x

Ilustrasi larangan merokok. Ulrich Baumgarten/Getty Images

Iklan

Istiqomatul Hayati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Indonesia Bebas Asap Rokok, Mungkin Gak Ya...

“Ada kepentingan industri dan masih banyak orang yang merokok.”

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Indonesia tertinggal jauh dari negara-negara di Asia Pasifik dalam program pengendalian tembakau. Bukan hanya sebagai satu-satunya negara di kawasan ini yang belum meratifikasi Konvensi Pengendalian Tembakau (FCTC), bahkan dalam pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok, Indonesia masih kesulitan mengejar ketinggalan. Hal ini terlihat dari konferensi Aliansi Kota dalam Pengendalian Tembakau se-Asia Pasifik (AP-CAT) pada September lalu di Singapura yang diadakan Kementerian Kesehatan Indonesia dan The Union.

“Kalau melihat pengalaman negara lain terutama di Singapura, Indonesia harus menyadari apa yang kita lakukan baru tahap awal,” kata Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto kepada saya di sela-sela konferensi.

Bima yang menjadi pemimpin AP-CAT bersama Wali Kota Balanga, Filipina Francis Anthony Garcia menjelaskan, ketertinggalan Indonesia salah satunya disebabkan kondisi demografis dan geografis suatu daerah. “Di Indonesia ada kepentingan industri rokok dan juga masih banyak orang yang merokok,” ujarnya. Tak jarang, ia menambahkan, ketika kepala daerah hendak menerapkan aturan kesehatan ini banyak tentangan muncul dari industri dan masyarakat sendiri.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Singapura memberlakukan aturan pengendalian tembakau secara ketat. Mereka antara lain menerapkan Kawasan Tanpa Rokok, pelarangan total iklan rokok dan sponsor, serta larangan menjual rokok di bawah usia 21 tahun. Setiap orang atau badan yang melanggar aturan itu mendapatkan denda yang tak sedikit. “Kami ingin menjadi negara bebas asap rokok di dunia,” kata Menteri Senior Bidang Kesehatan, Komunikasi dan Informasi Singapura, Chee Hong Tat saat mendatangi konferensi.

Sebagai contoh perbandingan, Indonesia pun kalah dari Nepal, negara kecil dan miskin di Asia Selatan. Negara yang sudah menandatangani FCTC pada 2006 itu telah menerapkan denda bagi pelanggar aturan KTR. Bukan hanya itu. Nepal pun memberlakukan peringatan kesehatan bergambar (PHW) sebesar 90 persen pada bungkus rokok. Di Indonesia, luas PHW hanya 40 persen. 

“Sudah lebih dari 25 ribu orang meninggal setiap tahun karena merokok di Nepal,” kata Wali Kota Kathmandu, Bidya Sundar Shakya. Mereka kesulitan menekan prevalensi merokok sebesar 24,6 persen. Alasan lainnnya, rokok menyumbang kemiskinan di negara berpendapatan per kapita US$ 2.573.  “Berat beban negara menanggung kesehatan rakyat,” ujarnya.

Di Filipina, kebijakan pelarangan merokok di tempat umum atau di luar rumah pada 2003 telah berhasil mengurangi prevalensi merokok. “Di Balanga sendiri, prevalensi merokok dari  24 persen pada 2010 berkurang menjadi 15 persen,” kata Wali Kota Balanga, Francis Anthony Garcia. Ia juga menolak total iklan dan sponsorship rokok.

Bahkan, Garcia menginisiasi program Tobacco Free Generation dan menjadi pelopor dari kota-kota di seluruh dunia. Program ini menyasar anak-anak yang lahir setelah 1 Januari 2000. Ia mengancam penjual rokok kepada anak yang lahir setelah tanggal itu dengan denda sebesar US$ 100 atau kurungan enam bulan penjara dan dicabut izin usahanya.

Sebenarnya, upaya serupa sudah dilakukan oleh Bupati Kulon Progo Hasto Wardoyo dan diikuti daerah lain di Indonesia. Kulon Progo memang bukan daerah pertama yang menerapkan Peraturan Daerah KTR di Indonesia. Tapi Hasto mempelopori daerah lain untuk menolak iklan dan sponsorship rokok.

Saat mensosialisasikan beleid KTR pada 2014, Hasto memanjat papan reklame rokok dan membongkarnya. “Perda KTR juga mencakup keberanian daerah untuk menolak iklan dan sponsorship rokok tapi pendapatan tidak berkurang,” tuturnya. Hasto menjelaskan, sebelum menolak iklan rokok, Pendapatan Asli Daerah Kulon Progo pada 2013 sebesar Rp 125 miliar. “Begitu iklan rokok saya larang, PAD Kulon Progo jadi Rp 280 miliar,” katanya.

Sukses membangun daerah tanpa sokongan rokok membuat Hasto didapuk Menteri Kesehatan Nila Moeloek menjadi Ketua Aliansi Bupati /Wali Kota Peduli Kawasan Tanpa Rokok pada Januari 2015. Jabatan ini membuatnya berkeliling Indonesia menemui gubernur, wali kota, bupati, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah agar mendorong daerah yang didatangi membuat Perda KTR.

Perda Kawasan Tanpa Rokok mengatur tentang tujuh KTR yakni tempat umum, perkantoran, tempat ibadah, tempat bermain anak, sekolah, angkutan umum, dan fasilitas layanan kesehatan. Selain itu, jika mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan, maka Perda juga melarang pemasangan iklan rokok di Kawasan Tanpa Rokok dan di jalan utama

Direktur Pencegahan Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Lily Sulistyowati menuturkan saat ini sudah ada 152 dari total 515 kabupaten/kota di Indonesia yang telah menerapkan Perda KTR. “65 di antaranya sudah diimplementasikan,” katanya kepada saya. Di luar Perda, ada 106 kabupaten/kota yang baru mempunyai peraturan bupati/wali kota soal Kawasan Tanpa Rokok. Pada level provinsi, kata Lily, sudah ada 9 Perda KTR, 6 Peraturan Gubernur, dan 1 Instruksi Gubernur.

Ia mengungkapkan, Presiden Joko Widodo amat serius menginginkan Indonesia bisa menjadi negara yang ramah terhadap anak. Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahu 2017 tentang Gerakan Masyarakat Sehat yang mengamanatkan Menteri Kesehatan dan para kepala daerah agar membuat kebijakan Kawasan Tanpa Rokok.

Inpres itu keluar setelah melihat target pemerintah dapat menurunkan prevalensi perokok anak di bawah usia 18 tahun meleset. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), pemerintah menurunkan prevalensi perokok anak dari 7,2 persen pada 2014 menjadi 5,4 persen pada 2019. “Kenyataannya, justru meningkat menjadi 8,8 persen pada 2015,” ujarnya.

Lily mengatakan, target Indonesia menjadi negara yang ramah anak itu amat tergantung pada komitmen para pemimpin di daerah dan dukungan masyarakat. “Semua lini harus jalan. Pemimpinnya yang visioner dan masyarakatnya mau berpartisipasi.”

 

 

Ikuti tulisan menarik Istiqomatul Hayati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler