x

Iklan

Cak Khudori

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pelibatan TNI di Pertanian ~ Khudori

Tepatkah melibatkan TNI saat ini? Kondisi sosial-politik sekarang sudah berubah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Khudori

Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat

Keikutsertaan TNI dalam aneka proyek pangan di Kementerian Pertanian kembali dikritik oleh anggota Ombudsman RI, Ahmad Alamsyah Saragih. Menurut dia, sejak TNI dilibatkan pada 2015 sampai sekarang, belum ada keputusan politik dari Presiden Joko Widodo (Koran Tempo, 16 Juni 2017). Keputusan politik ini jadi landasan kerja sama antara Kementerian Pertanian dan TNI, sesuai amanat Undang-Undang TNI.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

TNI adalah kekuatan utama menghadapi ancaman pertahanan negara, baik bersenjata maupun tidak. Tak diatur soal keterlibatan TNI menjadi penyuluh pertanian, membangun irigasi, mencetak sawah, distribusi alat dan mesin, serta menyerap gabah/beras petani. Pelibatan TNI ini tak hanya berpotensi maladministrasi, tapi juga melanggar undang-undang.

Keterlibatan TNI ini terkait erat dengan target duet Jokowi-JK guna kembali menggapai swasembada pangan. Target ambisius ditetapkan: swasembada beras, jagung, dan kedelai dalam tiga tahun (hingga 2017). Swasembada gula dan daging ditargetkan lima tahun (hingga 2019). Menteri Pertanian Amran Sulaiman diultimatum akan dicopot jika swasembada tak tercapai.

Menteri Amran bergerak cepat. Salah satu yang mengejutkan publik, sejak 2015, Kementerian Pertanian menggandeng TNI. Kepala Staf TNI Angkatan Darat saat itu, Jenderal Gatot Nurmantyo, siap melibatkan semua jajaran Kodam, beberapa perwira, dan 52 ribu bintara untuk menyukseskan swasembada. Menurut Gatot, perang pada masa depan dipicu perebutan sumber pangan, air, dan energi. TNI bertanggung jawab agar negeri ini berdaulat di bidang pangan. Bahkan Gatot siap mundur bila target swasembada pangan tak tercapai.

Boleh jadi, usaha melibatkan TNI dalam produksi pangan dilandasi romantisme masa lalu. Pada era Revolusi Hijau tahun 1960-1970-an, belum ada penyuluh pertanian. Keterampilan dan pengetahuan petani pun terbatas. Dalam kondisi seperti itu, tenaga yang siap dikerahkan dan keberadaannya di semua wilayah memang militer: Bintara Pembina Desa (Babinsa). Diakui atau tidak, keterlibatan Babinsa ini pula yang menjadi salah satu kunci pencapaian swasembada beras pada 1984.

Tepatkah melibatkan TNI saat ini? Kondisi sosial-politik sekarang sudah berubah. Keterampilan dan pengetahuan petani patut diacungi jempol. Bahkan, selama reformasi, mereka praktis tidak mendapat pendampingan penyuluh. Politik kini tidak lagi monolitik dan sentralistis. Kewenangan dan kekuasaan yang terpusat telah didistribusikan ke daerah. Tak ada lagi politik komando. Dengan kondisi seperti itu, melibatkan TNI di bidang pangan bisa menimbulkan salah urus. Bukan hanya soal kapabilitas, tapi potensi represi.

Boleh jadi, pelibatan TNI dalam urusan pangan didasari terjalnya kondisi lapangan. Kinerja produksi pangan pokok memang naik, tapi tidak semuanya naik tinggi. Ini terjadi karena basis produksi tidak membaik, baik lahan maupun inovasi teknologi. Menambah lahan baru, memperbaiki infrastruktur irigasi, serta membangun bendungan dan introduksi teknologi seperti rencana Kementerian Pertanian adalah keniscayaan. Berpuluh-puluh tahun lahan tidak bertambah. Selama reformasi, kinerja pemerintah mencetak sawah baru tak pernah lebih dari 50 ribu hektare per tahun. Padahal konversi lahan lebih besar dari itu.

Sawah-sawah subur dan beririgasi teknis diuruk dan ditanami beton, baik untuk jalan, rumah, maupun pabrik. Karena tidak ada tambahan lahan, sejumlah komoditas pangan pokok berebut di lahan yang itu-itu juga. Kinerja pencetakan sawah baru membaik ketika Kementerian Pertanian melibatkan TNI, yaitu 130 ribu hektare pada 2016. Tahun ini ditargetkan mencetak 80 ribu sawah baru. Selain itu, berpuluh-puluh tahun tidak ada pembangunan bendungan dan irigasi baru. Bahkan, saat reformasi, irigasi warisan Orde Baru tidak mampu dipelihara dengan baik. Kini, pembangunan irigasi dan bendungan digalakkan.

Membuka lahan baru dan memperbaiki/membangun infrastruktur irigasi perlu waktu dan butuh anggaran besar. Demikian pula riset intensif untuk menemukan aneka varietas berproduksi tinggi. Administrasi pertanahan yang kusut membuat perluasan lahan pangan tak mudah dilakukan. Di atas kertas, potensi ekstensifikasi bisa dilakukan di puluhan juta hektare lahan. Namun di lapangan tak sepenuhnya jelas. Kebutuhan anggaran yang besar juga tidak memungkinkan untuk memperbaiki/membangun irigasi dalam satu tahun anggaran. Semua ini bermakna: target swasembada bisa terancam oleh lambannya pencetakan sawah baru. TNI terlibat untuk memastikan cetak sawah berhasil.

Duet Jokowi-JK tampaknya menyadari bahwa Jawa tidak akan berkelanjutan sebagai basis produksi pangan dalam jangka panjang. Peran Jawa dalam produksi padi, jagung, kedelai, dan gula masing-masing 52,6 persen, 54,5 persen, 66,9 persen, dan 67,4 persen dari produksi nasional. Padahal Jawa menjadi pusat gasing pertumbuhan ekonomi dan semuanya perlu tapak lahan. Memindahkan basis produksi pangan ke luar Jawa secara gradual tentu pilihan realistis. Yang perlu dipastikan, pemindahan itu, termasuk pelibatan TNI, tidak melanggar undang-undang, apalagi membuahkan represi dan aneka kekerasan di level akar rumput.

Ikuti tulisan menarik Cak Khudori lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB