x

Iklan

Sari Novita

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Masihkah Gula Punya Daya Saing

Perkembangan produktivtas gula di Indonesia

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Indonesia merupakan negeri yang kaya sumber alamnya, semua orang tahu itu.  Tapi mengapa kosakata “pernah” yang bersinggungan dengan peningkatan atau kemajuan, sepertinya menjadi permasalahan saat ini. Pada saat diskusi Dinas Perkebunan menggelar tema kelapa sawit tempo lalu, narasumber menegaskan “…jangan sampai negeri kita disebut sebagai Negara yang pernah maju produktivitasnya…”

Bisa dikatakan selain kaya sumber alam, Indonesia juga kaya masalah yang lamban ditangani. Hampir semua sektor mengalami hal ini. Indonesia memang pernah jaya, juga pernah terlena. Ditambah sekarang zaman era teknologi yang mana kaum mudanya lebih terpikat dunia gadget daripada pertanian. Padahal pertanian merupakan salah satu tombak kesejahteraan suatu Negara.

Awalnya mengira tidak ada masalah terhadap komoditas gula, ternyata selama 8 tahun [2009-2016] mengalami penurunan dari segi luas areal, produktivitas, dan pendapatan. Amerika bisa bertahan komoditas gulanya karena pemerintah memberikan subsidi kepada petani dan terkait. Amerika memberikan penghargaan pada produksi gulanya sebagai ketahanan nasional terutama dalam menyerap sumber daya manusianya – memberikan kesempatan kerja pada orang-orang yang tidak ingin pindah ke kota. Menandakan bahwa Indonesia lengah pada soal ketahanan nasional, apakah Pemerintah sebelumnya tidak paham atau kekuasaan politik lebih berkuasa?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kondisi produksi gula tahun 2016 sebesar 2.5 juta ton dengan luas areal 450.000 hektar dan produktivitasnya, 5.55 ton per hektar. Pada tahun 2008 produktivitas  pernah mencapai 6 juta ton dan angka ini akan menjadi target periode 2019 – 2020. Menunjukan kita butuh perluasan lahan sebesar 50.000 hektar dan kenaikan produktivitas 0.45 ton per hektar. Target tersebut sangat mungkin untuk dilakukan, asalkan kita tahu sumber permasalahan agar bisa diatasi bersama.

Strategi yang perlu  dilakukan:

  1. Perluasan 50.000 hektar. Dengan cara mengembalikan lahan perkebunan rakyat, perluasan area tebu rakyat yang baru, dan perluasan area baru pabrik gula [PG] di luar Jawa.
  2. Melakukan rendemen secara bertahap dengan melakukan grouping.
  3. Membuat pengairan di areal tebu dengan membangun pompa dan sumur dalam. Tahap ini telah dijalankan dan bakal selesai pada tahun ini. Dibutuhkan dana Rp.500.000.000,- membangun sumur dalam, sedangkan pompa sebesar 20-25 juta Rupiah. Tujuannya, jika terjadi El Nino, kita masih bisa meningkatkan produktivitas gula.
  4. Mekanisasi dengan grouping lahan petani dan pengembangan usaha. Serta membangun drainase di daerah sawah dan pengolahan lahan untuk mengantisipasi hujan besar agar air tetap bisa keluar. Grouping dilakukan minimal 5 hektar, juga menyediakan usaha koperasi kebun rakyat.
  5. Mengubah kebijaksanaan Pemerintah dengan memperbolehkan impor benih selama 7 tahun. Sebetulnya, Pemerintah telah menganggarkan dana besar pada tahun 2017 namun untu lahan 5000 hektar saja, sudah kelimpungan mendapatkannya.
  6. Pengembangan kemitraan antara petani dan pengusaha gula. Selama ini petani masih bekerja sendiri.  

Penjelasan tersebut dikatakan oleh DR. Ir. Agus Wahyudi, Ms, Direktur Tanaman Semusim dan Rempah, Dirjenbun, pada tanggal 8 Juni 2017, Gedung Pertanian, Ragunan. Lalu, ditambahkan Prof. Dr. Ir. Agus Pakpahan, Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Indonesia, tentang sulitnya membangun pabrik gula saat ini. Sebab, semua biaya harus ditanggung sendiri – tidak mendapatkan bantuan dari Pemerintah.

Masalah atau hambatan komoditas gula di Indonesia tidak saja soal benih, tidak adanya pabrik gula, tapi juga harga gula yang terus menurun. Dalam soal ini, menurutnya, kita harus punya pikiran multidisplin dan bertanya, “apakah keuntungan penjualan dan produksi buat perusahaan atau tingkat kesehatan rakyat?” Menurut WHO, maksimum added sugar sebanyak 25 gram/orang/hari. Dengan kenyataan Indonesia yang mengimpor gula 3 juta ton, itu menunjukan sudah sangat banyak. “Jika bicara keuntungan, lain lagi ceritanya,” ujarnya.

Harga eceran, naik lebih cepat, membuktikan impor naik, harga gula naik terus, tapi tidak dengan harga jual kita. Padahal tujuan impor untuk menstabilkan harga. Tapi nyatanya tidak terjadi penurunan harga untuk dibeli masyarakat.

Ada 2 tipe lingkungan masalah yang perlu diperhatikan, yaitu: pertama, ketidakmampuan mengatasi cuaca, kedua, lingkungan sosial politik dengan tekanan yang tidak bisa dikendalikan. Dua hal itu, tentu bisa menghambat produktivitas.

Kembali pada luas areal, yang adalah gambaran fisik sedangkan rendemen, gambaran isi dan bagaimana mengolah tebu. Rendemen semacam ini, teknologi dan manajemen untuk prodktivitas tidak ada kemajuan. Hasilnya, pada tahun 2003-2008 meningkat 57% lebih, per tahun naik 17.5% tapi 2009 turun .4.1%. yang terjadi ialah target tidak akan tercapai bila kita tidak mengetahui hubungan sebab-akibat/permasalahan antara system satu dengan system lain.

Setiap rupiah yang konsumen belanjakan untuk gula, berapa yang dinikmati petani, berapa yang dinikmati oleh middle man, berapa untuk grosir, secara presentase menunjukan bahwa harga retail naik cepat tetapi siapa yang menikmati lebih banyak atau biaya dialokasikan ke mana yang lebih besar?

 2017 kita masuk ke dalam rezim penetapan harga, harga lelang: 9900, 12500 retail, margin 3400. Artinya kalau konsumen mengeluarkan 100 rupiah, maka 37.5 rupiah diambil oleh middle man/market/trader, 53 rupiah diambil oleh petani. Dibandingkan dulu, petani hanya mendapatkan 45% tapi petani bisa mendapatkan dana talangan 80-90% dan mendapatkan bagian dari lelang. Maka, kita melihat peningkatan inefsiensi, yang paling efisien adalah system marketing 2006, 11.13% marginnya, artinya dari 100 rupiah konsumen dapat rantai pemasaran hanya mengambil 11,3 rupiah, sisanya buat petani. 2003-2008 produksi gula naik dan tidak dikenakan ppn. Kemudian terjadilah pergeseran biaya pemasaran dan komponen margin, terjadi penurunan. Indikasi kuat terhadap sisi pasar dalam menentukan apakah prodksi kita akan turun atau bagaimana.

Kenapa kita nggak maju-maju, sebab kita lupa kekuatan rakyat. Kita salah baca…”  - Agus Pakpahan.

            “Setiap kita mengimpor 3 juta ton gula, maka kita telah meningkatkan 3 juta pengangguran di Indonesia,” serunya. Beliau menekankan, sebenarnya Indonesia seharusnya sudah bisa ekspor, tapi tren itu dipatahkan oleh kebijakan yang membuat industri gula tidak berdaya.

            Kemarin, seorang teman bercerita mengenai industry makanan, obat-obatan, genetika makanan, dan kondisi politik di Indonesia maupun di dunia. Dia bilang, “dunia ini memang gelap. Nantinya, Anak-anak dan cucu-cucu kita yang akan kejatuhan hasil dari perbuatan buruk orang-orang pada masa lalu.”

            Namun, dunia terang atau gelap, kembali pada manusianya. Bila Agus Pakpahan berpendapat kita harus mengubah perilaku, mengupas benang-benang merah, dan berfokus pada rakyat. Lalu, bagaimana Anda?

            Masihkah komoditas gula punya daya saing? Jawaban diserahkan kepada Anda.    

 

Foto: pixabay.com

Ikuti tulisan menarik Sari Novita lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler