x

Sejumlah warga melakukan sholat Id di luar sebuah masjid di dalam kompleks balai kota dalam suasana peperangan melawan pemberontak dari kelompok Maute, yang telah mengambil alih sebagian besar Kota Marawi, Filipina, 25 Juni 2017. REUTERS/Jorge Silva

Iklan

Mpu Jaya Prema

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Saya Senang Disebut Kafir ~ Mpu Jaya Prema

Bahwa ada orang yang marah besar disebut kafir, itu sudah pasti karena orang yang dituduh itu memang beragama Islam.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mpu Jaya Prema*)

ADA orang yang marah jika disebut kafir. Tapi ada yang tidak dan malah senang jika disebut kafir. Orang yang suka itu, misalnya, saya. Dengan mendapat julukan sebagai orang kafir, berarti orang yang memberi julukan itu menghormati agama saya, dia atau mereka mengakui bahwa saya punya agama yang berbeda dengannya. Bukankah kita hidup di dunia ini tak ada masalah dengan perbedaan agama? Jika Tuhan menciptakan perbedaan dengan maksud agar yang berbeda itu saling mengenal dan saling membantu, sudah tentu perbedaan agama adalah hasil ciptaanNya pula.

Cobalah kita lihat bagaimana Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata kafir. Kata itu diartikan “orang yang tidak percaya kepada Allah dan rasul-Nya”. Kita tahu semuanya, dengan dipakainya kata “Allah” dan dilanjutkan dengan kata “rasul-Nya” maka itu merujuk ke agama Islam. Tidak dijelaskan dalam kamus itu pengertian yang lain soal kafir, misalnya, kata itu pertanda ada unsur penghinaan atau pelecehan atau merendahkan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bahwa ada orang yang marah besar disebut kafir, itu sudah pasti karena orang yang dituduh itu memang beragama Islam. Ini menurut saya sangatlah wajar.  Bahkan ini termasuk penghinaan seolah-olah keislaman seseorang ditentukan oleh orang lain. Sesama bis kota saja dilarang saling mendahului dan berebut penumpang, tentu sesama muslim tak boleh mengkafir-kafirkan. Lagi pula apa hak orang itu mengkafirkan orang lain yang jelas muslim, memangnya dia lebih mulia di hadapan Allah?

Sesungguhnya bagi saya sederhana saja, tak ada hal yang harus diresahkan jika ungkapan kafir diberikan oleh orang Islam kepada orang non-Islam. Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok adalah kafir bagi umat muslim, ya, tak ada masalah. Hasil kerjanya yang baik menata Jakarta diakui oleh sebagian orang muslim. Ada perilakunya yang menyimpang sehingga tidak disenangi oleh sebagian orang muslim, ya, semuanya normal saja. Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Ahok dicela dan dipuji tidak ada kaitannya dengan kekafirannya.

Selama ini kata kafir dikesankan sebagai umpatan yang buruk, orang yang layak dinistai,

orang yang harus dijauhi dan seterusnya. Apalagi saat dunia politik direcoki agama, sehingga muncul istilah pemimpin kafir, yang seolah-olah tak boleh dipilih oleh umat Islam. Produk-produk yang dibuat oleh orang kafir juga harus diboikot. Kalau begitu mari kita boikot media sosial ini karena pencetus dan pengelolanya adalah warga non-muslim.

Hari-hari ini saya melihat istilah kafir justru seperti dimurnikan kembali sebagai istilah untuk “orang di luar Islam” dan orang itu tetap layak dibela umat Islam. Ini menggembirakan saya. Contoh nyata adalah pembelaan yang diberikan Alumni 212 kepada Hary Tanoe, pengusaha kakap yang kebetulan Ketua Umum Partai Perindo. Kita tahu Alumni 212 adalah sekelompok orang (yang saya yakin semuanya muslim) pengecam Ahok lewat aksi massa jutaan orang (jumlah persis tidak penting) yang berlangsung damai. Dalam aksi ini kata kafir sering terdengar dan barangkali pula dibesar-besarkan media massa. Jika dikaitkan pada pembelaan Alumni 212 kepada Hary Tanoe bukankah itu berarti apa yang disebut kafir itu hanya untuk membedakan bahwa “aku Islam dan kau non-Islam”. Tak lebih dan tak kurang. Lalu untuk apa risau jika kita yang bukan Islam disebut kafir? Toh kalau salah atau benar, menurut persepsi yang bisa saja berbeda, tetap akan dibela.

Kafir dalam Hindu

Lalu adakah istilah kafir atau yang mirip kafir dalam agama Hindu?  Istilah atau kata yang persis  itu tak ada. Namun, jika kafir berarti “orang yang tidak percaya kepada Allah dan rasul-Nya” di dalam Hindu ada juga julukan bagi mereka “yang tidak mengakui Weda sebagai kitab suci Hindu”. Orang seperti itu disebut nastika.

Tapi kata nastika tidak populer, apalagi di kalangan Hindu Nusantara. Lebih banyak kisah masa lalu yang memang kasusnya sangat India sentris. Syahdan di masa lalu itu ada tiga kelompok aliran yang digolongkan nastika, yakni aliran Jainisme, Buddhisme dan Carvaka.

Izinkan saya mengutip laman Wikipedia.  Carvaka adalah sebuah aliran atheis yang memperkenalkan gaya hidup hedonis dan menyatakan bahwa tidak ada kehidupan setelah kematian. Namun filsafat Carvaka punah setelah tahun 1400. Sedangkan Buddhisme berkembang menjadi agama baru, Buddha,  yang diperkenalkan dan diajarkan oleh Sidharta Gautama. Sedangkan aliran Jainisme tidak mengakui ajaran Weda karena mereka punya guru yang menurunkan “kitab suci” yang jika dipadankan dengan agama lain disebut nabi. Nabi pertama mereka bernama Babhadewa dan yang terakhir bernama Mahavira.

Lalu kenapa Jainisme dan Buddhisme masih saja disebut nastika oleh penganut Hindu fanatik? Karena mereka tetap menganggap kedua aliran itu adalah masih dalam “rumpun” Hindu. Ini unik sekaligus aneh. Di Bali pun sampai sekarang masih banyak orang sulit memisahkan Buddha sebagai sebuah aliran dalam Hindu dan Buddha sebagai sebuah agama yang formal dengan kitab suci yang (tentu) bukan Weda. Di Bali banyak ada Pandita Buddha yang bukan beragama Buddha tetapi Hindu. Ini lebih pada penamaan warisan masa lalu, karena sekarang ini pendeta Buddha tentu saja disebut Biksu, bukan pandita.

Jadi andaikata istilah nastika populer di sini, maka penganut Buddha (dan juga agama lain di luar Hindu) tentu saja tak apa-apa disebut nastika karena memang mereka “tidak mengakui Weda”. Seperti tidak apa-apanya saya disebut kafir.

Untunglah istilah nastika tak ada kaitannya dengan percaya atau tidak adanya Brahman, sebutan Tuhan dalam Weda. Itu semata-mata soal mengakui atau tidak kitab Weda. Urusan percaya atau tidak pada  Brahman, nama Tuhan dalam bahasa Indonesia, itu soal lain. Apalagi dalam Hindu kebenaran itu bisa datang dari segala arah dan semua manusia adalah bersaudara.

Kesimpulannya, kafir tidak sama persis dengan nastika. Kedua istilah itu pun, lagi-lagi menurut saya, bukan penistaan jika ditujukan kepada orang yang berbeda agama, karena kenyataannya memang begitu. Tetapi menjadi penistaan jika dilakukan interen umat beragama, orang Islam mengkafirkan orang Islam, orang Hindu me-nastika-kan orang Hindu. Saya, sekali lagi, senang disebut kafir, tetapi jika saya disebut nastika, saya bisa membalas: “Ngawur kamu, seharian saya bergelut dengan Weda”. Tapi saya tidak marah, bukan karena tidak tersinggung namun pendeta tak diperkenankan marah – kalau bisa. Salam.

 

*) Nama lengkap Ida Pandita Mpu Jaya Prema Ananda, pendeta Hindu. Sebelum pendeta, wartawan dengan nama Putu Setia

Ikuti tulisan menarik Mpu Jaya Prema lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB