x

Iklan

Fajar Anugrah Tumanggor

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Susahkah Kita Berdamai?

Unity in Diversity

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

            Apa sebenarnya yang terjadi dengan negara ini? Di linimasa pemberitaan media selalu membincangkan mengenai kekerasan rasial, intoleransi umat beragama hingga yang baru-baru ini mengenai darurat kebhinekaan. Belum lagi, keadaan semakin runyam, tatkala individu yang bermain dalam percakapan di linimasa media sosial tengah mempertontonkan sikap tak beretika. Hujat sana-sini. Cerca sana-sini. Hingga bully-membully yang tidak tabu lagi untuk diperlihatkan.

            Apa yang sebenarnya terjadi di negeri ini? Hanya karena perkara politik, masyarakat mudah diadu domba. Kita begitu mudah dihasut oleh berita-berita yang kebenarannya belum diketahui. Kita terlalu naif. Atau lebih tepatnya, kita pelupa yang naif. Bukankah sejarah membuktikan, politik devide et impera begitu mudah memecah belah bangsa? Aceh, Soviet, hingga Somalia adalah bukti gamblang politik belah bambu begitu berhasil dipropagandakan. Masih kurangkah contoh ini? Oh, betapa naifnya kita.

            Dari dahulu sampai sekarang, bangsa ini tetap saja dihadapkan dengan riak-riak perpecahan di daerah-daerah di seluruh Indonesia. Para ahli pun, dengan beragam metode dan penjelasan terus meneliti dan mencari cara bagaimana menyelesaikan masalah-masalah yang bungkusnya selalu disusupi isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan). Tapi, untuk saat ini, semua metode belum sepenuhnya berhasil dilakukan. Mulai dari cara rekonsiliasi, hukum, hingga cara adat, semuanya belum solutif. Pencarian solusi harus terus dilakukan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

             Selain dari masyarakat, kita juga selalu ribut dalam urusan politik pemerintahan. Bagaimana negara ini mau maju, bila pemimpinnya, yang menjadi suri tauladan terus berkonflik dengan elit yang lain. Program-program yang dicanangkan pasti akan mandeg. Dipastikan, realisasi pembangunan dan pengawasan pelaksanaan pembangunan akan timpang. Ketidakpercayaan akan terbangun. Pesimisme akan timbul semakin cepat. Rasa apatis akan semakin tinggi.

            Hal inilah yang kemudian memicu timbulnya perlawanan dari kelas civil society. Entah itu yang berasal dari kesadaran penuh, atau dimobilisasi oleh kaum elit guna mencapai tujuan tertentu, siapa yang tahu! Sehingga, masyarakat, yang bahkan mungkin tidak tahu-menahu dengan permasalahan yang ada, larut di dalamnya. Fenomena beberapa waktu lalu, Aksi Bela Islam Jilid I, II, dan III adalah bukti kemarahan kelas civil society atas fenomena Ahok yang dituduh menghina agama Islam. Benturannya jelas. Dua elit yang terlibat pilkada DKI saling menjatuhkan. Sikap negarawan tidak dipertontonkan. Alhasil, kondisi politik aras lokal dan nasional ribut. Di titik inilah, bangsa ini kembali terpuruk. Dan lagi-lagi, kita tak pernah baca sejarah. Ini adalah politik devide et impera. Oh, betapa naifnya kita.

            Penulis cukup geram menuliskan ini. Semua seolah tak bisa menerima perbedaan. Bukankah perbedaan adalah wajar dalam sebuah negara multikultur yang menerapkan prinsip demokrasi? Pilihan dalam pemilu, agama, maupun pilihan untuk memeluk kepercayaan tertentu adalah wajar, selama tak melanggar konstitusi. Tak perlu menjustifikasi, itu salah, ini salah, dan seterusnya, dan seterusya. Payung hukum sudah ada, itu yang harus ditegakkan.

            Yang menjadi pertanyaan kemudian, susahkah kita berdamai dalam perbedaan? Apalagi, perdamaian itu menjadi dasar untuk merealisasikan pembangunan nasional. Bagaimana mungkin, kita mau membangun negara bila tidak bersatu mewujudkannya? Bagaimana mungkin, kita mau membangun bila kerjanya selalu ribut? Bahkan, 100 Soekarno pun, yang berpikiran visioner, tak akan bisa mengubahnya.

            Inilah bukti, sejarah sudah mulai dipinggirkan. Sejarah, sebagai basis aktualisasi cita-cita nasional kini jauh panggang dari api. Pancasila, dengan salah satu silanya yakni Persatuan Indonesia adalah gambaran yang sahih dalam mengakomodir kepentingan majemuk masyarakat Indonesia. Seharusnya, kita kembali ke titik ini, guna merefleksikan konsep kebangsaan Indonesia. Konsepsi kebangsaan Indonesia, sebagaimana dikatakan Yudi Latif (2015), merupakan suatu usaha untuk mencari persatuan dalam perbedaan. Persatuan diupayakan dengan menghadirkan loyalitas baru dan kebaruan dalam bayangan komunitas politik, kode-kode solidaritas, dan institusi sosial-politik.

            Tentunya, konsep kebangsaan ini adalah untuk menghargai masa lalu, adat, tradisi, kearifan lokal, local genius, budaya, bahasa daerah, serta penghormatan terhadap hak-hak minoritas dalam memeluk dan mengembangkan agama/kepercayaan masing-masing. Inilah bukti, betapa para pendiri bangsa sudah memikirkan matang-matang konsensus bernegara yang sesuai dengan kondisi bangsa yang majemuk. Para pendiri bangsa berpikiran visioner. Berbeda sekali dengan keadaan para generasinya yang mulai mencoba menggerogoti tubuh Pancasila dengan trik-intrik murahan mengatasnamakan SARA.

            Seharusnya, kita bisa berkaca dari negara Inggris yang bisa bersatu dalam bingkai nations-state, dengan perbedaan  masyarakat dan kebangsaan. Mereka tak gaduh. Tak mudah diprovokasi. Mereka sevisi untuk membangun The Great Britain. Dan lihatlah, Inggris menjadi negara maju dan bahasanya telah menyebar di seluruh dunia. Selain Inggris, Prancis juga menjadi contoh yang tepat. Prancis mampu mengakomodir suku-suku berlainan guna pencapaian visi nasional mereka.

            Inilah yang harus kita contoh. Berdamai dalam perbedaan. Kedamaian di negara yang multikultural adalah sebuah keniscayaan, bila terdapat prinsip-prinsip supremasi hukum, keamanan, ketertiban, dan keadilan. Maka, pemerintah perlu merangkul seluruh elemen guna pencapaian visi dan cita-cita nasional dengan landasannya Pancasila serta konstitusi UUD 1945.

Unity in Diversity

            Kebangsaan multikultural hanya bisa dipertahankan oleh suatu budaya politik jika pemerintah bisa menjamin hak-hak sosial politik, ekonomi individu dan kelompok masyarakat. Seperti yang dikatakan oleh Habermas (1999:199), “warga harus dapat mengalami nilai keadilan dari hak-haknya juga dalam bentuk keamanan sosial dan pengakuan secara timbal balik di antara pelbagai bentuk budaya yang berbeda dari kehidupan”. Jaminan ini menjadi poin kunci dalam menciptakan kedamaian di masyarakat.

            Melalui tulisan ini, penulis juga mengharapkan pentingnya kedamaian para elit di lokal dan daerah. Mari bersikap layaknya seorang negarawan. Menang-kalah dalam pilkada soal biasa. Selepas itu, mulailah bergandengan tangan, kembali merangkul satu sama lain. Kita hanya bisa mencipta sebuah perubahan bila kita bersatu. Seperti yang dikatakan Arend Lijphart (1977), adalah mungkin untuk mengembangkan pemerintahan demokratis dalam masyarakat plural, sejauh elit politiknya mau bekerja sama. Singkat kata, unity in diversity dan diversity in unity untuk membangun Indonesia menjadi negara yang disegani di seluruh dunia. Semoga, semoga dan semoga.

Tulisan ini sudah dimuat di Qureta tanggal 1 Juni 2017

Ikuti tulisan menarik Fajar Anugrah Tumanggor lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler