x

Iklan

julkhaidar romadhon

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Mengapa Petani di Indonesia Tetap Miskin?

Tidak akan terdengar lagi, petani yang mengatakan kepada anaknya, kalau besar "jangan seperti bapak".

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Badan Pusat Statistik mencatat selama Juli 2017, Nilai Tukar Petani (NTP) sebesar 100.65 atau naik 0.38 persen dibandingkan NTP Juni sebesar 100.53. Kenaikan NTP dikarenakan indeks harga yang diterima petani naik sebesar 0,26 persen lebih besar dari kenaikan indeks harga yang dibayar petani sebesar 0,14 persen.

BPS juga mencatat kenaikan kemiskinan terjadi di perkotaan, meski secara jumlah di perdesaan lebih tinggi. Selama periode September 2016-Maret 2017, jumlah penduduk miskin di perkotaan naik sebanyak 188,19 ribu orang (dari 10,49 juta orang pada september 2016 menjadi 10,67 juta orang pada maret 2017). Sementara, didaerah perdesaan turun sebanyak 181,29 ribu orang (dari 17,28 juta orang pada September 2016 menjadi 17,10 juta orang pada Maret 2017).

Pertanyaannya ? apa yang dapat kita maknai dari angka-angka tersebut..? mengapa petani di negeri kita tetap miskin.. ? apa sumbangsih bantuan pemerintah yang hampir 50 triliun tiap tahunnya ? apa solusi agar petani kita tetap sejahtera ?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Fenomena dibalik angka

Nilai NTP menunjukkan perbandingan antara pendapatan dengan pengeluaran petani. Jika dibawah 100 berarti petani rugi, jika diatas 100 berarti petani untung. Menyiratkan petani kita belum sejahtera. Pendapatan petani menunjukkan perkembangan harga produsen atas hasil produksi petani. Sedangkan pengeluaran petani menunjukkan perkembangan harga kebutuhan rumah tangga petani, baik kebutuhan untuk konsumsi rumah tangga maupun kebutuhan untuk proses produksi pertanian.

Nilai 100.65 menunjukkan bahwa terjadi kenaikan pendapatan petani yang sangat sedikit yaitu 0.65 persen dengan biaya hidup yang dikeluarkannya. Namun miris buat petani tanaman pangan, justru NTP nya pada bulan Juli 2017 dibawah 100 yaitu 97,46. Artinya, apa yang dikerjakan petani Indonesia selama ini hampir impas dengan biaya yang dikeluarkannya untuk memproduksinya. Dengan kata lain, pendapatan petani sama dengan pengeluarannya.

Lalu apalagi yang mau ditabung ? berbulan-bulan petani menanam padi, ternyata begitu di panen hasil jualnya hanya cukup untuk menutupi modal yang sudah dikeluarkannya selama ini. Bagaimana buat biaya anak yang mau sekolah ? buat berobat dan lain sebagainya ? Buah simalakama bagi petani ?

Itulah mengapa petani kita terjerat dengan sistem yang namanya ijon, lintah darat dan lain sebagainya. Mereka sampai rela menjadi buruh ditanah mereka sendiri. Mereka rela menggadaikan sawahnya bahkan menjualnya. Bahkan yang paling parahnya, mereka rela menjadi buruh-buruh atau kuli-kuli di kota-kota. Urbanisasi inilah yang ditunjukkan dengan data bahwa terjadi penurunan kemiskinan di perdesaan namun terjadi peningkatan kemiskinan di perkotaan. Terjadi pergeseran makna saja, bukan berarti petani kita diperdesaan mulai sejahtera.

Lalu pertanyaan selanjutnya ? kemana bantuan pemerintah yang digelontorkan sebanyak 50 Triliun setiap tahunnya yang membuat Menko Perekonomian geleng-geleng kepala tidak habis pikir. Hal ini dikarenakan hasil yang didapat tidak sesuai dengan yang dikeluarkan. Keadaan yang sama, juga dikritik oleh ekonom-ekonom senior dari INDEF (Institute for Development of Economics and Finance). Direktur INDEF Enny Sri Hartati menjelaskan anggaran kedaulatan pangan melonjak 53,2 persen dari Rp 63,7 triliun pada tahun 2014 mencapai Rp 103,1 triliun pada APBN 2017. Namun, tingginya alokasi anggaran tersebut ternyata belum optimal dalam mewujudkan kedaulatan pangan.

Menurut Kementerian Pertanian (Kementan), dana sebesar itu digelontorkan buat operasionalisasi pencapaian target di lapangan. Seperti; penyediaan dana, pengerahan tenaga, perbaikan jaringan irigasi yang rusak, bantuan pupuk, ketersediaan benih unggul yang tepat (jenis/varietas, jumlah, tempat, waktu, mutu, harga), bantuan traktor dan alsintan lainnya yang mendukung persiapan, panen dan pasca panen termasuk kepastian pemasarannya. Untuk mengatasi kekeringan, sudah dilakukan pengadaan pompanisasi di daerah-daerah kekeringan. Disisi lain, untuk mengatasi kualitas padi yang buruk karena hujan terus sudah ada bantuan dryer untuk mengeringkannya.

Namun faktanya, kita tetap saja selalu kesulitan ketika iklim tidak bersahabat. Seharusnya, bantuan-bantuan tersebut sudah dapat mengantisipasi dampak yang ditimbulkan oleh iklim. Ketika cuaca bersahabat, tidak banjir dan kekeringan yang parah, maka hasil pertanian akan baik dan produksi meningkat. Namun jika terjadi el nino (kekeringan) maupun la nina (lembab, basah) yang parah maka dampaknya bisa langsung dirasakan dengan terjadinya penurunan produksi. Lalu apa yang salah..?? faktor internalkah atau faktor eksternal ?

Dari sisi internal sudah clear. Kementan sudah menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pemberantasan tindak pidana korupsi serta tata kelola pangan. Hadirnya KPK di lingkungan Kementan merupakan pencegahan terhadap pelanggaran-pelanggaran yang bisa saja dilakukan pejabat Kementan. Kerjasama juga dimaksudkan untuk mengawal setiap lelang pengadaan barang. Sehingga, sangat kecil peluang pejabat yang bermain-main dalam pengadaan fiktif.

Lalu, bagaimana dengan faktor eksternal. Apakah bantuannya tidak sesuai peruntukkannya atau bantuannya tidak tepat sasaran. Kedua-duanya bisa saja terjadi di lapangan. Masalah spesifikasi lokasi teknologi patut juga diperhitungkan. Banyaknya mesin-mesin traktor yang mudah rusak atau tidak bisa dipakai, maupun dryer (pengering gabah) atau RMP (mesin penggiling padi) yang dingin bisa menjadi bukti. Traktor yang mudah rusak bisa disebabkan oleh sumber daya manusia yang belum disiapkan untuk mengoperasikan serta merawatnya. Begitu juga dengan mesin pengering atau penggiling, selain SDM yang kurang mumpuni bisa juga karena lokasi penempatan yang salah yang jauh dari sentra produksi. Istilah "bisa memakai namun tidak bisa merawat" bisa saja terbukti.

Tidak kita pungkiri, teknologi yang ada harus diimbangi dengan SDM yang handal. Bukan bermaksud untuk merendahkan petani-petani kita di daerah. Tapi inilah faktanya, petani-petani yang hidupnya sengsara adalah mereka yang tidak punya lahan yang luas. Mereka bekerja hanya dalam porsi 8-12 hari kerja, selebihnya tidak jelas apa pekerjaannya. Banyak petani kita yang tidak sekolah sampai SMP, mereka tidak bisa membaca, tidak berinteraksi dengan dunia luar yang memungkinkan informasi atau pengalaman bisa masuk. Terhadap hari dan kalender pun mereka tidak penting karena mencari makan dengan bertanam atau memberi makan ternak adalah kewajiban saban hari yang harus dikerjakan.

Dari sisi efektivitas, bisa saja kemungkinan subsidi input yang salah sasaran. Petani yang kita harapkan mendapat bantuan untuk mengangkat kesejahteraannya, justru dinikmati segelintir pihak. Faktanya menurut BPS, pada tahun 2013 jumlah rumah tangga petani gurem di Indonesia adalah 14,25 juta rumah tangga atau 55,53% dari total rumah tangga petani di Indonesia. Kelompok petani gurem inilah yang merupakan petani paling rentan menghadapi resiko. Biasanya lagi, para petani gurem memiliki modal terbatas sehingga meminjam dari rentenir dengan bunga modal yang cukup besar, kemudian begitu dijual menghadapi perilaku tengkulak yang sangat merugikan mereka.

Menurut Prof Sajogyo, petani gurem sangat laris jadi objek penelitian dan diskusi namun petani berdasi seakan tabu untuk diusut ujung pangkalnya. Petani berdasi merupakan pemilik sawah atau kebun yang tidak pernah mengerjakan sendiri tanahnya. Menurut BKPM, selama lima tahun terakhir sudah mencapai nilai investasi 8 tiliun dengan jumlah proyek 377, dengan nilai investasi diatas 1 triliun. Belum lagi fenomena baru dimasyarakat kita, yang menanamkan uang dibawah ratusan dan puluhan juta di sektor pertanian.

Selain itu, fakta selanjutnya, menurut kepala BPS Suryamin, berdasarkan survey yang dilakukan selama periode sepuluh tahun antara tahun 2003 hingga 2013, jumlah rumah tangga dengan usaha pertanian terus menurun. Rata-rata diakibatkan beberapa hal dimana antara lain seperti alih profesi dan semakin sempitnya lahan pertanian akibat alih fungsi lahan untuk pembangunan infrastruktur, pembangunan pabrik dan perumahan.

Kepala BPS juga menyatakan keperihatinannya mengenai pendapatan keluarga petani yang semakin tidak berdaya. Rata-rata pendapatan buruh pertanian hanya Rp 1,82 juta per tahun per rumah tangga. Sangat timpang jika dibandingkan dengan buruh diluar pertanian seperti sektor perkebunan dengan pendapatan 3,27 juta per tahun per rumah tangga. Dapat kita bayangkan, jika uang sebanyak itu dibelanjakan keperluan sehari-hari pada zaman sekarang.

 

Resolusi perbaikan

Lalu apa solusinya agar kesejahteraan petani kita meningkat dan mereka tidak meninggalkan sawahnya. Pertama, harus ada kelembagaan petani yang kuat.Konsep koperasi zaman dahulu sangat baik untuk dikembangkan lagi. Kelembagaan yang mati suri ini, harus diberdayakan dan dilakukan pembinaan oleh pemerintah. Kelembagaan akan mempermudah pemerintah dalam mengidentifikasi jumlah petani miskin, apa saja yang dibutuhkan serta mengumpulkan secara kolektif hasil produksi mereka. Selain itu, kelembagaan merupakan wadah yang efektif dalam melakukan sosialisasi kegiatan, memberi kesadaran petani serta sebagai wadah simpan pinjam.

Kedua, diversifikasi usaha tani. Seperti kita ketahui bersama, dari tahun ke tahun kesejahteraan petani tidak mengalami kenaikan significant. Pengeluaran mereka selalu lebih besar daripada pendapatannya. Oleh karena itu, diperlukan usaha lain atau sampingan selain usaha pokok. Banyak pola yang sudah dikembangkan dan berhasil baik ditempat lain patut dicontoh. Petani bisa saja melakukan tumpang sari dengan tanaman lain. Bisa juga dengan beternak ikan lele, gurame, nila, patin, ayam, bebek, burung puyuh ataupun usaha lain yang dapat dipadukan dengan usaha pokok mereka. Tentu semua ini memerlukan penyuluh yang handal yang mengusai dibidang itu. Sehingga petani ada pemasukan lain dan tidak membuang-buang waktu untuk menunggu panen usaha pokoknya.

Ketiga, Reformasi Agraria.Aspirasi yang didengung-dengungkan oleh Serikat Petani Indonesia (SPI) patut juga kita pertimbangkan. Karena tidak ada rumusnya, dengan peralatan modern dan canggih namun luas lahan yang hanya 0,3 hektar bisa menghasilkan keuntungan skala industri. Mengapa petani di luar sana seperti Amerika, Kanada, China, Vietnam, Thailand dan lain sebagainya sejahtera semua ? jawabannya, karena rata-rata mereka memiliki luas lahan diatas 5 hektar. Sehingga, berbagai bantuan yang diberikan baik itu bibit maupun mesin bisa dimaksimalkan penggunaannya.

Dengan solusi permanen seperti itu, bukan mustahil petani kita dari tahun ke tahun kesejahteraannya akan meningkat. Tidak akan terdengar lagi, petani yang mengatakan kepada anaknya, kalau besar "jangan seperti bapak". Dan bukan tidak mungkin, alumni mahasiswa IPB yang disinggung oleh Presiden Jokowi karena banyak kerja di perbankan kembali balik dan melirik dunia pertanian, tanah tempat mereka dibesarkan.

 *) Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Universitas Sriwijaya

Ikuti tulisan menarik julkhaidar romadhon lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu