x

Polisi memasang garis batas saat penggeledahan rumah di kawasan Rancasawo, Kecamatan Rancasari, Bandung, Jawa Barat, terkait bom Kampung Melayu, 26 Mei 2017. TEMPO/Prima Mulia

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Teror, Aksi Heroik?

Bila Anda berpikir bahwa tindakan teror sebagai sebentuk keberanian, cobalah tilik ulang.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Bila Anda berpikir bahwa tindakan teror bunuh diri sebagai sebentuk keberanian, cobalah tilik ulang. Sebagaimana terjadi akhir-akhir ini di berbagai tempat, London maupun Jakarta, Kabul maupun Paris, teror menjadikan warga sipil sebagai sasaran. Tanpa perlawanan apapun, warga sipil menjadi korban.

Warga sipil tidak bersenjata. Warga masyarakat tidak bersiaga dan tidak sedang memasang mata dan telinga waspada terhadap serangan apapun. Di Kampung Melayu, sebagian warga sedang berpawai menyambung datangnya Ramadhan. Di London, warga sedang menikmati malam. Mereka jadi sasaran teror dan jadi korban. Apa salah warga?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bila tujuan teror (bunuh diri atau berani mati) adalah menimbulkan rasa tidak aman di antara warga, upaya itu mungkin berhasil, untuk sesaat. Bila teror dimaksudkan untuk mengacau ketertiban umum serta mendiskreditkan dan menarik perhatian pemerintah, upaya itu barangkali sukses untuk sementara.

Tapi, apakah aksi teror semacam itu merupakan sebentuk keberanian yang heroik?

Orang mengatakan, membunuh manusia tidaklah mudah. Dibutuhkan keberanian yang besar untuk sanggup mencabut nyawa orang lain, sebab ia mungkin akan dihantui sepanjang hidup oleh tindakannya. Bahkan, bagi orang yang pernah terjun di medan pertempuran sekalipun, hantu penyesalan itu sulit diusir dari mimpi-mimpi buruk yang sangat mungkin mendatangi saban hari. Lagi pula, teror kepada publik bukanlah medan pertempuran dalam peperangan.

Aksi teror bunuh diri bukan bentuk keberanian, sebab pelakunya tahu bahwa ia sangat mungkin akan mati dalam serangannya, dan dengan demikian hantu rasa bersalah itu dengan sendirinya akan ikut terkubur. Rasanya sukar diterima akal sehat bahwa menjadikan warga sipil sebagai sasaran teror dan membunuh mereka merupakan kehormatan.

Menjadikan warga sipil sebagai sasaran teror bukanlah tindakan heroik, bukan aksi pemberani. Warga sipil tidak sedang siaga, tidak bersenjata, tidak sedang berpatroli, tidak sedang bertempur, bahkan juga tidak sedang berprasangka buruk bakal diserang teroris—tidak memasang mata dan telinga waspada. Warga sedang berbelanja, menikmati kopi bersama teman atau keluarga, bahkan sedang berpawai menyambut kedatangan Ramadhan.

Pelaku aksi teror sengaja memilih target yang tidak sepadan, warga sipil yang tak akan sempat memberi perlawanan di tengah ketidakterdugaan. Apakah ini sebentuk keberanian?

Pelaku memerlakukan warga sebagai sarana untuk mengirim pesan. Pelaku tidak peduli terhadap keselamatan orang banyak, yang mungkin di antaranya ada saudara, teman, atau mungkin tetangga—balita, anak-anak, remaja, lansia, siapapun. Warga sipil jadi korban, tujuan mereka belum tentu tercapai. Mereka hanya mementingkan diri sendiri. ***

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler