x

Iklan

Victor Rembeth

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Yawm an-Naksa, 50 Tahun Pendudukan Israel di Palestina

Memperingati 50 tahun Pendudukan Israel di Palestina sebagi dukungan bagi 2 negara setara berdaulat di Timur Tengah, dengan menghadikan kedamaian

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Yawm an-Naksa, Hari Kemunduran Kemanusiaan

 

“Palestine belongs to the Arabs in the same sense that England belongs to the English or France to the French. It is wrong and inhuman to impose the Jews on the Arabs” (Mahatma Gandhi)

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

                50 tahun yang lalu pada hari-hari ini bukan saja peta berubah di kawasan Timur Tengah, tetapi  terjadi genangan airmata dan darah. Serangan Militer Israel yang dikenal dengan sebutan “perang 6 Hari” meluluhlantakan kota, desa dan pemukiman  yang secara khusus didiami oleh bangsa Palestina. Pada tanggal 5 Juni yang dikenal oleh bangsa Palsetina sebagi hari Naksa, daerah demi daerah di Palestina jatuh ke pendudukan Israel, dan tepat pada dini hari tanggal 7 Juni Israel menguasai kota Al Quds atau Yerusalem. Lengkap sudah penderitaan sebuah komunitas bengsa bernama Palestina

                Penanda habisnya masa depan bangsa Palestina terikut kemudian dari apa yang terjadi pada tanggal 7 Juni tersebut ketika selanjutnya adalah semkain menguatnya upaya penguasaan di Gaza dan Tepi Barat. Kota-kota seperti Nablus, Bethlehem, Hebron dan Jericho yang telah menjadi tempat bermukim penduduk bangsa Arab Palestina selama ribuan tahunn terusir dengan pendudukan ala militer yang sudah tentu berbarengan dengan penggunaan kekerasan. Demikian juga bagian-bagian dari Tembok Barat Yerusalem yang dikenal sebagai Tembk Al-Buraq, tempat situs suci Islam dan Yahudi dikuasai sepenuhnya oleh tentara Israel.

                Paling tidak dalam perang kilat selama enam hari itu, lebih dari 500.000 jiwa bangsa Palestina terusir dari habitatnya yang telah dihuni bertahun. Desa-desa kecil Palestina seperti Imwas, Beit Nuba dan  Yalu bukan saja mengalamai nasib yang sama tetapi serta merata dihapus dari keberadaannya di bumi. Bahkan di kota kota Qalqilya dan Tulkarem di Tepi Barat, pasukan Israel menghancurkan rumah-rumah warga sipil dan paling tidak mengusir sekitar 12.000 jiwa Palestina paling tidak di Qalqilya saja, dimana hal ini disebut oleh Moshe Dayan sebagai "punishment" atau penghukuman. Eksodus besar-besaran kemudian terus terjadi dalam hitungan tahun-tahun selanjutnya.

                Sungguh sebuah tragedi kemanusiaan pasca Perang Dunia kedua yang dilakukan suatu bangsa kepada bangsa lainnya yang mirip dengan kisah sedih “holocaust” yang pernah dialami bangsa Yahudi hanya kurang dari tiga decade sebelumnya. Wajar bila hari-hari ini disebut oleh bangsa Palestina sebagai Yawm an-Naksa, alias Hari Kemunduran. Pada hari itu terjadi kemunduran upaya-upaya santun menempati tanah yang masih bisa dicapai dengan cara dialog damai. Naksa juga bisa diartikan sebagai kemerosotan nilai kemanusiaan yang menjadi representasi mulainya sebuah sisi kejam ideologi yang bernama Zionisme dengan menghalalkan segala cara.

                Pemukiman demi pemukiman Israel terus dibangun, yang awalnya belasan jumlahnya pada tahun 1967,  bertambah secara massif dan signifikan selama bertahun di eks tanah tanah Palestina. Selayaknyalah angka 50 tahun menandai masa pendudukan yang  terlama dalam sejarah modern. Elias Chacour, seorang pendeta Katolik dalam bukunya,“ We Belong to the Land: The story of a Palestinian Israeli who Lives for Peace and Reconciliation”, mencatat episode selanjutnya bangsa Arab Palestina di pendudukan Israel. Ada kisah pelecehan hak-hak sipil, sosial dan beragama mereka yang sekarang dipaksa menjadi kelompok minoritas di tanah mereka sendiri. Bangsa Palestina menjadi bangsa yang sangat “Naksa” atau merosot sejak 7 Juni 1967.

                Sebagai bagian dari bangsa manusia yang meyakini bahwa kekerasan bukanlah alat yang seharusnya digunakan untuk menyelesaikan masalah, peringatan 50 tahun pendudukan Israel terhadap Palestina ini haruslah disikapi dengan tegas dan jelas. Keprihatinan semata tidaklah cukup, karena ada kuping-kuping tebal  dan hati  nurani yang beku pada tidak sedikit bangsa Israel. Mereka adalah yang telah diindroktinasi secara cuci otak yang meyakini bahwa pengusiran dan pemusnahan bangsa Palestina bukan saja tindakan heroik kebangsaan, tetapi terlebih dari itu sebagai panggilan keagamaan. Chacour dalam kisahnya menceritakan bahwa mentalitas ini adalah bagian tersulit untuk mendatangkan damai dan kemauan hidup bersama di antara kedua bangsa serumpun di tanah para nabi dan sabda Tuhan diturunkan.

                Ironisnya, ketika agama dan politik menyatu, maka terjadilah kebengisan akut yang bertahun. Para teruna-teruna Yahudi muda diajar untuk membangun bukan saja tembok fisik terhadap Palestina yang berbeda, tetapi tembok nurani yang membatasi perjumpaan sesama anak manusia ciptaan Tuhan. Ketika senapan mesin dan mesiu dibalas dengan batu dan belati dalam intifada, maka kompleksitas pemecahan masalah damai bagi hadirnya dua bangsa dalam kebertetanggaan (Neighbourology) menjadi semakin pelik. Aneksasi Israel terhadap Palestina menandai bukan saja permasalahan politik regional Timur Tengah, tetapi merambah dalam diskursus politik global, keamanan dan bahkan keagamaan.

                Indonesia sudah tegas sejak awal melawan semua bentuk penjajahan dan meyakini bahwa adalah hak setiap bangsa untuk bisa merdeka dan berdaulat. Oleh karenanya, panggilan kebangsaan setiap putri putra pertiwi harusnya juga mengutuk model pendudukan dengan kekerasan yang melecehkan hak-hak warga manusia lainnya. 50 tahun pendudukan ini seharusnya bisa kembali memantik hati setiap anak manusia bahwa pertama dan terutama persoalan bangsa Israel dan Palestina harus diselesaikan dengan damai dalam upaya mengembalikan hak-hak mereka yang terbuang dari tanahnya sejak 1967. Palestina harus dimartabatkan menjadi bangsa yang setara dengan tetangga Israelnya dan berbagai Negara di Timur tengah dan dunia.

                Selanjutnya, adalah sebuah keharusan bahwa eskalasi kekerasan harus dihentikan. Kedamaian harus menjadi milik bukan saja anak-anak dan perempuan Israel di kota-kota modern yang mereka diami, namun juga harus dinikmati oleh semua sisi bangsa Palestina yang berdaulat di kediaman mereka masing-masing. Segala macam tindakan yang berproses dan berujung pada penindasan bangsa lain selayaknya dihentikan dengan segera untuk dan atas nama kemanusiaan. Bahkan menurut Edward Said, seorang cendekiawan Palestina, sesaat setelah perundingan Oslo, kedua Negara dan bangsa harus bekerja sama. Menurut Said solusi yang bisa dicapai adalah melakukan, “The common battle against poverty, injustice and militarism must now be joined seriously”. Pendudukan baru harus dihentikan, kemiskinan harus dilawan, ketidakadilan harus diproses dan milterisme harus ditinggalkan.

                Ketika kita semua mengharapkan Naksa Palestina bisa dihentikan dalam waktu dekat, maka kita juga diingatkan oleh janji kampanye Jokowi pada saat kampanye pilpres lalu. Pada saat itu ia berkata, “Saya dan JK mendukung penuh Palestina menjadi negara merdeka dan mendukung penuh Palestina menjadi anggota penuh Dewan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)". Sebuah janji yang harus tetap ditagih manifestasinya dalam kemenangan-kemenangan kecil baik di tingkatan diplomasi antar bangsa, bilateral dan berbagai aspek kemanusiaan lainnya. 50 tahun waktu yang terlalu lama bagi sebuah bangsa terusir dari tanahnya dan direndahkan martabatnya dalam pemenuhan hak-hak dasar. Palestina harus berdaulat penuh, hidup dalam kedamaian, kemakmuran dan kesetaaraan bersama dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

                Sambil tafakur menangisi tragedi hari Naksa 50 tahun yang lalu, kita perlu terus menggelorakan kemanusiaan yang adil dan beradab sebagai jadi diri kemanusiaan yang sebenarnya. Jangan lagi ada penindasan atas nama pembedaan terjadi di Palestina.  Jangan pula hal itu terjadi dimanapun di muka bumi ini, dan apalagi di tanah air tercinta. Jayalah Palestina, berusahalah terus menghadirkan kemerdekaan dalam kedamaian. Tuhan menyertai anak-anak bangsa pecinta damai di Palestina, Israel dan Indonesia dalam semua upaya menghadirkan jalan keluar bersama.  Biarlah suara kedamaian bergema di Gaza, Tepi Barat, Al Quds dan semua kota dan desa yang pernah ada di Palestina.

 

Victor Rembeth, 7 Juni 2017

Ikuti tulisan menarik Victor Rembeth lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

18 menit lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB