x

Peserta membuat tanda cap tangan dalam acara memperingati Hari Anak Nasional di Jambore Sahabat Anak di Bumi Perkemahan Ragunan, Jakarta, 30 Juli 2016. Dalam jambore ini mereka belajar menyampaikan aspirasinya melalui surat tulisan tangan. TEMPO/Adit

Iklan

Natasya Sitorus

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Catatan (tertunda tentang) Hari Anak Nasional

Sebuah catatan yang tertunda ditulis tentang anak HIV dan Hari Anak Nasional

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mata Nenek Ani kembali basah. Peristiwa sembilan tahun lalu seperti terulang kembali. Ia ingat betul betapa ia kecewa ketika mengetahui bahwa cucunya yang terinfeksi HIV ditolak masuk sebuah sekolah dasar negeri di daerah Cengkareng, Jakarta Barat. Tahun ini, tiga hari sebelum peringatan Hari Anak Nasional, ia kembali mendapati kabar bahwa Hanif, cucunya yang paling kecil diejek karena memiliki penyakit HIV oleh tiga teman sekelasnya. Kata Hanif, tiga orang itu mengetahui sakitnya dari Pak Hendra, guru olah raga baru di sekolah itu.

Hanif baru berusia 10 tahun. Ia sudah tahu sedikit tentang penyakitnya dari nenek. Nenek perlahan-lahan menjelaskan apa yang sebenarnya diderita Hanif sehingga ia harus minum obat secara teratur setiap hari. Hanif tahu bahwa penyakit itu ia dapatkan dari ibunya dan bahwa penyakit itu tidak menular dengan mudah seperti flu dan penyakit demam berdarah. Itu sebabnya Hanif marah ketika temannya mengatakan bahwa ia penyakitan dan penyakit itu menjijikkan.

Lain lagi kasus yang dialami Adul. Adul adalah siswa inklusi di sebuah sekolah dasar di Kemayoran, Jakarta Pusat. Statusnya diketahui pihak sekolah saat rapat persiapan imunisasi nasional vaksinasi gratis campak dan Rubella. Ketidakpahaman pihak sekolah akan kondisi Adul menimbulkan ketakutan. Tante Adul dianggap tidak jujur saat pendaftaran oleh pihak sekolah karena tidak memberi tahu bahwa Adul terinfeksi HIV. Padahal status kesehatan Adul maupun siapapun adalah hak pribadi yang tidak harus dilaporkan dan dilindungi oleh undang-undang kesehatan. “Saya bingung, kenapa saya harus memberitahukan status Adul ke sekolah. Memangnya ada peraturannya?” jelas tante Adul. Sementara Adul yang baru masuk SD itu tidak mengerti apa-apa.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kesedihan nenek Ani, kemarahan Hanif, kebingungan tante Adul, dan ketidakpahaman Adul terjadi sebagai reaksi terhadap sikap lingkungan sekolah yang tidak menerima kondisi mereka. Sistem pendidikan nasional semestinya bebas diskriminasi atas dasar apapun. Namun kenyataannya, masih ada saja kasus diskriminasi yang terjadi seperti yang dialami Hanif dan Adul. Lantas apa yang bisa dilakukan?

Tentu saja bukan mencari sekolah baru atau malah mendirikan sekolah khusus untuk anak HIV. Pada dasarnya anak HIV bukanlah anak berkebutuhan khusus yang membutuhkan fasilitas khusus untuk membantu proses belajar. Oleh karena itu anak HIV mestinya bisa bersekolah di sekolah umum. Penularan HIV juga tidak semudah virus influenza yang bisa menular lewat udara atau demam berdarah melalui gigitan nyamuk. HIV hanya bisa menular melalui empat cairan dalam tubuh manusia yaitu darah, cairan vagina, cairan mani, dan air susu ibu. Penularannya pun hanya bisa terjadi melalui aktivitas yang memungkinkan empat cairan tersebut keluar dari tubuh penderita dan segera masuk ke tubuh orang lain, melalui jalur luka terbuka atau hubungan seksual. Aktivitas tersebut tentunya sangat tidak mungkin terjadi di lingkungan sekolah.

Untungnya kini Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta bisa bertindak lebih tegas terhadap pelaku diskriminasi atau pelaku kekerasan pada anak. Program pemerintah untuk biaya pendidikan melalui Kartu Jakarta Pintar (KJP) tidak dirancang hanya untuk membantu anak bisa bersekolah setinggi-tingginya. KJP adalah program yang sudah matang dirancang untuk membangun anak menjadi manusia yang berakhlak mulia. “Percuma saja anaknya pintar tapi kalau sering membully anak lain. Kalau memang kasusnya parah, KJPnya bisa dicabut,” jelas M. Husin Kepala Seksi Kurikulum SMA Dinas Pendidikan DKI Jakarta saat menerima audiensi Lentera Anak Pelangi (LAP), 20 Juli 2017 lalu. Menurut beliau, bullying atau perundungan yang belakangan marak terjadi di lingkungan sekolah adalah hal yang harus segera ditangani. Sehingga sangsi pencabutan KJP dirasa cukup memberikan efek jera bagi para pelaku.

Dalam kasus diskriminasi anak HIV di sekolah, walau pelakunya bukan anak, misalnya orang tua murid, sangsi yang sama juga mungkin saja diberlakukan jika pelaku tidak bisa diberi pengertian. “Ya setiap anak, termasuk anak HIV punya hak untuk sekolah, jadi kalau ada orang tua yang bahkan sampai mengajak orang tua lain untuk mendorong pihak sekolah mengeluarkan anak HIV itu, dilaporkan saja. Bisa diproses,” lajut Husin.

Informasi di atas kemudian disampaikan kepada Pak Hendra selaku guru olah raga Hanif dan wakil kepala sekolah serta walikelas Adul saat proses advokasi dilakukan oleh LAP. Sebagai lembaga yang mendampingi Hanif dan Adul, LAP mencoba melakukan pendekatan pada pihak sekolah agar mereka memahami kondisi Hanif dan Adul dan tidak membiarkan tindakan diskriminasi terjadi. “Untung ada LAP yang bisa membantu nenek menjelaskan pada pihak sekolah agar Hanif tidak diejek-ejek lagi oleh temannya,” jelas nenek Ani. Proses advokasi ini nantinya akan dilanjutkan dengan penyuluhan tentang HIV bagi para guru dan orang tua murid apabila dibutuhkan.

Diskriminasi terhadap orang dengan HIV, termasuk anak, kerap terjadi karena kurangnya informasi. Namun, sewajarnya, orang yang sudah mengetahui informasi yang benar berhenti melakukan diskriminasi. Proses advokasi kasus Hanif dan Adul bisa dianggap berhasil karena ada lembaga yang mendampingi mereka. Lalu bagaimana dengan kasus yang tidak didampingi karena keberadaan lembaga yang memiliki kepedulian khusus pada anak HIV sangat terbatas jumlahnya?

Sekolah, bagaimana pun juga seharusnya menjadi tempat yang aman bagi anak. Jika setiap pihak bisa menerima dan menghargai perbedaan, maka diskriminasi tak seharusnya terjadi. Hari Anak Nasional diperingati untuk mengingatkan kembali apa yang menjadi hak anak, termasuk pendidikan, rasa dicintai, rasa aman, juga penghargaan terhadap anak sebagai manusia. 

Ikuti tulisan menarik Natasya Sitorus lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler