Pemerintah seharusnya tak mengabaikan kabar ada 90 anak balita di Kabupaten Deiyai Papua meninggal secara beruntun dalam lima bulan terakhir. Bayangkan, 90 anak dalam lima bulan. Ini berarti 18 balita meninggal tiap bulannya dan hanya terjadi di satu kabupaten.
Kejadian serupa pernah terjadi di Kabupaten Nduga, Papua, dua tahun silam. Waktu itu, ada 35 balita meninggal dari Oktober hingga Desember 2015. Menteri Kesehatan Nila F. Moeloek mengatakan, kematian puluhan balita itu akibat penyakit pertusis dengan komplikasi pneumonia.
Penyakit pertusis adalah batuk rejan atau batuk gonggong karena suara batuknya diiringi suara gonggong atau suara melengking. Penyakit itu diakibatkan oleh gaya hidup kurang sehat yang dilakukan masyarakat setempat dalam waktu yang cukup lama. Apalagi, Kabupaten Nduga yang dingin membuat masyarakatnya membuat perapian di dalam rumah sehingga menyebabkan balita-balita itu mengalami sesak napas.
Dua tahun berselang, kasus serupa terjadi lagi dengan jumlah lebih dari dua kali lipat. Ironisnya, bukannya segera menangani kasus ini, pemerintah daerah justru lebih sibuk menjawab bahwa kematian itu terjadi cuma pada 27 balita.
Meninggalnya bayi secara beruntun juga disebut bukan karena wabah. Mereka pun memilihnya sebagai musibah lantaran banyak kasus penyakit yang ditemukan. Bupati Deiyai menyatakan kurangnya kesadaran hidup bersih sebagai biang penyebabnya.
Bagaimana dengan pemerintah pusat? Segendang sepenarian. Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan menunjuk sebab lain: rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya imunisasi.
Ketimbang simpang-siur, Kementerian Kesehatan dan pemerintah daerah lebih baik menerjunkan tim untuk memastikan jumlah dan penyebab kematian anak-anak itu. Jika pernyataan bupati benar, hal ini justru menunjukkan ada yang salah dalam pembangunan kualitas kesehatan di daerah itu. Kesadaran hidup bersih semestinya ditanamkan oleh pemerintah daerah dari awal. Bupati dan aparatnya juga wajib menjaga kesadaran itu, bukan cuma sekali berkampanye lalu “meninggalkan gelanggang”.
“Tinggal glanggang” itu tampak misalnya dari bantuan yang cuma muncul satu kali. Sejak kabar banyaknya balita meninggal sampai ke Jakarta, bantuan obat-obatan, cek kesehatan, dan imunisasi massal digelar selama tiga hari pada pertengahan Juli lalu. Tapi, setelah itu, tak ada tindak lanjut dari Kementerian Kesehatan dan pemerintah daerah. Puskesmas juga tak ditambah. Selama ini hanya ada 10 puskesmas, dengan hanya lima dokter, yang buka cuma empat hari dalam sepekan.
Ada baiknya juga, Pemerintah Kabupaten Deiyai perlu mencontoh langkah penanganan Kabupaten Nduga saat terjadi wabah dua tahun lalu. Saat itu, mereka mengundang tim kesehatan dari pusat untuk melakukan uji laboratorium. Penyebab kematian misterius pun segera diketahui, yakni penyakit pertusis dan bukan lantaran persoalan sanitasi atau gaya hidup yang jorok.
Di Deiyai ditemukan banyak kasus bayi meninggal dengan gejala campak. Selain campak, banyak anak menderita diare, infeksi saluran pernapasan, dan disentri. Campak merupakan penyakit menular. Setiap empat menit, satu anak di dunia meninggal karena penyakit ini. Di Indonesia, ancaman paling serius datang dari campak jenis rubela, yang kini sedang getol diperangi Kementerian Kesehatan. Indonesia bahkan mencanangkan bebas campak rubela pada 2020.
Pemerintah semestinya menerapkan gerakan “perang melawan campak” itu di Deiyai dengan menurunkan tim peneliti. Bukan malah menyalahkan sana-sini, mengoreksi data ini-itu, sementara kematian terus mengincar anak-anak kita.
Disarikan dari Editorial Koran Tempo edisi Kamis, 3 Agustus
Tim TEMPO | ISTI
Ikuti tulisan menarik Istiqomatul Hayati lainnya di sini.