x

Warga memperlihatkan sila-sila Pancasila saat bersama TNI mengarak simbol negara Garuda Pancasila dan bendera raksasa Merah Putih melintasi pasar Ir. Sukarno di Sukoharjo, Jawa Tengah, 13 Juli 2017. Tempo/Bram Selo Agung

Iklan

Victor Rembeth

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pecel dan Pendidikan Kita: Dari Banyuwangi Pancasila Bergema

Keindonesiaan dibangun dalam strategi PECEL Pak Bupati Banyuwangi

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pecel dan Pendidikan Kita: Dari Banyuwangi Pancasila Bergema melalui Pecel

                Hari pertama kembalinya masuk sekolah harusnya disyukuri oleh semua murid, orang tua murid dan para pendidik. Hari pertama ini menunjukkan bahwa ada harapan bahwa bangsa ini terus berupaya untuk mendidik anak-anaknya dengan etos keIndonesiaan yang mampu menghadapi tantangan masa depan bangsa. Hal itu paling tidak tercermin khususnya ketika teruna-teruna bangsa dengan sumringah menapaki jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan masuk ke lingkungan sekolah yang baru.

                Namun kebanggaan itu tidak selalu hadir ketika sebuah insiden justru terjadi di sebuah SMP Negeri 3 Genteng di Banyuwangi. Kisah siswi bernama NWA, seorang pelajar yang begitu antusias akan masuk ke jenjang pendidikan lebih tinggi di SMP 3 Genteng Kabupaten Banyuwangi terpaksa harus mengubur impiannya untuk bersekolah disitu. Ia dan orangtuanya memilih menarik berkas pendaftarannya karena merasa ada diskriminasi di sekolah tersebut yakni menerapkan aturan menggunakan jilbab bagi siswinya, katika NWA sendiri beragama non Islam.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

                Sungguh sebuah ironi dari pelaksanaan Undang-Undang Pendidikan Nasional dan runutan ke atasnya yaitu Pancasila dan UUD 45. Di institusi yang jelas dibiayai Negara diberlakukan kebijakan yang seharusnya tidak terjadi yaitu, indikasi diskiriminasi berdasarkan identitas seorang warganegara. NWA  dan orangtuanya pasti tidak pernah membayangkan bahwa ia akan dikenakan keharusan yang ia sendiri sulit untuk melakukan, karena berfikir sekolah negeri adalah ruang publik yang dibiayai Negara dan seharusnya menjadi tempat bertemunya kebhinekaan untuk menjadi Ika.

                Ketika peristiwa ini menjadi viral, maka sudah dipastikan terjadi berbagai cara pandang terhadap insiden ini. Ada banyak yang menyayangkan, namun tidak sedikit juga yang mempertanyakan di mana kehadiran Negara dalam mengupayakan nilai-nilai 4 pilar  yang kerap didengungkan sebagai sokoguru keIndonesiaan. Tiba-tiba insiden yang terjadi secara lokal ini memiliki daya “magnitude” yang besar, yang bisa menjadi blunder jika tidak disikapi oleh aparatur Negara secara bijak.

                Namun, semua kekuatiran terhadap ancaman semakin memudarnya Pancasila karena kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan ruh bangsa ini ditepis dengan obrolan sepiring pecel rawon. Pecel yang dihidangkan oleh pak Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas, menjadi simbol akan komitmen kebangsaan yang walau berbeda tetapi menjadi satu racikan yang nikmat di lidah. Pecel yang dihidangkan sang bupati, ketika menyambut NWA secara istimewa, menjadi ikon pentingnya menghargai seberapa kecilpun partisipasi dari resep dan bahan pecel yang tersaji.

                Pecel itu kemudian menjelma dalam pernyataan ciamik sang bupati yang menyatakan, “Berjilbab untuk pelajar Muslim tentu tidak masalah, tapi tidak boleh dipaksakan kepada pelajar yang beragama di luar Islam.” Ia melanjutkan bahwa, “Aturan sekolah tidak boleh mendiskriminasi, harus memberi ruang yang sama tanpa memandang perbedaan SARA”. Ada penghargaan kepada teruna muda NWA untuk keyakinannya, identitasnya dan ke”tidakpentingan”nya. Tiba-tiba sang gadis cilik merasakan makna Pancasila dalam sayur pecel dan kehangatan santun sang pejabat publik pilihan rakyat Banyuwangi.

                Memang sayur-sayuran dan bumbu pecel, yang konon berasal dari Ponorogo Jawa Timur, memberi makna simbolik yang sangat akurat dalam kehidupan berbudaya keIndonesiaan. Ia disajikan dari dan dalam kepelbagaian jenis sayur dan adonan bumbunya. Ia juga tersaji dari warung emperan pinggir jalan sampai di dapur istana. Pecel juga dinikmati oleh siapapun apakah ia fakir miskin atau pejabat negara . Dan pecel juga bisa diracik oleh siapapun dan dinikmati oleh siapapun tanpa melihat unsur-unsur SARA dalam proses awal sampai akhirnya. Pecel menjadikan Indonesia nyata dan hadir, apalagi ketika ia dihidangkan untuk memecahkan masalah NWA oleh sang bupati.

                Seyogyanya pecel bisa menjadi saripati filasfat pendidikan kita. Ketika perbedaan dibesarkan dan kepelbagaian yang hadir di dalam ruang publik dianggap sebagai sebuah ancaman, maka berkaca pada sepriring pecel adalah cara manis untuk menjadikan siapapun di tengah bangsa ini sadar bahwa Indonesia adalah negeri “pecel”.  Ibarat meracik pecel, anak-anak didik kita masuk dalam percampuran yang didesain dan dikonstruksikan oleh pendidik menjadi sebuah hidangan nikmat yang bisa dikonsumsi. Sayur mayur dan bumbunya tidak akan menjadi berarti apa-apa atau minimal tidak sedap disantap bila dibiarkan sendiri-sendiri.

                Sebuah hikmah yang luar biasa mengantar anak-anak kita untuk masuk persekolahan tahun ajaran baru di 2017 ini. Pecel yang dihidangkan oleh seorang pejabat Negara, telah memperkuat filsafat pendidikan Pancasila. Adik NWA dan adik-adik lain, marilah kita berterima kasih untuk kepelbagaian yang diciptakan Tuhan dan teruskanlah cita-citamu untuk menjadi bidan atau apapun juga. Biarlah penolakan di SMP Negeri 3 Genteng membuat pembelajaran indah akan perlunya manusia-manusia pecel untuk terus dilahirkan di tengah bangsa ini. Dan biarlah ini yang terakhir terjadi di sekolah manapun di negeri ini, di Banyuwangi, Papua, Jakarta, NTT dan dimanapun Pancasila masih diyakini sebagai dasar negara.

                Selamat hijrah ke SMP Negeri 1 Genteng dek, sekolah favorit tempat pak bupati Anas bersekolah dulu. Gusti ora sare nduk, dan sang Maha Tahu dengan cinta kasihNya telah mengantar adek ke sekolah yang pas dimana akan ada proses pembuatan pecel yang lebih bermakna. Pasti tidak mudah ketika sang pembuat pecel mengaduk, memotong dan mencampur yang berbeda menjadi satu. Tapi ingatlah, itulah Indonesia, yang terus menerus sejak lahir diupayakan dan diracik untuk bisa menjadi pecel yang dinikmati semua. Tetaplah mengasihi saudaramu yang berbeda, tetaplah belajar menghormati yang lain dan tetaplah menjadi Indonesia.

                Pak Bupati Anas, sebagai Nahdliyin yang ditakdirkan menjadi punggawa kabupaten “The Sunrise of Jawa” biarlah anda terus melebur menjadi pecel bangsa dalam upaya menegakkan Ukhuwah Basariyah dan Ukhuwah Insaniyah. BTW , kapan saya diajak makan pecel, tanpa harus melewati peristiwa seperti Adek NWA. Tuhan terus memberkatimu Pak Bro Bupati. SALAM PECEL!!!

 

Victor Rembeth 17 Juli 2017.

Ikuti tulisan menarik Victor Rembeth lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler