x

Iklan

Indonesiana

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Maraknya Korupsi Kepala Daerah: Jalan Pintas Bayar Utang

Banyak kepala daerah membabi-buta mengisi pundi-pundi kekayaannya lantaran telah mengeluarkan begitu banyak uang untuk bisa berkuasa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Penangkapan berkali-kali kepala daerah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi ternyata tak membuat jeri para bupati ataupun wali kota. Terakhir, Wali Kota Cilegon Iman Ariyadi dijerat lewat operasi tangkap tangan, pekan lalu. Perlu upaya lebih tegas sekaligus sistematis guna memerangi korupsi di daerah.

Sudah enam wali kota dan bupati ditangkap dalam tiga bulan terakhir. Iman merupakan orang ke-18 yang terjaring operasi tangkap tangan dalam dua tahun ini. Selama September ini saja, tiga kepala daerah dijerat. Sebelum menangkap Iman, KPK sudah menciduk Wali Kota Batu, Malang; Bupati Batubara, Sumatera Utara; serta Wali Kota Tegal dan Bupati Klaten, Jawa Tengah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Maraknya korupsi di daerah menunjukkan perlunya pembenahan mekanisme pemerintahan dan praktik politik di daerah. Besarnya kewenangan daerah di era otonomi tidak diimbangi dengan mekanisme rekrutmen pemimpin yang bebas dari suap politik. Buruknya praktik politik itu menyebabkan korupsi terus merajalela. Sesuai dengan data KPK, ratusan kepala daerah telah terjerat kasus korupsi sejak era reformasi.

Modus korupsi kepala daerah antara lain memuluskan perizinan, menyalahgunakan anggaran, korupsi pengadaan barang dan jasa, serta menerima suap ataupun gratifikasi. Iman dan anak buahnya diduga menerima suap Rp 1,5 miliar dari dua perusahaan, yang diduga berkaitan dengan proses perizinan kawasan industri.

Banyak kepala daerah membabi-buta mengisi pundi-pundi kekayaannya lantaran telah mengeluarkan begitu banyak uang untuk bisa berkuasa. Sudah bukan rahasia lagi bahwa isi kantong para calon kerap terkuras saat mengikuti pemilihan kepala daerah. Ia, misalnya, harus menyetor "mahar" kepada partai politik yang mencalonkannya dan "mengguyur" konstituen agar memilihnya.

Maka, begitu terpilih, para elite politik lokal itu bersiasat mencari sumber pembiayaan untuk menutup “utang politik” yang digunakan dalam kontestasi politik tersebut. Mereka pun bermain mata dengan para pengusaha dan bersekongkol dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Politikus selalu memanfaatkan celah mekanisme demokrasi dan budaya politik yang buruk.

Siasat lancung seperti itu akan terus dipraktikkan jika undang-undang tentang pemilihan kepala daerah tidak menyediakan aturan yang bisa mencegah praktik suap politik. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 memang sudah memasukkan sanksi pidana bagi para calon kepala daerah yang melakukan suap politik. Tapi aturan ini kurang efektif selama "mahar politik" tak diatur dan kewenangan Badan Pengawas Pemilu tidak diperkuat.

KPK kini menjadi harapan publik di tengah buruknya mekanisme politik itu. Langkah KPK menggencarkan pemberantasan korupsi di daerah jelas sangat penting. Sudah terlalu banyak uang rakyat yang dicuri para garong politik. Perlu pembenahan mekanisme demokrasi dan tindakan lebih tegas untuk memerangi korupsi di daerah..***

 

Editorial Koran Tempo, Senin 25 September 2017

Ikuti tulisan menarik Indonesiana lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler