x

Aktivis mengenakan topeng Presiden Jokowi saat melakukan aksi Kamisan ke-500 yang digelar Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan di seberang Istana Merdeka, Jakarta, 27 Juli 2017. TEMPO/Rizki Putra

Iklan

Indonesiana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Setelah 500 Kamisan

Pengadilan yang digelar hanyalah formalitas, tidak mampu menunjuk otak di balik kejahatan-kejahatan tersebut.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Lima ratus Kamis sudah Sumarsih dan para aktivis menuntut penyelesaian sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia. Tuntutan bertahun-tahun itu tak kunjung terjawab, bahkan hingga rezim berganti ke pemerintah Joko Widodo.

Ketika mulai menjabat presiden pada Oktober 2014, Jokowi berjanji menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia berat. Saban tahun janji itu ia lontarkan. Pada Januari 2016, dia menyatakan semua kasus pelanggaran hak asasi manusia berat di masa lalu akan dituntaskan pada tahun itu. Dia menyebutkan bahwa kasus yang membebani pemerintah itu akan dituntaskan satu demi satu.

Sumarsih, yang kehilangan putranya dalam tragedi Semanggi pada 1998, terus menagih dan mengingatkan. Ia bersama para aktivis selalu mengenakan busana dan payung hitam setiap Kamis. Aksi pada Kamis pekan lalu adalah yang ke-500. Sudah sepatutnya pemerintah mendengarkan tuntutan mereka.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Setidaknya ada delapan kasus besar yang semestinya menjadi prioritas untuk diselesaikan. Di antaranya adalah dua peristiwa Semanggi pada 1998 dan pembunuhan Munir pada 2004. Juga kasus penculikan aktivis pro-demokrasi sepanjang 1997-1998, menjelang kejatuhan rezim Soeharto.

Upaya penyelesaian pelbagai kasus itu tak pernah tuntas. Pengadilan yang digelar hanyalah formalitas, tidak mampu menunjuk otak di balik kejahatan-kejahatan tersebut. Penyelidikan pembunuhan Munir, misalnya, hanya bisa menjerat pelaku di lapangan dan belum menjangkau pengatur utamanya. Padahal berbagai bukti menunjukkan keterlibatan lembaga intelijen pada saat itu.

Harapan agar kasus-kasus itu terselesaikan ternyata tak mudah dipenuhi, bahkan setelah Jokowi, yang didukung banyak aktivis demokrasi, memenangi pemilihan presiden pada 2014. Apalagi setelah kini ia merangkul sejumlah tokoh yang diduga terlibat dalam aneka perkara itu ke dalam lingkaran kekuasaannya.

Sudah saatnya mendengarkan dan memperhatikan tuntutan Sumarsih dan keluarga korban pelanggaran hak asasi manusia lainnya. Setelah Kamis ke-500 mereka menuntut, Presiden Jokowi semestinya lebih kuat berusaha menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia pada masa lalu. Seperti Sumarsih, publik tak akan lelah menagih janji itu.

Editorial Koran Tempo edisi Senin, 31 Juli 2017

 

Ikuti tulisan menarik Indonesiana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler