x

Rapat Paripurna RUU Pemilu Alot

Iklan

Istiqomatul Hayati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

RUU Pemilu : Pemerintah Tak Semestinya Ngotot Pembatasan

Sistem ambang batas usulan pemerintah juga tidak adil bagi partai politik baru.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pemerintah seharusnya tak ngotot menetapkan presidential threshold dalam pemilihan presiden 2019, yang diputuskan kemarin. Tindakan memaksakan ide ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden tersebut mencederai kedaulatan rakyat dan konstitusi.

 Apa saja alasannya?

1. Sudah Diatur dalam Undang-UndangDasar

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Dalam Pasal 6a UUD jelas disebutkan pasangan calon presiden-wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.

Bagaimana pemerintah? Sikap pemerintah dan pendukungnya bertentangan bahkan berkeras agar dalam pemilihan presiden 2019, pasangan calon setidaknya mendapat dukungan 20 persen kursi di DPR dan 25 persen suara sah nasional. Alasannya, untuk menyederhanakan proses pemilu dan menyehatkan demokrasi.

2. Tingkat Kepercayaan Rakyat Rendah

Isu ambang batas pencalonan presiden tersebut merupakan salah satu topik panas dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu. Perdebatan pun berjalan alot. Bahkan pemerintah pernah mengancam akan menarik diri dari pembahasan bila ambang batas ditolak.

Seharusnya, pemerintah tidak mengabaikan pendukung sistem ambang batas tinggi. Musababnya, tingkat kepercayaan rakyat kepada parlemen dan partai politik cukup rendah. Jajak pendapat Indikator Politik Indonesia tahun lalu menunjukkan kepercayaan publik kepada partai politik hanya 46 persen dan kepada DPR 53 persen. Padahal, menurut amanat konstitusi, kedaulatan berada di tangan rakyat.

3. Sistem Ambang Batas Tidak Adil

Sistem ambang batas usulan pemerintah juga tidak adil bagi partai politik baru. Angka mana yang akan digunakan sebagai dasar penghitungan dukungan? Sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi 2013, pemilu eksekutif dan legislatif diselenggarakan serentak pada 2019. Bila ada ambang batas, apakah yang akan digunakan sebagai dasar penghitungan dukungan adalah hasil Pemilu 2014? Akibatnya, partai baru tak akan bisa mengusung calon. Pemilih baru pun merasakan keterbatasannya.

4. Dampak Negatif Sistem Ambang Batas

Pemerintah semestinya menyadari dampak negatif sistem ini. Di antaranya, sistem tersebut akan melanggengkan dominasi partai besar, juga menyokong kelanjutan dinasti ataupun oligarki politik. Hanya partai besar yang bisa mengajukan calon. Juga, kemungkinan besar, orang-orang yang akan muncul hanyalah mereka yang telah dikenal baik atau bisa diajak bekerja sama oleh partai besar.

5. Budaya Politik Transaksional Merajalela

Sistem ini akan menyebabkan kian sulitnya memangkas budaya politik transaksional, juga budaya “mahar”, dalam pencalonan. Orang yang tak mau bernegosiasi dengan partai besar, meski bagus, akan sulit maju.

6. Sulit Mencari Pemimpin yang Berani Bersuara

Sistem ambang batas ini juga mengakibatkan rakyat sulit untuk mendapatkan pemimpin yang bagus dan berani lantang bersuara untuk mereka. Semestinya makin banyak calon, semakin bagus buat rakyat. Kompetisi pun akan ketat. Para calon akan dipaksa membuat program bagus untuk rakyat agar bisa mendulang suara. Siapa pun yang terpilih, bila pemilihan berjalan jujur, akan menyodorkan program terbagus. Tinggal rakyat menagih janji. Jadi, tak perlu membatasi di titik awal.

 

Disarikan dari Editorial Koran Tempo edisi Jumat, 21 Juli 2017

 

Tim TEMPO/Isti

 

Ikuti tulisan menarik Istiqomatul Hayati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler