x

Iklan

Hersubeno Arief

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Rezim Jokowi Lebih Buruk dari Rezim SBY?

Apa saja kira-kira indikator yang fair, adil untuk membandingkan Rezim Jokowi dan Rezim SBY?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh : Hersubeno Arief

Konsultan Media dan Politik

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Benarkah Rezim Jokowi lebih buruk dari Rezim SBY?  Pertanyaan menggelitik ini  terinspirasi dari  Ahoker bernama Veronica Koman Liau.   Ketika berorasi di depan LP Cipinang (9/5) saking kesalnya karena Ahok divonis dua tahun, Veronica menyebut Rezim Jokowi lebih buruk dibanding Rezim SBY.

Agar kita tidak bernasib sama seperti Veronica yang data e-KTPnya disebar ke publik oleh Mendagri, sebaiknya bicara data saja. Biar data yang bicara dan publik menilai sendiri.

Ngeri lho bila sampai data kita yang seharusnya menjadi dokumen rahasia negara disebar ke publik. Nyawa kita bisa terancam, atau setidaknya kenyamanan hidup kita menjadi terganggu.

Masih ingat ketika seorang anak muda arogan bernama Steven yang menghina Gubernur NTB Tuan Guru Bajang dengan kata-kata “Dasar Indon!, Pribumi! Tiko!”.

Entah bagaimana ceritanya, KTP Steven juga tersebar ke publik. Yang jelas sumbernya bukan dari Mendagri.  Akibatnya rumah keluarga Steven di kawasan Jakarta Barat didatangi warga NTB di Jakarta. Rumah itu sudah kosong. Steven dan keluarganya sudah kabur.

Bayangkan apa yang dirasakan oleh Veronica dan keluarganya ketika data e-KTPnya menyebar. Sebagai Presiden, kalau mau Jokowi bisa menggerakkan alat keamanan negara. Jokowi dipastikan punya banyak pengikut. Jauh lebih besar dari pengikut Tuan Guru Bajang.

Sekedar mengingatkan saja, pada saat Pilpres 2014 Jokowi dipilih oleh 53.15 persen. Artinya lebih separuh dari warga Indonesia  yang punya hak pilih adalah Jokower, Jokowi Lover. Jadinya ngeri-ngeri sedaplah kawan tu.

 

Apa saja kira-kira indikator yang fair, adil  untuk membandingkan Rezim Jokowi dan Rezim SBY?  

Mari kita sepakati dulu. Acuannya pada prinsip-prinsip demokrasi, antara lain kebebasan berpendapat, beragama, kebebasan media dan politik.  Nanti bila kurang Anda bisa menambahkan sendiri menjadi sebuah daftar panjang. Tujuannya agar adil dan tidak asal tuduh.

Pertama, masa berkuasa. Kedua, kebebasan berpendapat. Ketiga, kebebasan media massa. Keempat, kehidupan partai politik. Kelima, penanganan korupsi. Keenam, hubungan dengan umat Islam. Apa lagi? Sementara cukup ya?

Masa berkuasa

SBY berkuasa selama dua periode (2004-2009, 2009-2014). Jokowi  baru menjabat selama tiga tahun (2014-2017). Sampai disini perbandingannya sebenarnya tidak aple to aple.

 SBY terpilih pada masa transisi dari pemilihan dari demokrasi perwakilan (MPR/DPR)  ke demokrasi langsung.  Sementara Jokowi adalah presiden kedua yang dipilih secara langsung.

Keduanya bisa kita kelompokkan sebagai democracy immigrant karena hidup dalam transisi dari pemerintahan totaliter (Orde Baru) ke pemerintahan yang lebih demokratis (Orde Reformasi 1998).

 Mereka berbeda dengan generasi  democracy native alias generasi pribumi demokrasi  yang lahir setelah akhir 80an atau awal tahun 1990an.

Perbedaan ini penting dijelaskan untuk memberi gambaran bahwa pengalaman hidup di zaman yang berbeda, juga sangat berpengaruh dalam sikap maupun perilaku politiknya.

 Veronica berdasarkan e-KTP yang tersebar lahir tahun 1988, 10 tahun setelah Reformasi 1998. Dia masuk kelompok generasi democracy native. Jadi wajar kalau ekspresi menyatakan pendapatnya, jauh lebih bebas. Tidak ada rasa takut.

Pada generasi  democracy native, tidak ada memori kolektif batasan yang ketat untuk  berekpresi  dan menyatakan pendapat seperti halnya pada generasi democracy immigrant yang pernah hidup pada masa Orde Baru. Memaki rezim penguasa, (seharusnya) tidak  lagi tabu.

Bila hanya menggunakan  masa jabatan rasanya tidak cukup fair menilai Rezim Jokowi lebih buruk dibandingkan Rezim SBY. Oh iya, dengan menyatakan lebih buruk sesungguhnya Veronica juga menilai rezim SBY juga buruk. Ini kata superlatif, bad, worse.

Kebebasan berpendapat

Pada masa pemerintahan SBY unjukrasa juga sangat sering terjadi. Skalanya juga lumayan besar, namun tidak sebesar Aksi Bela Islam (ABI).

 Namun pada masa SBY perilaku pengunjuk rasa lumayan lebih kasar karena sudah mengarah pada penghinaan fisik ataupun pribadi SBY.

Masih ingat ketika sekelompok mahasiswa berunjukrasa membawa kerbau dan diberi nama Si Bua Ya. Tidak perlu susah mengartikan, itu adalah penghinaan fisik SBY. Si Bua Ya kalau disingkat bisa menjadi SBY.

Kerbau adalah binatang yang bertubuh besar dan sering diasosiasikan sebagai binatang yang bodoh dan malas. Hmmm sangat kasar khan?

Apa yang dilakukan oleh SBY? Tidak ada tindakan hukum kepada para pengunjukrasa. Tidak ada penyebaran e-KTP oleh Mendagri, kebetulan memang program e-KTP saat itu belum ada.

Para pengunjukrasa di masa SBY juga tidak ada yang terkena tuduhan makar. Aman-aman saja. Bebas-bebas saja. Paling-paling reaksi SBY adalah curhat, atau melapor ke polisi ketika  difitnah oleh Zainal Ma’arif pernah menikah sebelum  dengan Bu Ani.  

Dalam demokrasi,  seorang Presiden curhat boleh-boleh saja. Lapor polisi sangat bagus, karena itu berarti mengedepankan  penegakkan hukum. Yang tidak boleh menyalahgunakan kekuasaan dengan  mengkriminalkan apalagi menuduh makar para pengunjukrasa.

Kebebasan media

Pada masa SBY media massa sangat bebas mengkritik SBY. Dua buah stasiun TV berita seperti Metro TV dan TV One asyik-asyik saja melakukan kritik kepada pemerintah. Yang dilakukan SBY hanya mengeluh, karena merasa tidak punya media massa.

Beberapa pembantu dekat SBY  diketahui menelefon pemilik dan pimpinan media, tapi kebanyakan diabaikan. Pemerintah sebenarnya bisa memanfaatkan RRI dan TVRI. Tapi ya kalah jauh jangkauan pemirsanya (share audience).

Pada masa Jokowi praktik telefon kepada pemilik dan pimpinan media (yang dimasa Orde Baru dikenal sebagai lembaga telefon) juga masih terjadi dan lebih gencar. Silakan bertanya pada pimpinan media dan pemilik media. Yang paling mencolok adalah tidak tayangnya acara paling populer Indonesia Lawyer Club (ILC) di TV One selama beberapa bulan.

Kehidupan partai  politik

Pada masa SBY kehidupan partai politik relatif tenang, tidak banyak konflik. Walaupun diusung oleh Demokrat yang pada saat itu jumlah kursinya diparlemen masih kecil, namun SBY pada periode pertama pemerintahannya berhasil melewati pemerintahannya secara stabil.

Pada periode kedua posisi SBY jauh lebih kuat karena Demokrat menjadi pemenang Pemilu 2009. Dia juga masih didukung sejumlah partai seperti PKS, PKB, PAN dan  PPP. Jadi pemerintahannya stabil, tidak ada oposisi yang terlalu berarti dari parlemen.

Nah Jokowi memang agak lain. Kendati diusung oleh PDIP sebagai partai pemenang pemilu, namun parlemen dikuasai oleh oposisi.

 Masih ingat khan adanya blok Koalisi  Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat  (KIH). Di KMP bergabung Golkar, Gerindra, PKS, PPP, PAN, plus Demokrat. Sementara di KIH PDIP bergabung bersama PKB, Nasdem dan Hanura.

Sebagai partai pemenang pemilu PDIP sama sekali tidak mendapat jatah pimpinan di DPR. Demikian pula partai-partai pendukungnya seperti PKB yang seharusnya dari perolehan suara juga berhak mendapat kursi.

 Gara-gara inilah kemudian sejumlah partai di KMP  mengalami gonjang-ganjing.

Pemerintah  melancarkan jurus infiltrasi dan kemudian berhasil memecah belah  Golkar dan PPP. Hasilnya cukup efektif. Golkar dan PPP berhasil diakuisisi, kemudian menyusul PAN yang menyerahkan diri.

 Tinggal lah Gerindra dan PKS merana ditinggalkan kawan-kawan seperjuangan.

Penanganan korupsi

Pada masa SBY penanganan korupsi terutama yang ditangani KPK sangat bertaji dan melibas orang-orang terdekat bahkan sangat dekat dengannya. Sebutlah besan SBY Aulia Pohan, Ketua Demokrat Anas Urbaningrum, Bendahara Demokrat Nazaruddin dan Menpora Andi Mallarangeng.

Pada masa Jokowi  dalam kasus Ahok KPK masuk angin. Audit BPK yang membuktikan adanya korupsi dalam kasus RS Sumber Waras menjadi tidak berguna. Kasus Wakapolri Budi Gunawan yang dikenal dekat dengan Megawati, mentah di pra peradilan.

Namun ada persamaan pada nasib pimpinan KPK. Pada masa SBY Ketua KPK Antasari Azhar  menjadi terpidana kasus  pembunuhan. Antasari pada masa Jokowi mendapat grasi dari Jokowi dan kemudian menyerang SBY sebagai otak di belakang kriminalisasi dirinya.

Pada masa Jokowi dua pimpinan KPK, Abraham Samad (ketua) Bambang Widjojanto (wakil ketua)  menjadi tersangka di kepolisian. Hanya saja kasusnya dihentikan karena tekanan publik.

Hubungan dengan umat Islam

Selama dua periode pemerintahannya SBY berhasil menjaga hubungan yang sangat baik dengan umat Islam.

 Tidak pernah ada ganjalan yang terlalu berarti. Sebaliknya pada masa Jokowi suasananya sungguh berbeda 180 derajat.

Ketika jutaan umat Islam berunjukrasa dalam Aksi 411 atau dikenal dengan ABI II, Jokowi menolak bertemu para ulama dan memilih meninjau proyek di Bandara Cengkareng yang sebenarnya tidak masuk dalam jadwal acaranya.

 Para ulama juga banyak yang dikriminalisasi  dan beberapa diantaranya dituduh makar. Ketua Dewan Pembina Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI Habib Riziek dijerat berbagai kasus. Mulai penistaan sampai kasus pribadi.

Silakan membandingkan sendiri dan menambah daftar bila masih ada.

 Namun hati-hati ketika mengambil kesimpulan. Jangan sampai salah, apalagi menggunakannya dalam orasi. Salah-salah Anda bisa bernasib sama dengan Veronica Koman. Serem lho kalau data E-KTP kita sampai disebar.

Ikuti tulisan menarik Hersubeno Arief lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

1 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB