Sungai dan Kampung (Kota)

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
img-content
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kampung kota dan sungai kota seakan seperti dua entitas tidak terpisahkan dari skala geografis perkotaan dan kultural kewargaan yang khas.

Kampung Kolase (17 Oktober 2015). Gambar oleh Frans Ari Prasetyo

Kampung (kota) ditepi bantaran sungai tengah menjadi sorotan publik luas dan menghiasi halaman-halaman muka media cetak, televisi dan media sosial. Bagaimana tidak, sorotan mengenai kampung-kampung ini berada di dua kota besar, yaitu Bandung dan Jakarta yang dipimpin oleh walikota dan gubernur yang memiliki daya tarik publik yang besar melalui gaya kepemimpinannya serta berbagai terobosan-terobosan dalam memimpin masyarakat dan wilayahnya, termasuk cara dan citra  penyelesaian mengenai kampung (kota).

Di Jakarta terdapat Kampung Pulo yang ditengarai sebagai salah satu penyebab  persoalan banjir yang melanda Ibu Kota secara periodik, maka dilakukanlah salah satu upaya pendisiplinan yang dilakukan oleh pemerintah DKI di bawah kepemimpinan Ahok. Kampung Pulo ini berada disekitar bantaran sungai Ciliwung.  Di Bandung terdapat Kampung Kolase (Kampung Siliwangi) yang berada disekitar bantaran sungai Cikapundung dan tengah mengalami upaya yang sama oleh pemerintah kota Bandung dibawah kepemimpinan Ridwan Kamil. Namun Kampung Kolase ini bukan sebagai faktor penyebab banjir, bahkan kampung ini tidak pernah banjir walaupun berada di bantaran sungai.

Upaya pendisiplinan ini dilihat dari aspek legal terkait kepemilikan lahan. Secara formal, pemerintah menganggap Kampung Pulo dan Kampung Kolase sebagai kawasan illegal bahkan menjadikan penduduknya sebagai penduduk illegal. Pemerintahan akan berpegang pada ketentuan UU No.6/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria: bukti kepemilikan adalah sertifikat. Merujuk kepada undang-undang itu, memang sulit untuk menerima alasan dan bukti surat-surat nonsertifikat sebagai dasar klaim atas lahan. Dalih apapun bisa serta-merta gugur jika dilihat pula kenyataannya bahwa tanah di bantaran sungai sesungguhnya milik negara, yang seharusnya tidak boleh dihuni karena fungsinya sebagai jalur hijau, daerah resapan air dan tidak boleh diperjualbelikan dan disewa-sewakan.

Tahun 2015 lalu, pemerintah kota Bandung bersama Direktorat Jendral Sumberdaya Air Balai Besar Wilayah Sungai Citarum melakukan program penataan wilayah sungai Cikapundung dan Kampung Kolase menjadi satu-satunya wilayah berpenduduk yang terkena dampak langsung dari program ini. Warga Kampung Kolase telah menempati wilayah tersebut sejak awal tahun 1970an,  yang sebagian besar warga memiliki beberapa bentuk bukti bahwa mereka telah tinggal di wilayah itu dalam  jangka waktu tersebut dan merasa ada hak karena membayar pajak tanah kepada pemerintah hingga saat ini.  Oleh karena itu, mereka enggan untuk menyatakan bahwa mereka tidak memiliki properti lahan sama sekali.

Di kampung Kolase tersebut juga telah memiliki jaringan listrik yang legal yang disediakan oleh pemerintah. Mereka mendapatkan hunian dikampung tersebut dengan cara membeli secara informal dari warga sebelumnya dan juga sebagai penduduk yang aktif membayar pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sampai saat dimana warga diminta pemerintah untuk meninggalkan pemukiman ‘ilegal’ tersebut. Selain itu, warga memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang sah, Kartu Keluarga (KK) dan memiliki hak politik dalam pemilihan umum tingkat nasional dan tingkat daerah berdasarkan data kependudukan wilayah setempat yang teregistrasi di RW 05 Siliwangi, Kelurahan  Hegarmanah, Kecamatan Cidadap, Kota Bandung.  Ini menunjukan bahwa warga kampung kolase bukan sebagai warga illegal. Terdapat sekitar 39 KK yang menempati Kampung Kolase ini dan sekarang kampung (kota) bernama Kampung Kolase itu telah musnah digantikan infrastruktur kota lainnya.

Rencana pembuatan amphiteater dan ruang terbuka hijau menjadi tujuan utama dari program penataan wilayah sungai ini melalui pendisiplinan warga kampung beserta huniannya yang dianggap ilegal karena menempati tanah milik pemerintah melalui skema relokasi. Memang telah terjadi pertemuan informatif terkait relokasi, tetapi  ini lebih untuk mendorong warga Kampung Kolase untuk cepat mendaftar dan setuju dipindahkan ke rumah susun sewa yang berada di daerah Sadang Serang, sekitar 3 KM dari Kampung Kolase. Rumah susun sewa ini sama sekali tidak identik dengan atmosfer kampung yang berada di lembah Siliwangi dan dekat dengan aliran sungai yang secara otomatis juga dekat dengan sumber kehidupan, yaitu air. Penduduk Kampung Kolase mendapatkan air secara gratis dari sungai Cikapundung dan mata air resapan tanpa dieksploitasi, sedangkan nantinya di rumah susun mereka harus membayarnya. Selain itu, penduduk kampung juga telah mendapatkan sistem dan skema kebudayaan air dan kebudayaan sungai yang sudah melekat dalam kehidupan keseharian warga. Maka, direlokasi, sumber air dan kebudayaan sungai akan juga hilang.

Warga kampung (kota) merupakan warga multikultur karena hadir dan datang dari berbagai macam tempat, etnis, dan agama yang walaupun terdapat warga setempat yang sudah bertahan dengan  beralih generasi dan masih berada di kampung tersebut.  Kampung kota sejatinya merupakan ekskalasi Indonesia di kota termasuk keragaman adat, agama, perilaku dan mata pencahariannya. Mereka menciptakan kebudayaan sosial ala Indonesia yang organik dan toleran dengan sistem kekerabatan kultural dengan dukungan faktor geografis dalam konteks Kampung Kolase adalah wilayah aliran sungai.  Rekolasi pemukiman akan merusak mata pencaharian dan struktur sosial dari kampung; mayoritas warga Kampung bekerja di pasar terdekat dan  sektor informal lainnya, seperti PKL akan kehilangan klien jika mereka berpindah lokasi.

Penurunan pendapatan bahkan perubahan mata pencaharian disertai perubahan struktur sosial-kultural tentu juga menjadi bagian dari adaptasi warga dan kemampuan daya juang warga ketika berada di tempat relokasi (rumah susun). Misalnya dalam hal menempati rumah susun, kalau pun ada jaminan pemerintah kota akan membebaskan biaya sewa selama dua tahun, tetapi terdapat eksternalitas lain yang sebelumnya tidak pernah mereka bayar, seperti penggunaan kebutuhan air dan transportasi menuju tempat mencari nafkah. Lalu kemudian setelah dua tahun mulai ada sewa rumah susun yang harus dibayar, sedangkan sebelumnya biaya seperti ini termasuk eksternalitasnya, tidak pernah ada. Terdapat 14 poin aspirasi warga sebagai daya tawar negosiasi terhadap kebijakan pemerintah (kota) terkait relokasi Kampung Kolase ke rumah susun, sehingga suasana penggusuran yang biasanya terjadi kekerasan tidak terjadi. Kondusifnya suasana ‘penggusuran’ di Kampung Kolase karena telah melalui proses diseminasi tanpa kekerasan membuat sebagian juga warga masih melakukan aktivitas di kampung tersebut untuk memilah-milah puing bangunan yang masih dapat digunakan kembali atau dijual, karena tidak ada penggantian sama sekali terkait aset properti warga.

Namun hingga kampung itu telah rata dengan tanah, keempat belas aspirasi warga belum juga terpenuhi oleh pemerintah kota Bandung, misalnya surat resmi relokasi penempatan warga dirumah susun.  Hal ini wajar karena kekhawatiran warga agar tidak terusir lagi ketika berada dirumah susun dan dikategorikan kembali sebagai warga ilegal seperti yang pernah mereka dapatkan ketika di Kampung Kolase yang akhirnya digusur itu akan terjadi lagi. Belum lagi proses perpindahan anak-anak sekolah yang terlambat dan juga adaptasi tentang sumber pendapatan ekononi warga yang mayoritas berada dalam sektor informal, semakin menyudutkan posisi warga, sehingga daya tawar mereka semakin rendah terhadap akumulasi pembangunan ini yang salah satunya mereka rasakan melalui skema relokasi ini. Relokasi  akan memecah jaringan sosial dan kelompok yang mendukung dalam  membantu warga mengatasi perjuangan keuangan sehari-hari. Wilayah kultural ini yang tercerabut dari warga kampung jika mereka dipisahkan dari habitat-nya dan menghilangkan memori kolektifnya sebagai warga kampung (kota), khususnya warga Kampung Kolase yang sangat akrab dengan kehidupan sungai.

Terdapat cukup banyak studi yang menunjukkan bagaimana penduduk dapat mengatasi kondisi ekologi negatif dari habitat mereka yang baru. Namun upaya ‘penggusuran’ atau relokasi  itu sebagai upaya  ‘membebaskan’ lahan untuk diperebutkan kembali, selain dalam skenario legalitas pemerintah akan lahan, juga ‘membebaskan’ warga yang kadung dianggap ilegal. Tentu saja, merelokasi 39 KK warga kampung kolase di Bandung berbeda dengan merekolasi 917 KK di kampung Pulo di Jakarta karena berbeda catatan historisnya, memori kolektifnya dan hak-kewajiban propertinya. Ahok akan dikenang oleh kelas menengah dan pengembang karena memberi mereka peluang untuk mendapatkan ruang dan mungkin memberikan kesenangan publik akan ‘kehausan’ ruang publik. Begitu juga dengan Ridwan Kamil di Kampung Kolase, bila pun tanpa penggusuran tapi memberikan kesenangan dan ‘kehausan’ yang sama akan ruang publik untuk warga kota walaupun terdapat dampak lain terhadap warga kampung (kota) yang sebelumnya tidak pernah ‘kehausan’ akan keseharian dan kebudayaan air (Sungai Cikapundung) yang tidak akan didapatkan di rumah susun walaupun telah melalui proses adaptasi.

Skema dan sistematika rekolasi yang menggunakan cara paksa atas nama hukum ataupun cara-cara yang dianggap humanis, tetap saja meninggalkan catatan historis tentang kampung-kampung tersebut sebagai bagian memori kolektif warga kampung (kota), tetapi juga warga kota secara keseluruhan. Menghilangkan kampung (kota) hanya demi laju pertumbuhan dan pembangunan (kota) dengan mengindahkan kebudayaan keseharian warga, kondisi eksisting geografis dan memori kolektif warga sebagai bagian dari multikultularisme di Indonesia sama dengan meniadakan multikulturalisme itu sendiri dalam pandangan dan cakupan arti yang lebih luas.

Frans Ari Prasetyo | Urbanist dan Peneliti Mandiri

Tulisan ini pertamakali terbit 01/01/2016 di : 

http://newurbanreview.com/city-voice/sungai-dan-kampung-kota/

Bagikan Artikel Ini
img-content
Frans Ari Prasetyo

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler