x

Iklan

Jalal

Keberlanjutan; Ekonomi Hijau; CSR; Bisnis Sosial; Pengembangan Masyarakat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pilih Industri atau Lingkungan?

Kementerian Perindustrian dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 'bertengkar' soal restorasi gambut. Bagaimana memandang persoalan ini?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

We won't have a society

if we destroy the environment.”

Margaret Mead

Kita harus memilih antara perlindungan terhadap industri atau perbaikan lingkungan. Demikian pesan yang bisa dibaca siapapun dari tulisan-tulisan yang disajikan majalah Tempo yang terbit 22/5 2017. Pesan itu, walaupun tampaknya benar, sesungguhnya merupakan model mental yang khas. Dan membahayakan.

Dalam laporan Tempo tersebut, Menteri Perindustrian bersama-sama dengan Gubernur Kalimantan Barat menyampaikan kekhawatiran atas dampak dari pelaksanaan restorasi gambut. Alasan yang disampaikan adalah produksi kayu dan sawit akan terganggu, lalu pendapatan pemerintah dan masyarakat yang jumlahnya ratusan triliun akan menurun. Lebih lanjut, dalam surat Menteri Perindustrian, “...kredit macet akan menghantui dunia perbankan, grade investasi Indonesia juga akan terganggu, dan jumlah pengangguran akan meningkat.” Klaim yang mereka sampaikan mencakup gangguan terhadap 780 ribu hektare hutan tanaman industri dan 1,02 juta hektare perkebunan kelapa sawit.

Di sisi yang lain, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan berada pada posisi yang berseberangan. Restorasi gambut adalah amanat dari Presiden Jokowi yang tak bisa ditawar. Regulasi yang diprotes oleh Menteri Perindustrian dan Gubernur Kalbar itu juga dinyatakan sudah dibuat dengan konsultasi dengan para pemangku kepentingan, termasuk secara detail dengan perusahaan-perusahaan kehutanan dan perkebunan yang bakal terkena dampaknya. Hanya saja, seperti yang dinyatakan dalam Laporan Khusus Tempo itu, Kementerian Perindustrian kerap absen dalam pembahasan walaupun diundang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Yang mengherankan banyak pihak adalah Kementerian Perindustrian yang sikapnya membela industri tanpa mau mengingat latar belakang kebijakan pemerintah itu: kebakaran hutan dan lahan tahun 2015. Kala itu, Indonesia kehilangan Rp221 triliun dan menjadi salah satu negara pengemisi karbon tertinggi di dunia. Kebakaran hutan dan lahan sendiri berlangsung setiap tahun, namun lantaran kejadian itu, Presiden Jokowi langsung mengambil tindakan-tindakan yang lebih kuat, di antara dengan mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 57/2016 dan membentuk Badan Restorasi Gambut.

Mengapa gambut? Banyak alasannya. Namun yang paling jelas, pada kebakaran hutan dan lahan 2015 tersebut, lebih dari 75% hotspots memang ditemukan di lahan gambut. Dengan sifatnya dasarnya yang merupakan hasil penumpukan sisa tumbuhan mati yang setengah membusuk, gambut jauh lebih mudah terbakar dibandingkan tanah mineral. Begitu hutan di lahan gambut dibuka (kebanyakan untuk perkebunan sawit dan hutan tanaman industri), gambut menjadi mengering, dan gambut kering telah dikenal lama sebagai bahan bakar. Bahkan, dunia mengenal pembangkit listrik tenaga gambut Toppila, di Finlandia, yang menghasilkan 190 MW listrik.

Ketika gambut terbakar, emisi akan sangat besar. Gambut Indonesia sendiri menyimpan sekitar 60 miliar metrik ton karbon, dari total 88,6 miliar yang berada di seluruh wilayah tropis. Kalau seluruh gambut itu terbakar, menurut perhitungan Greenpeace, maka hasilnya adalah emisi yang setara dengan bila seluruh cadangan minyak di Arab Saudi, Venezuela, Kanada, Rusia, dan Amerika Serikat dibakar. Kalau selama ini hantu terbesar dari perubahan iklim adalah bahan bakar fosil, sesungguhnya kebakaran di lahan gambut adalah hantu yang tak kalah mengerikannya.

Selain dampak yang mengerikan dari kebakaran hutan dan lahan terhadap perubahan iklim, yang mungkin jauh lebih mudah dipahami adalah apa yang terjadi pada kesehatan masyarakat. Selama berbulan-bulan masyarakat di tempat-tempat kebakaran itu harus menanggung hidup yang luar biasa sengsara. Walaupun ‘hanya’ 19 orang yang diakui Pemerintah Indonesia meninggal karena kebakaran tersebut, namun dalam jangka panjang kematian prematur akibat kebakaran hutan itu dapat mencapai 100.000 orang. Demikian yang ditemukan oleh para peneliti dari Universitas Harvard, Columbia, dan WCS dalam artikel Public Health Impacts of the Severe Haze in Equatorial Asia in September–October 2015: Demonstration of a New Framework for Informing Fire Management Strategies to Reduce Downwind Smoke Exposure (Koplitz, et al., 2016).

Jadi, bila kita kembalikan lagi pada jumlah kerugian ekonomi raksasa yang mencapai Rp221 triliun—seperti terkena tsunami dua kali dalam 3 bulan—kemudian dampak kesehatan yang sangat merugikan masyarakat—bukan cuma di lokasi kebakaran, juga bukan hanya di Indonesia—serta hilangnya seluruh jasa lingkungan gambut yang tak terhitung besarnya, apakah masuk akal kita tidak mendukung restorasi gambut dengan dalih menyelamatkan industri kelapa sawit dan HTI beserta kekhawatiran atas dampak ikutannya?

Sebetulnya, pesan untuk memilih antara penyelamatan industri atau lingkungan adalah tidak tepat. Kita tidak bisa memilihnya. Al Gore, dalam buku dan film dokumenternya yang sangat terkenal, An Incovenient Truth, sudah menyindir cara berpikir seperti itu. Memilih antara ‘gold bar’ dengan ‘the whole world’ adalah pertanda kepandiran. Namun, hingga sekarang kita masih saja sering mendengar perkataan seperti “Bagaimanapun kita perlu menyeimbangkan antara ekonomi dan lingkungan” dalam pertemuan-pertemuan bertemakan keberlanjutan. Bagaimana mungkin ekonomi dan lingkungan dianggap sebagai sesuatu yang seimbang? Tidakkah kita pernah mendengat kalimat terkenal Margaret Mead yang menjadi kepala tulisan ini? Kita tak akan punya masyarakat bila lingkungan kita hancurkan. Dan, akankah ada ekonomi bila masyarakatnya sendiri punah?

Logika sederhana ini seharusnya dipegang erat oleh siapapun, termasuk dan terutama Kementerian Perindustrian. Kementerian tersebut sudah seharusnya menempatkan diri sebagai regulator dan pengawas industri, bukan menjadi juru bicara apalagi pejuang apapun kepentingan industri. Dalam hal ini, Kementerian Perindustrian perlu untuk melihat apa sebetulnya tujuan Indonesia dalam bingkai kepentingan yang lebih luas, bukan sekadar ‘memajukan industri’.

Di hadapan tujuan besar itu—yaitu pembangunan berkelanjutan—tidak semua industri itu sama kedudukannya. Industri-industri yang menopang keberlanjutan, misalnya industri energi terbarukan, memang sangat perlu digalakkan. Industri yang dapat dibuat berkelanjutan, termasuk kelapa sawit dan hutan tanaman industri, perlu dipastikan keberlanjutannya dengan terlebih dahulu. Caranya adalah dengan memastikan bahwa industri-industri tersebut dilaksanakan di lokasi yang memang sesuai daya dukung dan daya tampungnya, serta dengan menegakkan pengelolaan sosial dan lingkungan yang memadai sepanjang operasinya. Sementara, industri yang bertentangan dengan keberlanjutan, seperti industri rokok, harus dibuat peta jalan untuk menghilangkannya sama sekali dari Indonesia.

Pembangunan berkelanjutan sendiri kini telah dengan tegas menganut model nested yang menempatkan ekonomi sebagai bagian dari sosial, dan sosial—dengan ekonomi di dalamnya—sebagai bagian dari lingkungan. Ini artinya ketika hendak mencapai tujuan ekonomi, seperti yang dilakukan oleh Kementerian Perindustrian—maka tak bisa dilakukan dengan melawan kepentingan sosial yang lebih luas, serta harus dilaksanakan dalam batas-batas alam. Apapaun yang hendak kita lakukan, itu seharusnya berada dalam batas-batas yang mendefinisikan “a safe operating space for humanity”, sebagaimana yang disarankan oleh Rockstrom, et al. (2009). Batas-batas itu nyata dan terukur, dan tugas kita semua adalah untuk mematuhinya, karena alam tidaklah bernegosiasi. Ia harus dipatuhi, atau dampaknya pasti kita rasakan.

Kementerian Perindustrian perlu untuk benar-benar bertanya kepada KLHK tentang batas-batas itu. Kalau tidak, maka, alih-alih membangun industri, sebetulnya mereka menjerumuskan perkebunan-perkebunan serta hutan-hutan tanaman ke dalam bahaya besar. Sawit dan HTI tentu boleh untuk dibangun, namun hanya yang berkelanjutan, yang prasyaratnya telah dinyatakan di atas. Pembukaan kebun sawit dan HTI yang dilakukan tanpa pemenuhan persyaratan keberlanjutanlah yang akan membuat ekonomi dalam bahaya, bukan sebaliknya. Karenanya, KLHK perlu dipandang sebagai mitra dalam pengembangan industri, bukan sebagai penghambat.

Kalau kedudukan KLHK—dan siapapun yang memerjuangkan keberlanjutan—sebagai mitra itu bisa diyakini oleh seluruh jajaran Kementerian Perindustrian, maka ada banyak hal lain yang bisa dilakukan untuk memajukan industri di Indonesia. Kementerian Perindustrian akan bisa melihat industri-industri yang lebih berpihak kepada masa depan, bukan yang sebaliknya, lalu menggiring dunia usaha Indonesia ke arah sana. Kalau nanti regulasi tentang ekonomi lingkungan telah keluar dan benar-benar ditegakkan, maka Kementerian Perindustrian akan menyadari bahwa sesungguhnya industri yang memihak pada efisiensi dan efikasi energi, industri yang menyelesaikan beragam masalah sosial dan lingkungan—termasuk industri yang memerbaiki kondisi lahan gambut Indonesia—serta industri yang disandarkan pada logika ekonomi sirkular sesungguhnya jauh lebih superior dibandingkan dengan industri-industri yang selama ini banyak dibelanya.

Sesungguhnya, kesediaan untuk melihat industri dari sudut pandang ekosistem yang luas, serta melihat bahwa pihak-pihak lain di dalam pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil adalah mitra untuk mencapai tujuan bersama yang hakiki—yaitu keberlanjutan Indonesia dan dunia—adalah prasyarat untuk menjebol dinding-dinding silo yang sampai sekarang masih menyekat kita semua. Dalam pandangan Scharmer dan Kaufer (2013) menyatakan bahwa model mental Masyarakat 3.0 adalah kesadaran tentang adanya 3 sektor, namun ketiganya bekerja secara antagonistik. Masing-masing memerjuangkan kepentingannya sendiri. Untuk bisa meruntuhkan egosistem dan beralih ke ekosistem, kita perlu mengubah model mental kita menjadi Masyarakat 4.0 di mana ketiga sektor yang ada benar-benar melakukan ko-kreasi, bekerjasama mewujudkan dunia yang berkelanjutan.

Semoga Masyarakat 4.0 segera bisa diwujudkan di Indonesia, sehingga tak ada lagi perseteruan antar-kementerian maupun dengan pihak-pihak lainnya. Masalah di Indonesia terlalu kompleks sehingga penyelesaiannya benar-benar membutuhkan kolaborasi, bukan kompetisi, di antara seluruh pihak yang mencintainya.

Ikuti tulisan menarik Jalal lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu