Etika Kebangsaan Dokter (fx. wikan indrarto)
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBdokter spesialis anak di RS Panti Rapih Yogyakarta, Ketua IDI Cabang Kota Yogyakarta, Alumnus S3 UGM, WA : 081227280161
Mulai tahun 2008, PB IDI (Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia) secara rutin menyelenggarakan Hari Bakti Dokter Indonesia (HBDI) setiap tanggal 20 Mei. HBDI ditetapkan bersamaan dengan Hari Kebangkitan Nasional, agar para dokter jaman sekarang meneladan para dokter seniornya dalam berbakti untuk negeri secara beretika. Apa yang harus dilakukan oleh para dokter ?
Dokter seharusnya tidak hanya melakukan pengobatan (agent of treatment), tetapi juga menjadi agen perubahan (agent of change) dan agen pembangunan (agent of development). Kebangkitan nasional tidak terlepas dari peran besar dokter sebagai agen perubahan dan pembangunan, yaitu dr. Wahidin Soedirohoesodo, dr. Soetomo dan teman-teman dokter dalam pembentukan Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908. Peran perubahan dan pembangunan waktu itu dilakukan untuk menyikapi bagaimana terbelakang dan tertindasnya rakyat Hindia Belanda, akibat kekejaman sistem penjajahan Belanda.
Peran perubahan dan pembangunan oleh dokter jaman sekarang, seharusnya dilakukan untuk menyikapi bagaimana kondisi terkini kehidupan dan kemanusiaan kita sebagai sebuah bangsa. Kita semua tahu, bahwa saat ini Indonesia sedang mengalami masalah besar, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ancaman terbesar adalah potensi konflik terkait Pilakada 2017 yang diprediksi akan memuncak pada Pilpres 2019, karena menyebabkan polarisasi hebat, ancaman kemanusiaan dan kita hampir terbelah. Keberagaman, kemajemukan dan kebhinekaan kita sebagai sebuah bangsa besar justru terlihat berpotensi sebagai awal perpecahan. Pada hal, dalam semangat dan semboyan Bhineka Tunggal Ika, sebenarnya kita justru berpotensi menjadi negara maju dan kuat, seperti sudah semakin jelas terlihat dalam Program Nawacita dan Hasil Kerja Presiden Joko Widodo. Para dokter Indonesia tentu saja tidak boleh tinggal diam, tidak peduli dan sekedar menjadi penonton kebangsaan. Sebaliknya, para dokter tentu wajib terlibat, berperan serta menjaga NKRI dan mendukung kebhinekaan kita sebagai sebuah bangsa, sebagaimana telah diteladankan oleh Dr. Wahidin Soedirohoesodo.
Sesuai dengan SK B IDI No. 221 /Pb/A.4/04/2002 Tentang Penerapan Kode Etik Kedokteran Indonesia, maka segenap dokter memiliki kewajiban umum, termasuk dalam melakukan peran perubahan dan pembangunan bangsa. Pada Pasal 1 disebutkan bahwa setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter. Terdapat 10 buah sumpah yang telah diucapkan oleh semua dokter Indonesia, yaitu sumpah no 1 bahwa semua dokter akan membaktikan hidupnya guna kepentingan perikemanusiaan. Segenap dokter seharusnya menyadari bahwa ancaman disintegrasi dan polarisasi bangsa saat ini, adalah juga ancaman perikemanusiaan. Oleh sebab itu, para dokter wajib membaktikan hidupnya untuk meredam ancaman perpecahan di antara sesama anak bangsa, demi tetap utuhnya NKRI. Para dokter seharusnya memanfaatkan luasnya pergaulan, mahirnya iptek dan besarnya pengaruh atau kewibawaan profesi. Selain itu, juga menggalang kebersamaan dengan segenap pihak yang memiliki keprihatinan serupa, agar potensi perpecahan dapat diredam dan kepentingan kemanusiaan menjadi prioritas perjuangan kita bersama.
Selain itu, sumpah dokter no 8 yang telah diucapkan oleh semua dokter, yaitu akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh dan tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan, gender, politik, dan kedudukan sosial dalam menunaikan kewajiban dokter. Oleh sebab itu, dokter wajib berikhtiar dengan sungguh-sungguh menekan ancaman kemanusiaan dan kehidupan bangsa, karena perbedaan agama dan pilihan politik saat ini sudah semakin meruncing. Dokter yang tidak peduli dan diam saja atas potensi ancaman kemanusiaan, tentu saja tidak sesuai dengan sumpah yang telah diucapkannya dan secara etika tidaklah merupakan sikap yang tepat. Dokter wajib ikut menghentikan gesekan antar kelompok di masyarakat, karena energi kita akan habis untuk hal-hal yang tidak produktif. Pada hal, kita semua adalah saudara sebangsa dan setanah air, yang harus bekerja bersama-sama mengejar ketertinggalan pembangunan.
Sumpah dokter no 10, bahwa semua dokter akan memperlakukan teman sejawat seperti saudara sekandung. Dalam kehidupan modern seperti ini, sumpah terkait memperlakukan teman sejawat dokter, banyak yang memudar. Polarisasi dokter karena perbedaan agama dan pilihan politik, juga terjadi dan saat ini rasanya sudah semakin turut meruncing. Bahkan kampanye atau postingan terkait intoleransi, radikalisme dan ‘hoax’ telah merusak hubungan baik antar dokter dan menyebabkan ‘left group’ atau pembentukan group sosial media yang baru. Oleh sebab itu, segenap dokter seharusnya memulai dengan ikut serta secara aktif, dalam meredam perpecahan paham dan munculnya pendapat yang sangat keras atau radikal di sekitar kehidupan para dokter, baik di lingkup keluarga maupun komunitas pekerjaan. Doktrin dan prinsip moral non diskriminatif yang sudah menyatu dan mendarah daging sejak dahulu, harus terus dijaga sebagai kewajiban etik dan profesional para dokter, karena selama ini suasana harmoni dan saling menghormati perbedaan di dunia kedokteran, sebenarnya sudah terjaga dengan cukup baik.
Momentum 20 Mei 2017 seharusnya memunculkan para dokter dengan peran lain, yaitu peran perubahan, pembangunan, kebangsaan dan kemanusiaan secara beretika, sebagaimana telah dilakukan oleh dr. Wahidin dalam pembentukan Boedi Oetomo dahulu. Apakah dokter sanggup berbakti untuk negeri, demi utuhnya NKRI?
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Hadapi Difteri, Apa yang Harus Dicermati?
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBPentingnya Sistem Pelayanan Kesehatan dalam Siaga Bencana
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler