Satu Dasawarsa Kepergian Onghokham, Sejarawan Par Excellence
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBRefleksi sepuluh tahun kepergian salah satu begawan sejarah yang pernah dimiliki bangsa ini, Onghokham
Onghokham meninggalkan dunia ini tepat sepuluh tahun silam yakni 30 Agustus 2007. Beberapa hari kemudian, 3 September 2007 jenazah Onghokham dibawa ke tempat peristirahatan terakhir di krematorium Oasis Lestari di wilayah Bitung, Tangerang. Pada saat itu pula Onghokham terbaring tenang diselimuti bau harum dari hio yang terus menyala, dan dalam balutan kain twikim merah khas Tiongkok.
Sesaat kemudian, lampu oven krematorium telah menyala dan pertanda Onghokham akan segera dikremasi. Sesaat itu juga raganya luluh bersama damainya surga dan melebur bersama api kematian. Pak Ong telah pergi untuk selamanya. Walaupun hidup sebagai golongan yang minoritas, tak menyurutkan hati Onghokham untuk mencintai negeri ini. Banyak menulis tentang sejarah, terutama jejak kaum Hokkian di Indonesia. Para sahabatnya menuliskan sebuah kesan mendalam tentangnya dalam sebuah buku ‘Onze Ong : Onghohkam dalam Kenangan’. Tulisan singkat ini adalah rangkuman singkat yang ada dalam buku tersebut.
Jejak Keturunan Hoaukiau di Tanah Jawa
Sebagai kaum pendatang yang berasal dari negeri Tiongkok, Onghokham dapat disebut sebagai salah satu golongan Hoaukiau atau Cina perantauan. Ia lahir dari keluarga berada di kota pelabuhan Jawa Timur, Pasuruan pada 1 Mei 1933. Ayahnya adalah seorang bandar gula besar di kotanya. Bersama keluarganya yang lain membangun sebuah perusahaan gula, dan dengan cepat melesat menjadi salah satu raja gula kenamaan kala itu. Sementara itu, selain sibuk mengurus bisnis orang tua Onghokham juga gemar main mahyong. Hal inilah yang membuat Onghokham lebih banyak berada dalam asuhan kakaknya dan para pembantu-pembantu keluarganya.
Keluarga Onghokham yang dekat dengan para penguasa Belanda di daerah, membuatnya akrab dengan budaya dan panggilan-panggilan ala orang Belanda. Dia kerap dipanggil Hansje atau Sinyo Han. Namun, nama ini hanya dipergunakan untuk kalangan keluarganya. Hal ini dikarenakan untuk membedakan Ong yang lain. Sebutan Ong sebenarnya adalah sapaan untuk orang-orang Hokkien. Sama halnya seperti sebutan atau panggilan Abang bagi masyarakat Betawi atau Cak dalam masyarakat Jawa Timur.
Masa remajanya dihabiskan dalam pergolakan mulai dari nasionalisme, perang kemerdekaan, modernisme dan konflik politik lainnya. Ia memilih jurusan Hukum pada awal masa kuliahnya di Universitas Indonesia sekitar tahun 1950-an. Namun kecintaannya pada sejarah-lah yang membuatnya berfikir ulang untuk pindah pada jurusan yang ia cintai sampai akhir hayatnya.
Antara Eksentrik, Hedonis, dan Humanis
Eksentrik, nyeleneh, sering dianggap gila. Itulah anggapan beberapa orang tentang Onghokham. Ia adalah sosok yang gila makan, memiliki selera tinggi dan pecandu alkohol. Onghokham juga dikenal sebagai sosok yang gila pesta dan hidup foya-foya. Sebagai orang yang doyan makan, ia juga pandai dalam mengolah bahan makanan alias jago masak. Bakat memasak ini ia dapat sepeninggalnya belajar untuk mendapatkan gelar doktoralnya di Yale University pada tahun 1975. Oleh karena itu Onghokham sangat genius ketika menjelaskan tentang makanan yang ada di Indonesia. Seperti contoh, ia menyebut bahwa tempe telah dikembangkan di Jawa sejak tahun 1830-an. Onghokham juga mahir memasak masakan Eropa, Cina, dan berbagai macam kuliner Indonesia.
Sebagai sosok eksentrik, Onghokham sangat gemar minum alkohol. Ia sering meminta oleh-oleh alkohol terbaik dari negara-negara lain kepada temannya yang sedang bepergian keluar negeri. Sosoknya yang gila pesta pun menjadi sorotan banyak orang. Tak segan pula ia meminta membungkus makanan untuk dibawa pulang. Inilah yang menjadi kebiasaan Onghokham saat pesta dimanapun ia datangi. Pernah suatu ketika Onghokham mabuk berat dan sempoyongan saat menghadiri pesta karena terlalu banyak minum alkohol. Ia tak kapok, justru dia makin banyak minum terutama saat pesta ulang tahunnya.
Onghokham juga gemar makan ikan. Suatu ketika, ia pernah pergi ke kampus untuk mengajar mahasiswanya di UI dan di tasnya terdapat ikan segar yang baru ia beli dari pasar ikan. Sontak, hal ini membuat suasana kuliah menjadi gaduh karena bau yang ditimbulkannya. Pak Ong tidak peduli, dan ia tetap mengajar walaupun hanya berpakaian kaos dan celana seadanya dan jauh dari kesan rapi. Onghokham juga sangat disiplin dalam mengajar, pernah suatu ketika ia melempar mahasiswanya dengan penghapus karena tidak bisa menjawab pertanyaannya.
Prinsip lain Onghokham adalah tidak ingin menyusahkan orang lain. Ia lebih memilih untuk bepergian dengan transportasi umum dan berjalan kaki saat menjalankan aktivitas sehari-hari. Konon, Onghokham pernah diundang di sebuah kedutaan. Berbeda dengan yang lain yang menuju kesana dengan menggunakan taksi atau mobil pribadi, ia justru pergi dengan naik bus kota. Dan ini membuat jasnya menjadi kusut dan kurang rapi. Ia pun berseloroh ‘jika kita tidak naik transportasi umum macam bus kota siapa yang akan membayar gaji dan memberi makan keluarganya?’. Saking akrabnya pula, sosoknya sering dikenal para tukang becak disekitar rumahnya. Disinilah salah satu sisi humanis Onghokham berada.
Sang Sejarawan
Onghokham dapatlah kita katakan sebagai sejarawan tulen. Ia tidak hanya mahir dalam menceritakan perihal nenek moyangnya yang notabene orang-orang Tionghoa. Tapi juga gemar akan budaya Jawa dan kultur masyaraktnya yang mayoritas sebagai petani di pedesaan. Onghokham kerap membandingkan sistem kerajaan Jawa dengan sistem kerajan besar Eropa. Perihal sejarah tentang makanan pun tak luput dari perhatiannya. Semua kolom bertema sejarah tersebut seringkali ia tulis dalam harian Star Weekly dan majalah Tempo kala itu.
Karyanya berjudul “Runtuhnya Hindia Belanda” mendapat banyak pujian. Disini Onghokham melihat runtuhnya pemerintahan kolonial Belanda dari sudut pandang Belanda dan jauh dari sejarawan mayoritas yang melihat dari sisi Indonesia saja. Buku lainnya adalah “Rakyat dan Negara” terbit tahun 1983, “Dari Soal Priyayi Sampai Nyi Blorong : Refleksi Historis Nusantara (2002)”, dan “Wahyu yang Hilang, Negeri yang Guncang (2003)” juga mendapatkan tempat di berbagai kalangan di Indonesia.
Onghokham juga menaruh perhatian pada sisi mitos orang-orang di pedesaan Jawa akan tuyul. Ya, tuyul menjadi sebuah entitas sendiri dalam masyarakat desa di Jawa. Baginya, orang-orang di pedesaan Jawa masih beranggapan bahwa apabila orang mendapatkan uang banyak atau kaya mendadak adalah karena peran tuyul, bukan karena usaha mendapatkan kapital dari hasil keringat sendiri. Inilah paradigma yang membuat Onghokham tertarik mengkaji tentang tuyul dalam seminar ilmiah tingkat dunia.
Warisan Onghokham
Sepuluh tahun sepeninggal Onghokham terdapat warisan intelektual yang berharga. Semua terserak kedalam tulisan dan pemikiran yang tertulis dalam buku serta tulisan mendalamnya. Onghokham juga gemar mengoleksi benda antik. Selain itu, kecintaannya pada buku dan membaca membuat Onghokham memiliki banyak koleksi buku langka. Tercatat terdapat sekitar tiga ribuan buku dan berbagai macam koleksi barang antik ada dirumahnya. Tak ayal rumahnya pun menjadi bak museum. Ditambah desain rumah yang unik dan eksentrik menambah daya pikat tersendiri.
Onghokham tak memiliki pendamping hidup (istri) sepanjang hayatnya. Ia hanya ditemani oleh pembantu dan perawat yang setia menemaninya. Ia seorang agnostik, dan justru ke-agnostikannya inilah yang membuatnya berbeda saat pemakamannya. Ia diberi penghormatan terakhir dalam tiga agama besar, Budha, Katholik, dan Konghucu. Semua menyatu dalam cinta, selamat jalan Onghokham.
Sumber referensi :
- Reeve, David., JJ.Rizal; et.al. 2007. ‘Onze Ong : Onghohkam dalam Kenangan. Jakarta : Komunitas Bambu’ : Jakarta.
Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Cara Mengisi Kemerdekaan di Era Digital ala Pengusaha Muda Surabaya
Sabtu, 14 Agustus 2021 13:02 WIBMenjaga Relasi dengan Klien? Begini Tips Efektifnya!
Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler