x

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara bertemu dengan CEO Telegram, Pavel Duvov. twitter.com/rudiantara_id

Iklan

dian basuki

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Telegram yang Bikin Deg-degan

Bos Telegram berunding dengan Menkominfo. Pengaruh baron teknologi semakin diakui secara politik-keamanan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Sesudah produk teknologinya diblokir oleh pemerintah Indonesia, bos Telegram Pavel Durov akhirnya datang ke Jakarta. Diterima oleh Menkominfo Rudiantara, Durov tampak mengenakan T-shirt warna gelap—gaya kasual yang juga disukai oleh banyak bos teknologi semisal Mark Zuckerberg dan Sergey Brin. Saat bertemu dengan Presiden Jokowi pun, beberapa waktu lalu, bos Facebook juga memakai kaos oblong.

Begitulah, mereka baron teknologi yang pengaruhnya semakin diperhitungkan dalam konteks negara dan di tataran internasional. Miliaran penduduk Bumi memakai produk mereka dengan tingkat ketergantungan yang cenderung meningkat. Instagram, Google, Facebook, LinkedIn, Twitter, WhatsApp, maupun sederet teknologi lain kian sukar ditinggalkan oleh penggunanya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Menjadi tidak mudah bagi siapapun untuk melepaskan diri dari ketergantungan, kecuali jika memang ingin mengisolasi diri secara sosial. Orang-orang berkomunikasi lewat telepon buatan Apple, Samsung, Oppo, dengan sistem operasi Android, dan memakai aplikasi media sosial yang macam-macam itu. Di ‘era sosial’ seperti sekarang, bos-bos teknologi seperti mereka memiliki pengaruh terhadap dinamika masyarakat, termasuk dalam isu-isu politik dan keamanan.

Dengan pengaruh produk mereka yang merasuki sendi-sendi kehidupan masyarakat, banyak pemerintahan di berbagai negara memerlakukan para baron teknologi itu lumayan istimewa. Pemerintah di banyak negara memang memberi tekanan untuk satu dan lain alasan, tapi tekanan itu sekaligus menunjukkan pengakuan terhadap pengaruh para baron teknologi. Durov datang ke Jakarta layaknya seorang menteri (bukankah ia diterima oleh Menteri dan bukan pejabat setingkat dirjen, apa lagi di bawahnya).

Para baron teknologi, komputasi, komunikasi, dan informatika khususnya, menciptakan medan permainan yang sebelumnya tidak sebesar sekarang. Beberapa puluh tahun yang silam,  di pentas internasional, para juragan minyak dan pedagang senjata merupakan aktor yang paling diperhitungkan. Peran mereka agak surut, atau sekurang-kurangnya bukan hanya mereka pemain pentingnya, ketika medan pertarungan baru tercipta di era sosial—jagat virtual menjadi medan yang pengaruhnya tidak kalah hebat terhadap politik, kekuasaan, sosial, maupun bisnis dan ekonomi.

Telegram, umpamanya, diblokir pemerintah lantaran dianggap jadi sarana efektif bagi teroris untuk berkomunikasi. Sayangnya, warga negara yang memakai aplikasi Telegram untuk urusan baik-baik, seperti bisnis, ikut terkena dampak pemblokiran. Komunikasi harus dialihkan ke aplikasi lain. Dalam situasi seperti ini, baron teknologi dipaksa untuk berunding dan Durov setuju karena alasan tertentu, misalnya mempertimbangkan 100an juta pemakai Telegram di dunia, termasuk Indonesia. Betapapun, ini bisnis, sedangkan pengaruh politik dan lain-lainnya boleh dibilang bonus yang mengangkat gengsi pemiliknya. Mereka relatif mudah bertemu dengan kepala pemerintahan ataupun menteri.

Ngomong-ngomong, aplikasi Telegram buatan Nikholai Durov—saudara Pavel—ini berbeda dengan telegram zaman dulu ketika sarana komunikasi jarak jauh masih terbatas pada telepon rumah atau kantor. Biayanya lumayan mahal, sehingga tidak setiap rumah memiliki sambungan telepon. Bagaimana jika ada urusan penting dan mendesak harus disampaikan? Telegram jawabnya.

Pesan yang disampaikan lewat layanan telegram harus singkat, boleh dibilang mirip pesan di Twitter ataupun SMS. Singkat, padat, dan mesti jelas. Biayanya dihitung berdasarkan jumlah karakter, termasuk tanda baca. Untuk mengirim pesan telegram, kita mesti datang ke kantor Perumtel/Telkom dan petugas yang menuliskannya. Di kota tujuan, pesan telegram itu dikirim ke penerima pesan, misalnya ke rumah, oleh petugas juga. Jadi, tidak seinstan kita mengirim dan menerima pesan SMS atau WhatsApp. Jika petugas terhalang hujan deras, pesan telegram pun bisa terlambat diterima.

Dibandingkan menerima surat dalam amplop ataupun kartu pos yang terbuka, menerima pesan telegram selalu merupakan pengalaman yang mendebarkan. Orang mengirim telegram hanya dalam situasi darurat dan mendesak, misalnya mengirim kabar duka atau, bagi mahasiswa yang indekos, kiriman uang bulan ini terlambat, harap berhemat. Di masa lalu, menerima telegram selalu membuat berdebar-debar.

Begitulah, teknologi sudah mengubah cara kita hidup. Para baron teknologi itu tahu benar tentang hal ini dan cukup menikmati bagaimana hidup ratusan juta orang, bahkan lebih, dipengaruhi oleh imajinasi mereka. **

Ikuti tulisan menarik dian basuki lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB