x

Ketua KPU Arief Budiman (kiri) bersama dua komisioner Ilham Saputra dan Pramono Ubaid Thantowi (kanan), saat menunjukkan contoh alternatif bentuk kotak suara transparan terbuat dari kertas karton dan Box plastik akan digunakan dalam Pilkada serentak

Iklan

Redaksi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 27 April 2019 20:06 WIB

Kerja Partai Menuju Pilkada ~Ridho Imawan Hanafi

Partai bisa mengawali dengan melakukan evaluasi dan konsolidasi internal, terutama dalam upaya pemenangan kandidat.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 

Ridho Imawan Hanafi

Peneliti di Pusat Penelitian Politik LIPI

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Setelah melewati pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2017, partai politik bersiap menghadapi penyelenggaraan pemilihan yang sama pada 2018. Kemenangan dan kekalahan kandidat partai di 101 daerah yang menyelenggarakan pilkada 2017 bisa menjadi gambaran mengenai kinerja partai. Apalagi jumlah daerah pemilihan tahun depan lebih banyak dibanding tahun ini.

Dengan modal evaluasi atas kinerjanya, partai dapat melihat di mana letak kekurangannya kemudian memutuskan untuk mempertahankan atau melebihi capaian sebelumnya. Apa saja yang bisa dipersiapkan partai menuju pemilihan tahun depan?

Partai bisa mengawali dengan melakukan evaluasi dan konsolidasi internal, terutama dalam upaya pemenangan kandidat. Apakah partai sudah bisa menjadi mesin politik yang efektif atau sekadar penyedia tiket pencalonan, yang selanjutnya kandidat dan tim sukses kandidatlah yang lebih banyak bekerja? Menjadi mesin politik yang bekerja adalah kondisi ideal bagi partai. Sebab, dengan tujuan memenangi kompetisi elektoral di daerah, partai akan ikut merawat citranya di mata pemilih. Kerja partai di wilayah-wilayah yang melaksanakan pilkada juga bisa menjadi bahan pertimbangan untuk menghadapi Pemilihan Umum 2019.

Evaluasi dan konsolidasi yang bisa dilakukan partai adalah, pertama, bagaimana memunculkan kandidat. Apakah partai melakukan seleksi dengan tahap-tahap yang disepakati internal? Apakah prosedurnya membuka ruang kecil partisipasi karena lebih banyak ditentukan pemimpin atau elite partai atau membuka ruang lebih demokratis ketika anggota partai ikut memiliki kesempatan memilih kandidat? (Hazan dan Rahat, 2006). Partai yang melakukan seleksi dari awal akan berbeda kondisinya dibanding yang hanya menentukan di pengujung waktu. Profil kandidat bisa diketahui sejak mula, seperti integritas, rekam jejak, dan komitmen kepemimpinannya.

Kedua, pengusungan kandidat. Partai bisa menimbang peluang antara mengusung kandidat sendiri dan berkoalisi. Di daerah-daerah dengan kursi legislatif partai memadai, partai bisa mengusung sendiri kandidatnya. Namun apakah ini menjadi jaminan akan memenangkan kandidat dibanding jika partai mengusung kandidat secara koalisi? Jika harus berkoalisi, dengan siapa partai menjalin koalisi? Apakah polanya eksklusif, dalam arti hanya yang sejalan dengan ideologi dan platform atau yang berada di dalam dan luar koalisi pemerintah pusat? Atau koalisi cair tanpa harus melihat sekat ideologi, platform, dan faktor lainnya?

Ketiga, bagaimana mengawal kandidat. Kandidat yang diusung sudah semestinya mendapat dukungan penuh partai. Kenyataannya, tidak jarang di internal partai memperlihatkan adanya perbedaan dukungan. Perbedaan ini biasanya muncul dari tidak ditemukannya titik temu di antara kader-kader partai dalam mendukung kandidat. Hal ini, di antaranya, karena proses seleksi yang tidak mengikutsertakan anggota atau kader lain sehingga antara elite partai dan anggota di bawah berbeda siapa yang didukung. Selain itu, bisa didorong karena partai ternyata lebih memilih kader dari partai lain. Kenyataan yang kerap muncul ini bisa menyulitkan partai jika terjadi di beberapa daerah.

Keempat, partai biasanya menggelar konsolidasi yang ditandai dengan rapat koordinasi, rapat kerja, rapat pimpinan, dan sejenisnya dengan tujuan membuat partai tetap solid serta bisa menentukan arah maupun strategi dalam menyongsong pilkada. Dalam menatap agenda itu, partai perlu memetakan kekuatan daerah yang akan menggelar pilkada. Kekuatan basis dukungan antara satu daerah dan lainnya berbeda. Untuk itu, skala prioritas dan target wilayah mana yang akan dimenangkan tidak bisa dikesampingkan, terutama bagi daerah-daerah yang dinilai sebagai wilayah strategis. Kegagalan membaca ini biasanya ikut didorong oleh keinginan kuat pengurus di level pusat dalam mempengaruhi mekanisme penentuan kandidat. Dengan demikian, yang terjadi adalah perbedaan antara apa yang diinginkan pengurus di level daerah dan kehendak pengurus partai di level pusat.

Konsolidasi partai juga perlu melihat salah satu faktor penting yang menentukan, yakni pemahaman akan karakteristik masyarakat. Faktor ini mempertimbangkan upaya penguatan daya tangkap dan antisipasi partai atas kecenderungan situasi kekinian di masyarakat (Noor, 2013). Saat partai telah memahami karakteristik dan situasi yang berkembang di masyarakat, partai bisa mulai merumuskan kerangka kerja bagi agenda pemenangan kandidat. Pemetaan sejak awal ini bisa menguntungkan partai karena tersedia kecukupan waktu untuk lebih mengintensifkan kerja pemenangan sekaligus cepat mengantisipasi jika ditemukan kekurangan. Tanpa itu, partai dan kandidatnya akan kehilangan fokus tentang apa dan siapa yang ingin disasar.

Ikuti tulisan menarik Redaksi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB

Terkini

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Dalam Gerbong

Oleh: Fabian Satya Rabani

Jumat, 22 Maret 2024 17:59 WIB