x

Iklan

Hartono Sutarjo

Ingin mengenal dunia ? Membacalah ! Ingin dunia mengenalmu ? Menulislah !
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Pajak Oleh-oleh, Adilkah?

Tulisan tentang pajak oleh-oleh yang dikemas dengan bahasa sederhana. Berharap pembaca menikmati diksi kata tanpa kehilangan makna.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebuah opini terhadap sesuatu yang viral di media sosial
 
Saat ini sedang viral di media sosial, video petugas bea cukai mengenakan Bea Masuk (BM) atas barang belanjaan berupa tas mahal. BM adalah pajak yang dikenakan terhadap barang impor yang dimasukkan ke Indonesia. Penulis ingin menjelaskan dengan bahasa sederhana, bukan bahasa peraturan. Bahasa peraturan pasti membosankan. Biar mudah kita cerna, saya akan coba sederhanakan. Begini penjelasannya.
 
Kenapa barang untuk keperluan sendiri tetap dikenakan bea masuk?
 
Filosofi pengenaan BM di antaranya adalah melindungi industri dalam negeri dan menjaga pola masyarakat berkonsumsi. Barang-barang yang sudah dapat diproduksi di dalam negeri tentu akan dikenakan pajak lebih tinggi. Begitu juga barang yang masuk kategori mewah tidak mungkin dikenakan pajak lebih rendah. Pemerintah tentu ingin masyarakatnya bergaya hidup produktif bukan konsumtif. Ini akan mendorong terciptanya sebuah masyarakat yang mempunyai keunggulan komparatif. Keunggulan yang sangat diperlukan ditengah persaingan antar negara yang semakin kompetitif.

Sekarang pertanyaannya, kenapa tetap dikenakan BM toh untuk dipakai sendiri ?

Begini penjelasannya. BM, filosofinya memang dikenakan terhadap barang yang habis dipakai di dalam negeri. Barang untuk keperluan sendiri masuk dalam pengertian ini. Ia akan habis dipakai di dalam negeri. Sebaliknya, barang-barang yang diimpor sementara -seperti untuk keperluan konser, pameran, perbaikan dan lain-lain yang akhirnya akan dikembalikan ke negara asal- dapat dibebaskan dari pungutan.

Kita bayangkan, sesuai data BPS jumlah penumpang yang datang dari luar negeri tahun 2015 sebanyak 13.175.804 orang. Ambillah asumsi yang membeli tas 10%, tak usahlah cukup 5%, maka jumlah tas yang ditenteng dari luar negeri setahun sebanyak 658.790 buah. Tentu tujuan pemerintah untuk menjaga pola konsumsi dan melindungi industri dalam negeri tak kan terealisasi. Kalau sampai dibebaskan BM dengan alasan hanya untuk konsumsi terbatas, bisa-bisa rumah kaum pelancong berubah menjadi gudang tas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kesimpulannya, barang pribadi penumpang maupun barang dagangan sama-sama dikenakan BM karena akan habis dikonsumsi di dalam negeri. Bedanya, barang pribadi penumpang hanya dikenakan BM apabila harganya melebihi batas pembebasan dan dikenakan atas dasar selisihnya.

Berapa Besar Tarif BM Dan Pajaknya ?

Tarif BM atas barang impor, termasuk barang bawaan penumpang di tetapkan beragam. Rata-rata 0% sampai dengan 15%, meski beberapa jenis barang ada yang lebih tinggi lagi. Besarnya BM tiap-tiap barang bisa dilihat di portal Indonesia National Single Window di tautan www.insw.go.id. Selain BM, dikenakan PPN 10% yang dikalikan total penjumlahan harga barang dan BM.

Juga dikenakan PPh Impor, tarifnya beragam. Untuk penumpang, bukan perusahaan, dikenakan PPh 7,5% karena tidak mungkin punya Angka Pengenal Impor (API). Untuk perusahaan yang punyai API, dikenakan PPh 2,5%. Namun untuk barang-barang tertentu tarif PPh sudah ditentukan, misal 10%. Tarif-tarif tersebut berlipat 2x apabila penumpang tidak memiliki NPWP. Dasar perhitungan PPh impor sama dengan PPN. Jadi untuk setiap impor, kira-kira pungutan yang harus dibayar 17,5% sampai dengan 30% dari total harga barang dengan asumsi tarif BM 0%.

Apa itu barang dagangan dan apa itu barang pribadi penumpang ?

Dalam memperhitungkan dasar pengenaan BM, pegawai Bea Cukai akan menggolongkan terlebih dahulu apakah masuk kategori barang dagangan atau barang pribadi penumpang.

Barang dagangan adalah barang yang secara jumlah tidak wajar untuk keperluan pribadi, diketahui akan diperdagangkan, atau dari jenisnya dapat diketahui merupakan bahan baku yang akan diolah. Atas barang dagangan akan dikenakan BM dari nilai total harganya.

Barang pribadi penumpang adalah barang untuk keperluan pribadi. Untuk barang ini batasan dipungut BM adalah US $ 250 (sekitar 3,3 juta rupiah) untuk setiap orang atau US $ 1000 (sekitar 13,2 juta rupiah) untuk satu keluarga. Apabila melebihi angka itu maka selisihnya yang akan menjadi dasar pengenaan BM-nya.

Bagaimana Cara Bea Cukai Mengetahui Bahwa Barang Itu Dibeli Di Luar Negeri ?

Yang dikenakan BM adalah barang impor, atau barang yang diperoleh dari luar negeri. Lantas bagaimana cara petugas Bea dan Cukai menentukan itu barang baru dibeli, kan bisa saja dibawa saat berangkat ke luar negeri.

Langkah pertama dengan mengenali ciri-ciri fisiknya. Baru, masih ada kemasannya, syukur-syukur ada invoice-nya. Dalam kasus seperti ini, petugas Bea Cukai haqqul yakin, seyakin-yakinnya meyakini barang dibeli di luar negeri. Atau bisa juga hasil wawancara, si penumpang dengan baik hati membenarkan dengan lisannya.

Lantas bagaimana kalau barang yang sebenarnya baru, misal jam tangan seharga 1 milyar, dibawa dengan cara dikenakan, tidak ada bungkusnya atau invoice-nya.

Ya, kalau dari hasil bincang bicara yang bersangkutan mengatakan itu jam lama, Bea Cukai bisa apa. Bea Cukai bukan malaikat, tak bisa melihat yang kasat mata. Ya sudah, lepaskan saja, tanpa sama sekali dikenakan bea. Ini bukan mengajari, tetapi semua harus tahu bagaimana aturan di negara ini. Harus tahu bagaimana cara petugas Bea dan Cukai bekerja. Dalam kondisi tidak ada bukti-bukti yang meyakinkan, kita menerapkan prinsip hukum, menggunakan pasal yang lebih meringankan dari pada memberatkan penumpang.

Nah, bagaimana kalau penumpang membawa barang ke luar negeri yang nantinya mau dibawa kembali. Barang yang mungkin tak lazim di mata sebagian orang bahwa itu semata-mata untuk penggunaan selama perjalanan -misal alat CPAP, alat bantu penderita Sleep Apnea- sebaiknya dilaporkan ke Bea dan Cukai sebelum berangkat. Nanti akan diberikan dokumen Surat Persetujuan Membawa Barang (SPMB) yang memuat rincian identitas barang. SPMB ini lah nanti yang menjadi bukti saat kembali, tak perlu ditanya-tanya lagi. Petugas Bea dan Cukai langsung akan melepas tanpa banyak berpikir keras.

Lantas Bagaimana Menggolongkan Barang Dagangan Dari Segi Jumlah ?

Di sinilah pegawai Bea Cukai di lapangan diberi kewenangan memutuskan. Keputusan harus dibuat berdasarkan pertimbangan yang matang dan dapat dipertanggungjawabkan.

Contoh kasus, penggolongan 5 buah tas dengan total harga Rp 500 juta berbeda dengan 1 cincin bermata kristal dengan harga Rp 2 milyar. Berdasarkan hukum kewajaran, 5 buah tas masuk kategori barang dagangan sedang cincin kristal masuk kategori barang pribadi penumpang meskipun harga lebih mahal. Beda jenis barang beda cara penggolongan, dilihat dari hukum kewajaran.

Contoh menarik yang sedikit menyimpang dari kebiasaan adalah barang bawaan TKI. Misal ada seorang TKI pulang membawa 10 buah permadani. Dimana setiap permadani sudah bertuliskan nama-nama keluarga atau tetangganya. Maka untuk barang ini dapat dikategorikan barang pribadi penumpang. Sesuatu yang wajar, seorang TKI ingin memberikan oleh-oleh kepada keluarganya sebuah permadani. Memang petugas Bea dan Cukai tak bisa membuktikan kebenaran penggunaannya. Tetapi berdasarkan hasil pengamatan, penelitian dan pengalaman, cukup bagi petugas untuk memutuskan.

Membawa tas 1 buah umumnya digolongkan barang pribadi penumpang. Tetapi kalau petugas mempunyai data yang bersangkutan berangkat dan pulang berulang-ulang membawa barang yang sama, tentu 1 buah tas layak digolongkan barang dagangan. Apalagi kini marak belanja barang-barang mahal dengan menggunakan JASTIP, Jasa Titipan.

Kenapa Untuk Beberapa Barang Perlu Perizinan Tambahan Dari Instansi Berwenang ?

Bea Cukai diibaratkan adalah tukang jaga portal. Kementerian-kementerian lain menitipkan peraturannya ke Bea Cukai.

BPOM bilang, “Pak Bea Cukai, tolong nanti kalau ada yang bawa makanan dan obat-obatan suruh izin dulu ke saya.”

Kementerian Perdagangan menitip pesan, “Tolong Bea Cukai, nanti kalau ada yang bawa HP harus ada perizinan terlebih dulu dari saya”

Kementerian Kominfo minta tolong, “Mas Bea Cukai, tolong nanti kalau ada yang bawa alat komunikasi, jangan lupa izin penggunaan ke saya.” Begitu seterusnya.

Bayangkan ribetnya posisi Bea dan Cukai yang ada di lapangan.

Lebih ringan berhadapan dengan koorporasi yang paham peraturan, daripada perorangan yang awam ketentuan. Mudah sekali terjadi salah paham, minimal kita harus sabar menjelaskan. Bertemu orang yang akhirnya mengerti adalah kebahagiaan tersendiri. Tak jarang terjadi perdebatan, otot-ototan bahkan pernah terjadi insiden penamparan.

Bagaimanapun Bea dan Cukai tetap akan mengarahkan penumpang agar memenuhi persyaratan. Meski akhirnya lembaga yang berwenang hanya mengeluarkan surat keterangan bukan surat izin pemasukan, itu masih lebih baik, ada alasan Bea Cukai untuk mempertimbangkan melepaskan.

Contoh kasus ekstrim adalah orang yang membawa obat-obatan dengan alasan keluarganya mempunyai penyakit kritis, misal jantung. Kalau Bea Cukai kaku, saklek, tanpa izin BPOM atau izin lainnya tentu barang tak boleh keluar, tidak ada toleransi. Bayangkan kalau sesuatu terjadi, keluarganya meninggal gara-gara obat terlambat dikonsumsi. Besoknya muncul berita di koran dengan judul, “Penderita Penyakit Jantung Meninggal Karena Obat Tertahan Bea Dan Cukai Bandara”

Pasti Bea Cukai babak belur, nama baiknya bisa saja hancur lebur. Padahal secara aturan seluruh proses telah dilakukan sesuai prosedur. Perlu waktu untuk mengembalikan nama baik institusi. Masyarakat kita seringkali menghakimi hanya berdasarkan informasi yang kebenarannya tak teruji.

Kejadian sebaliknya juga begitu. Misalkan Bea Cukai mengizinkan obat dikeluarkan hanya karena pertimbangan kemanusiaan tanpa melihat terpenuhinya persyaratan. Dan ternyata obat tersebut bermasalah. Penderita jantung itu meninggal. Keesokan harinya di koran muncul berita, “Penderita Jantung Meninggal Karena Mengkonsumsi Obat Tak Layak Edar. Bea Cukai Bandara meloloskan.”

Bagaimana coba, ribet bukan kalau kondisinya begini ?

Saat ini memang beberapa instansi sudah mengeluarkan aturan khusus pembebasan izin dengan batasan jumlah. Saat Penulis berdinas di Bea Cukai Soekarno Hatta, Kementeriaan Perdagangan mengeluarkan ketentuan impor handphone dengan maksimal 2 buah, tidak perlu izin mereka.

Apakah Nilai Pembebasan Untuk Barang Pribadi Penumpang Saat Ini Masih Wajar ?

Waktu penulis bertugas di Kantor Bea Cukai Soekarno Hatta, hal ini sudah menjadi konsumsi di meja diskusi. Ada yang berpendapat, batasan pembebasan untuk barang pribadi penumpang sudah saatnya dinaikkan pada kisaran yang tepat. Terus berapa nilai seharusnya ? Banyak teori yang bisa dipakai, dari makin sejahteranya masyarakat kita, dengan naiknya income per kapita atau dari nilai besaran inflasi.

Penulis mempunyai usul, meski ini masih layak diperdebatkan. Bagaimana kalau nilai pembebasan ditetapkan dengan menggunakan analogi barang dagangan. Orang tidak akan mau bisnis belanja ke luar negeri kalau tidak menguntungkan. Keuntungan yang akan diperoleh masih lebih besar dari ongkos yang dikeluarkan. Sedangkan harga pokok barang kan nanti diganti si pembeli. Jadi nilai pembebasan untuk barang pribadi penumpang diberikan sebesar perkiraan total ongkos yang harus dikeluarkan ditambah keuntungan yang wajar.

Masih bingung ? Saya beri contohnya. Si A pergi ke Jepang, membeli barang seharga 50 juta. Misalkan jumlah ongkos yang dikeluarkan, baik untuk tiket pesawat maupun akomodasi beberapa hari di sana, sebesar 15 juta, maka nilai pembebasan di angka Rp 15 juta plus kira-kira keuntungan yang wajar. Misalkan nilai yang kita sepakati 20 juta, maka atas barang senilai 50 juta dari Jepang mendapat pembebasan 20 juta. Memang rada ribet, harga tiket pesawat ke jepang terlalu lebar range-nya. Data di traveloka merentang antara 2 juta sampai dengan 23 juta. Tentu yang rumit ini bisa saja kita sederhanakan, dibuat rata-rata. Beberapa negara yang berdekatan dikelompokkan dalam nilai pembebasan yang sama.

Begitu juga yang datang dari Singapura. Misalkan membeli barang dengan harga Rp 10 juta rupiah. Dengan pesawat jetstar hanya cukup membayar tiket seharga 1 juta untuk pulang pergi. Taruhlah total biaya perjalanan dan akomodasi semalam Rp 2 juta, maka selayaknya nilai pembebasan adalah di angka 3 atau 3,5 juta sudah termasuk keuntungan yang wajar. Biaya ke Singapura bisa lebih kecil kalau yang bersangkutan sehari pulang pergi tanpa menginap, dan ini mungkin sekali.

Dengan nilai pembebasan seperti ini, Penulis yakin tidak ada yang pulang pergi ke Singapura hanya untuk berbelanja 1 buah tas, yang secara itung-itungan bisnis belum menguntungkan.

Cara penghitungan di atas adalah untuk barang yang belum ada produk serupanya di dalam negeri. Sedangkan untuk yang sudah ada, perlu diperhatikan juga harga jual barang serupa di dalam negeri. Dimasukkan dalam pertimbangan, masuk perhitungan.

                                                        *****

Semoga keriuhan di media sosial ini justru akan mendorong Bea Cukai berinstropeksi. Kembali ke meja diskusi untuk memperbaiki regulasi. Bea Cukai harus sadar, tuntutan masyarakat kini kadang-kadang di luar nalar. Ekspektasinya begitu tinggi padahal kita merasa sudah berlari.

Lalu kalau ada pertanyaan, Pajak Oleh-oleh, Adilkah ? Maka kita semua harus berpikir kembali. Janganlah kita begitu mudah membeli barang mewah, sementara untuk membayar pajak yang beberapa persennya, kita teriak-teriak menuntut keadilan.

Pada akhirnya, Penulis berpendapat, Petugas Bea Cukai dan pembeli oleh-oleh memiliki status yang sama. Sama-sama warga Indonesia. Sama-sama mencintai Indonesia. Yang bule, kita pinggirkan sementara. Bedanya yang satu harus memungut pajak, yang satunya membayar pajaknya. Tidakkah lebih indah kalau seandainya prosesnya kita iringi dengan senyuman yang merekah ?

                                                    *******

Yang ingin lebih serius, silahkan baca Peraturan Menteri Keuangan Nomor 188/PMK.04/2010 tentang Impor Barang Yang Dibawa Oleh Penumpang, Awak Sarana Pengangkut, Pelintas Batas Dan Barang Kiriman.

Hartono Sutarjo, 21 September 2017.

Kepala Kantor Bea Cukai Sampit yang pernah bertugas di Bea Cukai Soekarno Hatta.

Diambil dari blog pribadi https://hartonosutarjo.com/pajak-oleh-oleh-adilkah/

Ikuti tulisan menarik Hartono Sutarjo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Sengketa?

Oleh: sucahyo adi swasono

1 jam lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB