy, 1966). Sehingga tidak heran jika kebijakan-kebijakan pemerintah hanya ada untuk melayani kepentingan ekspansi ekonomi liberal. Jadi memang bukan tempatnya bagi masyarakat Kendeng, Teluk Benoa, Mahuze, Kalimantan, dan lainnya itu ikut menentukan jadi tidaknya pembangunanindustri di tanah mereka, karena mereka sesungguhnya telah tersingkir sejak pemilu dimulai.

Akan tetapi, masyarakat berekonomi komunal akan selalu bangkit melawan ketidakadilan ini. Mereka menuntut pengakuan pemerintah terhadap eksistensi ekonomi komunal dengan cara membuktikan superioritas manfaat yang didapat. Karena pemerintah hanya paham bahasa ‘uang’, maka seluruh manfaat kemudian di-uangkan. Namun persoalannya, tanah dan manusia tidak melulu terkait dimensi ekonomi, tetapi juga sosial, budaya, politik, bahkan agama di mana manfaat dari dimensi-dimensi ini tidak akan pernah dapatuntuk diukur dengan uang. Akibatnya, gambaran kesejahteraan miliksistem ekonomi komunal menjadi kerdil di mata pemerintah, terlebih jika dibanding dolar-dolar kaum kapitalis, sehingga alasan untuk memaksa transformasi ekonomi liberal menjadi bertambah. Inilah Indonesia, sebuah negeri yang melalui film-film Watcdoc dilukiskan sebagai tempatdi mana pertempuran yang tidak adil antara dua sistem ekonomi tengah terjadi.

Yuli Isnadi

Dosen Muda JMKP UGM

Mahasiswa PhD di Institute of Political Economy NCKU

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Yuli Isnadi

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

img-content

Ekonomi Liberal Vs Komunal

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Baca Juga











Artikel Terpopuler