x

Seorang tunanetra sedang membawa Alquran Braille Digital yang didapat dari Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Oesman Sapta Odang alias Oso melalui Yayasan Syekh Ali Jaber di Balai Sudirman, Tebet, Jakarta Selatan, 4 Mei 2017. TEMPO/Rizki Putra

Iklan

cheta nilawaty

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Akses Yang Baik Bagi Pejalan Kaki Tunanetra ~ Cerita Cheta

Penanda ini memiliki titik titik gerigi yang dapat dirasakan melalui sapuan tongkat Tunanetra ketika berjalan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bunyi hentakan tongkat memenuhi pedestrian yang melintang sepanjang jalan dari Taman Ayodhia menuju Gereja Melawai. Sabtu siang itu saya dan 14 teman tunanetra diundang Komunitas Saae dan komunitas urban design untuk mencoba alat bantu penanda jalan di pedestrian atau yang dikenal dengan nama guiding block. Tanda jalan ini sering dijumpai di trotoar jalan jalan utama Jakarta. Fungsinya, menjadi penanda bagi pejalan kaki yang memiliki keterbatasan khususnya Tunanetra. Karena itu, penanda ini memiliki titik titik gerigi yang dapat dirasakan melalui sapuan tongkat Tunanetra ketika berjalan.

Penyusuran guiding block terbagi menjadi tigapos. Pertama, kami berjalan sejauh 600 meter. Pada tiap penyusuran, kami harus melaporkan apa yang kami rasakan dan temui kepada teman teman pendamping. Laporan itu akan dijadikan perbandingan design guiding block yang sudah ada untuk pembuatan guiding block selanjutnya. Pada beberapa bagian jalan masih terdapat jalur guiding block yang terpasang zigzag dan malah menyesatkan tunanetra. Di bagian jalan lain kami harus menghadapi halangan berupa pot tanaman yang malah menutupi guiding block. Belum lagi guiding block yang rusak karena kontur jalan yang juga rusak.

Bagi saya, guiding block belum memberikan akses yang informatif ketika harus mengenali simpangan di setiap perempatan jalan. Tanda simpangan pada guiding block ini tidak begitu jelas kentara titik titiknya, karena berkumpul pada satu bulatan. Titik penanda ini tidak terasa dalam sapuan tongkat. Beberapa teman tunanetra ada yanng sampai membuka alas kaki untuk merasakan penanda guiding block di perempatan jalan. Salah satunya, Juwita Maulida, yang mengaku kesulitan mengidentifikasi penanda perempatan. “Saya sampai meraba titik titik penanda tersebut dengan tangan,” ujar Juwita Sabtu siang,, bulan lalu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Sampai sekarang, bentuk design guiding block masih sama yaitu berwarna kuning dengan materi penyusun berupa bahan melamin yang berbunyi ketika terkena ketukan tongkat. Pada beberapa tempat dengan kontur tanah yang tidak rata, bahan penyusun guiding block terbuat dari metal yang lebih nyaring lagi ketika terkena ketukan tongkat. “Tujuannya agar Tunanetra mudah membedakan mana kontur jalan yang tidak rata, atau mana kontur jalan yang berkerikil,” ujar Ardjuna Sinaga, Perancang Bentuk Guiding Block dari Jakarta Urban Designer.

Pada beberapa wilayah Jakarta, bentuk guiding block sudah sangat baik. Bahkan penempatan dan penggunaannya sudah sesuai kaidah. Contoh penerapan guiding block yang baik adalah pedestrian yang melintas sepanjang Jalan Sudirman – Thamrin. Kontur pedestrian yang ada di sekeliling guiding block sangat rata dan halus. Kontur yang halus dapat memudahkan bagi tunanetra dalam mengenali guiding block.

Penerapan guiding block yang baik juga ada di pedestrian yang melintas dari Megaria menuju Kampus Universitas Indonesia, Salemba. Guiding block pada jalur ini mengakomodasi pedestrian yang melintas di depan sebuah bangunan. Pada beberapa pedestrian, guiding block yang melintasi bangunan biasanya terputus. Ruang yang tercipta antara guiding block yang terputus, akhirnya sering digunakan orang untukmemarkir kendaraan. Beberapa pengguna jalan yang tidak peduli dengan fungsi pedestrian, malah menjadikannya sebagai tempat parkir motor berbayar.

Penerapan guiding block yang salah juga terdapat di depan Rumah Sakit Medika Permata Hijau. Seharusnya, trotoar dibuat di samping jalur jembatan halte Trans Jakarta. Tapi yang terjadi, pedestrian dibuat di bawah jalur jembatan. Kondisi ini membuat pejalan kaki harus turun ke jalan raya sebelum naik kembali ke trotoar. Meski sudah dipasang guiding block, letak trotoar yang seperti itu akan membahayakan tunanetra bahkan pejalan kaki pada umumnya. Sebab, saat turun ke jalan – sebelum naik kembali ke trotoar, pejalan kaki tidak pernah tahu kendaraan yang melintas di belakang mereka.

Di beberapa negara, penerapan guiding block sangat baik. Salah satu negara di asia tenggara yang cukup baik penerapan guiding blocknya adalah Filipina dan Singapura. Di dua negara tersebut , pedestrian atau trotoar yang dilengkapi guiding block selalu disertai dengan kamera CCTV. Bahkan ada CCTV yang sudah terintegrasi dengan lampu lalu lintas. Kondisi seperti itu tentunya memberikan kenyamanan dan keamanan akses bagi penyandang disabilitas yang ingin berjalan sendirian. Pengguna jalan tunanetra dapat memiliki hak kenyamanan yang sama dengan pejalan kaki pada umumnya.

Ikuti tulisan menarik cheta nilawaty lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler