x

Iklan

Sandyawan Sumardi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Penggusuran Itu Baik? Yang Benar Saja

Kata penggusuran oleh pihak pemerintah dan media-media pendukung pemerintah, lebih sering disebut penertiban" atau relokasi .

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

I. Sandyawan Sumardi

Eufemisme

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Eufemisme adalah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar. Contoh : "Di mana 'tempat kencing'nya?" dapat diganti dengan "Di mana 'kamar kecil'nya?". Kata "tempat kencing", tidak cocok jika akan digunakan untuk percakapan yang sopan.

Demikian pun dengan kata "penggusuran", oleh pihak pemerintah, dan media-media pendukung pemerintah, lebih sering disebut "penertiban" atau "relokasi".

Dan pak Djarot Saiful Hidayat Gubernur DKI di sisa masa pemerintahan Ahok Djarot mengatakan bahwa "Penertiban Bukit Duri telah berjalan dengan baik" (Republika, 13 Juli 2017).

Benarkah ada  "penggusuran" yang baik?

Penggusuran Bukit Duri Jelas Melawan Hukum

Penggusuran Bukit Duri pada 11 Juli 2017 lalu, yang dilakukan oleh 675 aparat gabungan di lima titik, yakni RT 01, RT 02, RT 03, RT 04, dan RW 12. Dari 355 bidang bangunan yang terkena kawasan normalisasi (700 meter diratakan dengan bechoe atau buldozer), sebanyak 331 keluarga sudah dipindahkan ke rusun. Kalaupun tidak ada protes keras warga ("active non violence", seperti pada penggusuran Bukit Duri 28 September 2016 ketika turun SP1, SP2 dan SP3, dan terutama saat penggusuran terjadi), dan juga tidak adanya gugatan hukum yang dilayangkan korban gusuran ke pengadilan, bukan berarti penggusuran itu bisa dibenarkan.

Sebab penggusuran Bukit Duri pada 11 Juli 2017 itu sendiri, de facto masih sama dengan penggusuran paksa sebelumnya, yang meniadakan dialog dan partisipasi warga sebagai "stake-holder" utama, publik, kecuali bentuk tetap saja hanya sebentuk formalisme sosialisasi yang tak lain de facto berupa rayuan dan pembodohan karena hanya menawarkan satu solusi: sewa di rumah susun sewa (rusunawa) Rawa Bebek maupun Cakung.

Apakah benar-benar sudah diperiksa secara seksama, melalui pendataan dan pemetaan (karena ini kewajiban pemerintah daerah), adanya surat-surat kepemilikan tanah di kalangan warga, entah berupa girik, akte jual beli, verponding Indonesia maupun yang sudah ditingkatkan melalui program Prona menjadi sertifikat penuh?

Apakah Pemprov DKI sudah membaca Analisis Dampak Lingkungan yang disetujui oleh Pemprov DKI sendiri, Kementrian Lingkungan Hidup, BBWSCC, Kementrian PU-PR, bahwa tanah di bantaran Ciliwung adalah tanah warga masyarakat yang sudah dimiliki secara turun-temurun? Dan seandainya Pemprov menghendaki tanah warga itu untuk pembangunan, bisa saja, hanya harus diberikan ganti rugi sesuai UU No 2 Th 2014?

Bukankah substansi hukum ini juga yang dinyatakan secara jelas dan tegas dalam putusan Majelis Hakim PTUN yang memenangkan gugatan warga Bukit Duri tgl 5 Januari 2017?

Dalam putusan yang dibacakan majelis hakim PTUN tgl 5 Januari 2017 itu, PTUN menyatakan membatalkan SP penggusuran, karena dinilai tidak sah dan melanggar hukum.

Selain membatalkan tiga SP yang diterbitkan Satpol PP Jakarta Selatan, majelis hakim PTUN juga mengakui hak kepemilikan warga Bukit Duri atas tanah yang dirampas oleh Pemprov DKI melalui penggusuran itu.

Dalam pertimbangan hukumnya, majelis mengatakan tanah yang digunakan pemerintah pusat dan Pemprov DKI serta Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) adalah tanah milik warga Bukit Duri yang telah dimiliki secara turun temurun.

Majelis Hakim PTUN berpendapat, kepemilikan tanah-tanah warga Bukit Duri sudah sesuai dengan UU No 2/2012 juncto Perpres No 71/2012.

PTUN menilai penerbitan SP1, SP2, dan SP3 oleh Satpol PP Jakarta Selatan telah menyalahi izin lingkungan, izin kelayakan lingkungan, dan amdal (analisis mengenai dampak lingkungan). Di samping itu, ketiga SP tersebut juga bertentangan dengan UU No 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Perpres No 71/2012, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta UU HAM.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim berpendapat, Pemprov DKI Jakarta wajib memberikan ganti rugi yang layak kepada warga Bukit Duri akibat dari diterbitkannya objek sengketa (SP1, SP2, dan SP3).

Mulai dari dihancurkannya rumah-rumah warga, hingga dirampasnya tanah-tanah warga tanpa kompensasi yang layak. Majelis hakim PTUN juga menilai pelaksanaan pembebasan tanah warga Bukit Duri tidak berdasarkan pada tahap-tahap yang diperintahkan dalam UU Pengadaan Tanah, atau asas-asas pemerintahan yang baik.

Tahap-tahap itu antara lain melakukan inventarisasi dan identifikasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah; penilaian ganti kerugian; musyawarah penetapan ganti kerugian; pemberian ganti kerugian, dan; pelepasan tanah instansi.

Pemprov pun masih menggunakan aparat gabungan "aparatus coertus" (aparat pemaksa dengan kekerasan).

Bahkan Majelis Hakim PTUN kali ini juga membuat sebuah keputusan yang cukup "revolusioner", yaitu bahwa seorang pejabat publik, yang telah terbukti memberikan janjinya secara publik kepada masyarakat yang dipimpinnya, bahkan secara berulang-ulang, dan pada akhirnya mengingkarinya, dapat dikenai sanksi hukum, dan jelas dia tidak melaksanakan asas-asas pemerintahan yang baik.

("Ahok Gusur Warga Bukit Duri di Tengah Janji Manis Jokowi", Viva.co.id Kamis, 29 September 2016).

Jelas, semangat konstitusi beginilah yang dapat memecah kebekuan menerobos ketidakpercayaan masyarakat kepada para politisi pemimpinnya gara-gara mereka terlalu dan semakin sering dibohongi, "di-PHP-in" (PHP: "Pemberi Harapan Palsu").

Jelas, pelanggaran hukum masih tetap mengemuka dalam penggusuran yang dikatakan "baik" itu.

Perkara Solusi

Solusinya juga masih sama. Padahal solusi pemindahan ke rusunawa yang sifatnya temporari pun masih banyak pertanyaan, masih sangat dipertanyakan.

Logikanya begini. Warga yang tadinya memiliki tanah, rumah dan pekerjaan, dengan penggusuran itu mereka kehilangan segalanya. Kemudian satu-satunya solusi yang dipaksa-sodorkan adalah sewa di rusunawa. Bayar, bahkan de facto biaya sewanya lebih mahal dibanding kalau mereka sewa di daerah dekat lokasi bekas gusuran, yang tentu tidak terkena gusuran itu. Dan yang lebih parah, mereka harus juga kehilangan pekerjaan. Atau setidaknya lokasi pekerjaan mereka itu jauh sekali dari tempat kerja mereka.

Bagaimana warga "economy survival" itu bisa membayar uang sewa di rusun?

Sudah terbukti, sebanyak 6.516 penghuni atau 46 persen dari total 13.896 penghuni rumah susun pemerintah menunggak pembayaran sewa lebih dari tiga bulan. Selain tidak disiplin, sebagian penghuni menunggak karena tak punya penghasilan tetap ataupun pendapatan yang turun drastis. (Kompas, 26 Oktober 2016).

Terbukti juga pasangan calon gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnana (Ahok)-Djarot Saiful Hidayat kalah telak pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta putaran 2017 kedua di kawasan rumah susun sederhana sewa (Rusunawa), meskipun para warga penghuni rusunawa itu pada umumnya ketika baru/saat dipindah ke rusunawa itu dilaporkan oleh kebanyakan media mainstream sebagai "gembira dan bersyukur". (Databoks.katadata.co.id, 20 April 2017).

Wakil Gubernur terpilih DKI Jakarta, Sandiaga Uno mendukung langkah Pemprov DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Djarot Saiful Hidayat untuk menertibkan kawasan Bukit Duri. Namun, ia mengaku, harus ada solusi tepat yang diberikan kepada para warga usai penertiban. (Liputan6.com Jakarta, 11 Juli 2017).

Padahal semestinya, solusi itu setidaknya harus sudah diwujudkan, setidaknya 50% sebelum dilakukan relokasi. Bukan sesudah/usai relokasi.

Karena ketidakpastian hidup selama berbulan-bulan bagi warga korban gusuran itu sangat berat..

Padahal prinsip relokasi, kita semua faham: kondisi/kualitas hidup warga sesudah direlokasi, harus lebih baik ketimbang sebelumnya.

Selain itu, relokasi seharusnya merupakan pilihan terakhir jika solusi "on-site" memang tidak memungkinkan.

Kampung Susun Manusiawi Berbasiskan Koperasi

"Kampung Susun" adalah wahana lingkungan yang secara inkremental komunitas warganya  membangun unit-unit secara fleksibel pada struktur dasar yang telah terpasang. Di sini komunitas warga dapat lebih berperan aktif untuk menggali alternatif yang paling applicable dan acceptable, guna memperoleh suasana dan lingkungan kampung yang sesungguhnya.

Pada kampung susun setiap dataran lantai dapat terdiri dari deretan unit rumah dan beragam kegiatan serupa dengan pola kampung tapak, jadi tidak formal linier kaku seperti pada blok di hunian rumah susun. Deretan unit pada lantai di suatu blok, langsung dihubungkan dengan deretan unit di blok lain, sehingga lantai berbagai blok yang saling berhubungan itu menyerupai sirkulasi pada lingkungan kampung.

Membangun Kampung Susun Manusiawi Bukit Duri Berbasiskan Koperasi Warga Berdaya (KSMBD-BKWB) di lokasi yang tidak jauh dari lokasi warga sebelum digusur, dengan terlebih dahulu melakukan:

- Pendataan dan pemetaan ulang kebutuhan, hak dan kewajiban warga akan pemukiman/perumahan baru dalam wujud KSMBD-BKWB.

- gambaran konsep design secara komprehensif: KSMBD-BKWB ini harus mampu mengungkapkan jawaban terhadap kebutuhan hidup real warga kampung urban Bukit Duri di bidang ekonomi, sosial, budaya, ekologi, dan hidrologi.

Mampu mengungkapkan apsek keterbukaan/inklusivitas, kebenaran data, aspek keadilan, kemandirian, semangat solidaritas kehidupan yang kuat antar warga,  (komunalisme), interkoneksi dalam hampir seluruh aspek kehidupan, demokrasi partisipatif yang kuat, dan aspek pembangunan keberlanjutan.

- Rancangan block-plan

- rencana pembagian ruang berdasarkan kebutuhan dan rencana konsolidasi lahan/ruang/fungsi kebutuhan.

- integrasi dengan pembangunan Jakarta yang berprinsipkan kemanusiaan yang adil

- Seluruh sistem pembangunan pemukiman Kampung Susun ini, secara konsisten akan menggunakan prinsip-prinsip dan sistem koperasi swadaya komunitas warga:

a. Warga sebagai anggota adalah pemilik saham

b. Menekankan keswadayaan warga

c. Kepemilikan, tanggungjawab dan pengelolaan bersama bersama (komunal)

d. Gotong-Royong

e. Mengutamakan benefit (manfaat) ketimbang profit (untung).

f. Koperasi-koperasi Komunitas Warga Urban sebagai basis-basis pembangunan "pasar sosial bersama", melawan "pasar kapitalisme" DKI Jakarta.

- Maka sangat penting komunitas warga Bukit Duri yang berjuang ini segera:

a. Menambah jumlah anggota/pemegang saham Koperasi Warga.

b. Meningkatkan kualitas keterlibatan seluruh anggota koperasi Warga.

c. Mewujudkan/mengembangkan Koperasi Warga.

Keadilan Sosial

Dalam kaitannya dengan syarat keadilan sosial, satu di antara sekian  banyak yang layak kita simak adalah  refleksi Peter L. Berger, bapak ilmu sosial yang baru saja meninggal dunia di usia 88 tahun pada tgl 27 Juni 2017 lalu.

Peter L. Berger mengusulkan 2 macam “kalkulus” (timbangan) untuk melihat apakah suatu pembangunan  sungguh berhasil  dan menjawab   prinsip keadilan.

Yang  pertama  adalah ‘kalkulus  beban’  (“calculus  of Pain”), yaitu pencegahan penderitaan paksa, dan yang kedua  ialah ‘kalkulus kebermaknaan’ (“calculus of meaning”) sebagai penghargaan terhadap nilai-nilai  hidup dari para warga yang  dimaksud oleh kebijakan-kebijakan  pembangunan.

Untuk itu, Berger mengajukan 3 kriteria keadilan  yang harus dikenalkan pada setiap model dan proyek pembangunan:

(1). Pembangunan  yang berhasil  mensyaratkan  kemajuan ekonomi yang berlanjut dan 'self-generating'.

(2). Pembangunan yang  berhasil   mensyaratkan   gerakan berlanjut  dalam skala luas oleh penduduk  kebanyakan, dari kondisi kemiskinan  yang akut ke standar hidup yang  layak secara manusiawi.

(3). Pembangunan  tak dapat dikatakan berhasil jika prestasi-prestasi dari  kemajuan ekonomi  dan pembagiannya berlangsung di atas pelanggaran hak-hak asasi manusia.” (Peter Berger, “Underdevelopmen”, Commentary, vol.78, no.1, July 1984, hal. 41-45).

Di  bawah terang prinsip dan kriteria semacam itu,  segera kelihatan  bahwa bagi  komunitas-komunitas warga,  pembangunan ternyata lebih sering dialami sebagai beban (dalam "calculus of pain"), dan karenanya lebih  sering tidak  bermakna (dalam "calculus of meaning").  Dan dalam pengalaman warga di dataran rendah Jakarta, pembangunan lebih  punya arti sebagai  penggusuran ("displacement"). Selain sangat  mahal pembangunan yang  lebih sering dialami sebagai  penggusuran itu juga menyimpan kemarahan luas rakyat yang nampak dalam berbagai protes-protes terhadap ketidakadilan.

Jakarta, 13 Juli 2017

Ikuti tulisan menarik Sandyawan Sumardi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu