x

Iklan

Victor Rembeth

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Merayakan Defisit Apati: Pancasila Terasa Nyata di Lombok

Pancasila Harus Dimulai dari Desa Kembali, Desa-Desa di Lombok salah satunya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Merayakan Defisit Apati: PANCASILAH MENDESALAH!
 
Berlibur ke Lombok di Nusa Tenggara Barat pada bulan Ramadan adalah sebuah pengalaman sangat berharga. Bukan saja bisa membuktikan berbagai situs wisata yang diciptakan Tuhan sebagai anugrah bagi para penghuni bumi Gora, tapi terlebih berinteraksi dengan saudara Muslim yang taat pada bulan penuh berkah. Sebagai bagian dari Nusantara, keunikan yang ditampilkan sungguh membuat makin bangga menjadi bagian dari kebhinekaan bumi pertiwi.
 
Suasana Islami sebagai sebuah provinsi yang meraih 2 kategori "world halal tourism award" tahun 2016 lalu sudah terasa ketika menjejakkan kaki di bandara Lombok Raya. Suasana khidmat menjalankan ibadah saum di gerbang udara itu terasa ketika masuk dalam perjalanan desa Dan kota yang dilalui. Tutupnya warung dan rumah makan di siang hari dikonfirmasi dengan ketiadaan acara di lounge hotel berbintang empat yang ada di pusat Kota. Walaupun kesibukan puasa urban untuk  "bukber" juga sudah mewabah menjadikan semua pusat kuliner sesak menjelang adzan maghrib.
 
Sungguh sebuah peragaan komitmen akan pentingnya menjaga jati diri sebagai sebuah komunitas Islami yang mengupayakan sebisa mungkin hadirnya konsepsi wisata halal yang jadi ikon provinsi ini. Namun sudah tentu komitmen ini bukanlah keluar dalam tindakan beku yang tanpa toleransi sama sekali. Menariknya, masyarakat, pemerintah dan semua pihak bisa luwes menerima wisatawan yang sudah tentu kebanyakan tidak berpuasa. Gerai gerai hiburan dan obyek wisata menerima berbagai pihak dengan ramah dan santun kendati harus berkompromi dengan yang "non halal".
 
‌Sudah tentu elastisitas bumi Gora dalam menerima mereka yang berbeda ini menjadi sebuah afirmasi untuk adanya kultur arkhaik dalam pelaksanakan spiritualitas. Kultur tersebut hadir dalam mengisi cara pandang kepada orang lain kanan dan kiri. Sifatnya bukan sekedar nilai nilai beku yang hadir dalam tuturan belaka, namun telah menjadi wadag dalam kebanyakan manusia Sasak. Penghargaan terhadap "lian" kental dalam percakapan dan penerimaan "mereka" terhadap "kami".
 
KeIslaman di Lombok ternyata bukanlah yang berkacamata kuda apalagi apati terhadap yang bukan "kami". Situs awal yang diakui sebagai Masjid Purba yang pertama di pulau Lombok menjadi sejarah dimana sejak awal penyebaran Islam serius melihat kepada konteks budaya lokal kanan dan kiri. Masjid Bayan di desa Beleq ini ternyata sarat dengan arsitektur dan ornamen tiongkok dan kultur Sasak Boda. Sebuah peragaan akulturasi yang kemudian diimbuhi dengan berbagai ritual yang sangat menjunjung berbagai kearifan lokal pra kedatangan Islam.
 
Menarik sekali mendapat penjelasan sang kuncen Masjid perihal Islam Wetu Telu yang berawal dari Masjid ini. Sebagai salah satu model Islam kontekstual maka model relijiusitas komunitas ini berbasis pada nilai nilai lokal. Manifestasi "telu" mereka adalah tiga aspek yang sangat erat dengan kehidupan manusia. Telu yang pertama adalah Wetu Telu yang bermakna gunung, pertanian dan pantai. Lalu
Wtu Telu yang melibatkan Tuhan Nabi dan Ortu dalam penghormatan. Kemudian untuk kronos atau waktu ada konsep Watu telu yang berarti kemaren (Rahim), sekarang (perbuatan), dan akan datang (akhirat).
Semua serba tiga ini berintegrasi menjadi spiritualitas Islam purba di Lombok.
 
Spiritualitas inilah yang menjadikan model Islam terbuka yang terus menerus berdialog dengan alam dan budaya yang ada. Polanya adalah kemauan melihat kanan dan kiri bahkan atas dan bawah. Apati dengan sengaja didefisitkan sampai titik yang terendah. Dalam keterbukaan ini kemauan belajar pada yang lain terus digali, bukan untuk menjadikan iman yang sinkretis. Iman ini memperkaya untuk bisa menjadi keyakinan atau agama yang menjadi berkat bagi semua selain menyembah Tuhan.
 
Defisit apati adalah sebuah frasa oxymoron yang ada dalam spiritualitas masyarakat di Lombok. Dalam kesalehan beragamanya, Watu Telu tetap menjadikan empati sebagai platform kebersamaan hidup harmoni dengan konteks sosial budaya semua yang hidup berdampingan. Dalam upaya peminimalan apati inilah manusia bisa melihat orang lain tetap berbeda, tetap "lian" tapi tidak dalam rangka melakukan konstruksi pembedaan. Jelaslah keyakinan yang begitu menghargai alam dan lingkungan adalah keyakinan yang bisa menghasilkan SURPLUS EMPATI. 
 
Dalam praktik berempati inilah ada anak anak muda di Kabupaten Lombok Timur, tepatnya di desa Sembalun  yang juga mampu menekan apati. Mereka adalah petani petani muda dengan branding "KOPI JUANG". Bagi mereka, pilihan jadi petani yang menebar empati kepada yang memerlukan adalah panggilan tak bertepi. Dalam tempat nongkrong mereka, "Cafe Balenta" di kaki gunung Rinjani, diskusi diskusi perihal hak petani, perbaikan kehidupan dan tata kelola agriekonomi, isu keberlanjutan dan semua yang menabur empati kepada orang lain secara dinamis diperbincangkan.
 
Dengan nama keren mereka, Sembalun Community  Development, berbagai kritik berkelas lahir dalam obrolan anak anak desa berkualitas global. Mereka kritik pemerintah pusat, provinsi sampai pedesaan. Mereka juga alergi dengan LSM yang datang tapi oknumnnya memakai untuk kepentingan politik partai berbasis identitas. Sebuah peragaan pemartabatan orang orang Indonesia di pedesaan yang hebat. Mereka cinta negeri dan tanah kelahirannya, mereka tidak rela proses pembangunan berjalan tidak adil dan merusak alam. Mereka tahu apa artinya bumi, hutan, tanah, manusia dan alam yang serasi dalam kesalehan melakukan panggilaan agama. Sebuah paduan indah ritual relijiusitas dan praxis spiritualitas surplus empati.
 
Tetiba, di Lombok kita diingatkan bahwa Pancasila yang Indonesiawi ada di pedesaan.  Ada spiritualitas adaptif Islami Indonesiawi yang manis dan santun, melihat kanan dan kiri. Ada pula praxis tegas menghidupi semua sila sila Pancasila dalam tarian manis pemartabatan manusia lain. Ada budaya hormat pada alam dan ada pula aksi menjadikan kembali ibu pertiwi sebagai bunda penebar cinta bagi semua ciptaan. Aneh, pembelajaran kehidupan justru ada di tempat yang mungkin tidak menghasilkan gelar keagamaan ataupun akademia sebagai ornamen formal belaka. 
 
Melihat benih indah defisit apati yang terjadi di Lombok ini, maka selayaknyalah keriuhan politik nasional perihal Pancasila dan nilai nilai hidup Indonesia harus dikembalikan ke desa. Di desa semua dihidupi dalam spiritualitas indigenous yang bernuansa nusantara. Di desa pula praxis kecintaan terhadap negeri terpapar dengan manis melalui pelaku pelaku lokal yang arif. Indonesia harus belajar kembali (unlearning and relearning) Pancasila ke desa. Perjuangan membangun empati dan mereduksi apati di antara anak anak bangsa harus dimulai dari desa. Pancasila mendesalah! 
 
 
 
Victor Rembeth
Reader Thamrin School of Climate Change and Sustainability
 
 
catatan : 
Ditulis sebagai pelengkap tulisan Merenungkan Defisit Empati tulisan Jalal pada 15 Juni dalam perjalanannya ke tanah Protestanisme , Jerman , sebagai Muslim di Bulan Ramadhan, dan perjalanan saya pada bulan Ramadhan juga sebagai Protestan ke Tanah Wisata Halal Indonesia, Lombok

Ikuti tulisan menarik Victor Rembeth lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler